Namanya Wahidin Halim. Dia adalah Walikota Tangerang saat ini. Anak asli Tangerang, yang berkarir sedari awal sebagai birokrat lokal. Pernah jadi Lurah, Camat, Sekda dan kemudian menjadi Walikota di Tangerang selama 2 periode. Tentang profesi dan karirnya, singkatnya beliau adalah; ambtenaar (pegawai negeri) klotokan didikan Republik sejak zaman Orde Baru.
Tetapi Wahidin berbeda dengan ambtenaar lain.
Saya tidak kenal Wahidin, belum pernah jumpa dengannya dan meski tinggal di Tangerang, secara administratif saya adalah warga Kabupaten, sementara Wahidin memimpin Kota. Jadi saya bukanlah rakyatnya.
Tetapi karena sehari-hari saya lebih kerap menyusuri jalanan Kota dan banyak berinteraksi di sana, saya bisa melihat, mengamati dan merasakan on the spot sentuhan tangan seorang Walikota terhadap kotanya. Lebih terasa kontras lagi apabila itu dibandingkan apa yang dibuat pemimpin wilayah saya terhadap daerah kekuasaannya. Sebagai peminat isu-isu leadership, saya tergerak untuk menuliskan hal ini. Mudah-mudahan menjadi pelajaran buat siapapun yang bersyahwat besar menjadi pemimpin di republik ini.
Joke-nya begini; kalau anda jalan di Tangerang dan mulai terganggu dengan jalanan yang tidak rata, bolong-bolong, sepotong bagus-sepotong hancur, maka itu artinya anda sudah tidak lagi berada dalam teritori Kota Tangerang. Saya berani bersaksi; joke itu benar adanya (setidaknya berlaku di jalanan komplek perumahan saya saat ini yang lubang-lubangnya sebesar kubangan kerbau)
Anda dapat menikmati jalanan yang mulus maknyus di sepanjang badan kota Tangerang (ya tentu jangan dibayangkan mulus itu sama sekali tidak ada cacatnya. Bahkan mba-mba juara kontes kecantikan saja punya bintik hitam atau tompel di bagian-bagian tertentu tubuhnya), tidak hanya di jalan-jalan besar, gang-gang sempit tempat rakyat berdesakan hiduppun tak luput dari perbaikan, trotoar dan sempadan jalan diperbaiki dan dilebarkan, lalu lintas yang relatif lancar dan teratur, kaki lima dan angkot yang diatur sedemikian rupa sehingga tidak semrawut, dan banyak lagi yang lain.
Di Kota Tangerang juga anda tidak akan menemukan gedung sekolah negeri yang reyot, apalagi mau rubuh . Semuanya baru dan segar. Anak-anak SD sampai SMP disini jangan takut tidak bisa bersekolah karena biaya pendidikan di gratiskan. Kualitas pendidikan juga terus ditingkatkan, rasio guru ditambah, kompetensi mereka ditingkatkan dengan sertifikasi, alat-alat peraga juga dilengkapi.
Orang miskin boleh sakit di Kota Tangerang, karena biaya puskesmas sangat terjangkau, dengan tingkat ketersediaan dokter dan juru rawat yang diperhatikan. Gedung-gedung Puskesmas pun direhab total tidak kalah mentereng dengan Rumah Sakit bersalin swasta.
Wahidin tampaknya tahu dan sadar benar bahwa urusan pendidikan dan kesehatan yang terjangkau ini adalah prasyarat dasar dari sebuah kata empuk bernama “kesejahteraan rakyat” yang kerap diperdengarkan itu. Di Kota Tangerang, dua kata itu diterjemahkannya dalam program yang praktis, terukur, terlihat hasilnya dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Bukan sekedar tahu, Wahidin juga mau dan berani bekerja keras untuk mewujudkannya. Untuk mengawasi langsung pembangunan proyek-proyek infrastruktur yang rentan tilep-menilep itu, dia turun langsung memonitor kualitas proyek-proyek tersebut. Jangan coba-coba bermain curang di Kota Tangerang, karena proyek itu akan langsung disemprot (dalam arti sesungguhnya, dengan pylox) oleh Wahidin dengan kata-kata: JELEK atau di beri tanda X besar, artinya proyek itu tidak layak. Kalau sudah kena semprot Wahidin, besar kemungkinan si kontraktor akan ditendang dan di black list.
Dia juga mempraktekan transparansi dalam tata kelola pemerintahannya. Seleksi penerimaan PNS di lingkungan Pemda Kota Tangerang dibuat transparan, anggaran, rencana dan progres pembangunan dibuat online sehingga dapat diakses oleh masyarakat, pelayanan publik dibenahi dan dibuatkan standar pelayanannya yang terbuka, sedikit demi sedikit merit system juga diterapkan untuk pegawai pemda, dan lain-lain.
Atas semua prestasi dan terobosannya itu, tak heran Wahidin dipilih oleh lebih dari 87% penduduk Kota Tangerang untuk masa jabatan keduanya (terbesar sepanjang sejarah Pilkada). Dan inilah daftar prestasi yang diraih Kota Tangerang di bawah Wahidin;
Daerah Berpretasi Terbaik Nasional 2009 dari Menteri Keuangan, karena peningkatan kinerja keuangan, peningkatan kinerja ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di atas rata-rata nasional.
Untuk kinerja keuangan, (1) Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah di atas rata-rata nasional, (2) Penyelesaian APBD tepat waktu, dan (3) Memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian dari audit BPK atas laporan keuangan pemkot
Untuk kinerja ekonomi dan kesejaheraan sosial, (1) Memiliki pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata nasional yakni 6.8% pada 2008 dan 7.1% pada 2007, (2) Pengurangan tingkat pengangguran di atas rata-rata nasional dari 20%/2007 menjadi 12%/2008 dan (3) Tingkat inflasi daerah di bawah rata-rata nasional.
- Penghargaan Kota Langit Biru 2009.
- Citra pelayanan kesehatan masyarakat tingkat nasional 2008.
- BPKP Award 2008 untuk pengelolaan keuangan pemerintahan kota terbaik 2008.
- Lencana Bhakti bidang Pendidikan Presiden RI 2007 (anggaran Pendidikan 48% APBD)
- Piala Citra Abdi Negara dari Presiden RI atas Pelayanan Publik Terbaik Tk. Nasional 2006.
Sebagai orang Tangerang, saya merasa bangga dengan prestasi pemimpin asli Cipondoh ini. Di tengah krisis kepemimpinan publik seperti sekarang, rasanya orang seperti Wahidin (juga Gede Winasa di Jembrana-Bali; Gamawan Fauzi dulu di Solok-Sumbar, dan beberapa pemimpin daerah berkualitas lainnya) menjadi oase di tengah padang sahara gersang. Sebagai rakyat jelata, saya layak optimis bahwa masih ada pemimpin yang bisa diharapkan mengantarkan bangsa ini ke arah cita-cita luhur
kemakmuran dan kesejahtaraan di tengah cerita suram korupsi, kemiskinan dan kemandulan aparatur negara secara nasional.
Kisah Wahidin setidaknya memberi kita dua pelajaran besar tentang kepemimpinan;
Pertama, secara individu, ia membuktikan bahwa kualitas setiap individu tidak selalu bisa dicerminkan dari kualitas lingkungannya. Berkarir seumur-umur sebagai birokrat sejak Orde Baru, tidak membuat Wahidin otomatis punya mentalitas yang selalu dicitrakan melekat dengan kaum ambtenaar; pemalas, korup, tidak disiplin, tidak kompeten, tidak profesional dan citra-citra kurang sedap lainnya.
Wahidin layaknya sesosok ikan di laut yang tidak lantas menjadi asin meski lingkungan sekitarnya adalah air garam. Itu dimungkinkan apabila sang Ikan hidup dan tetap menjaga daya hidupnya. Dalam kasus Wahidin, daya hidup itu barangkali adalah akal sehatnya; prinsip dan keyakinannya; visi dan keberaniannya untuk maju. Meskipun pastinya bukan perkara mudah tetap menjaga kejernihan akal sehat itu dalam sebuah lingkungan yang tidak mendukung.
Inilah yang dimaksud dengan prinsip “lead yourself before lead others”. Pemimpin besar dimanapun, dia harus bisa menaklukan dirinya sendiri sebelum menaklukan orang lain. Dia harus menjadikan dirinya sendiri berdaya sebelum memberdayakan orang lain.
Kedua, ketika memimpin, Wahidin memilih jalan yang berbeda dengan pendahulunya, yaitu visi dan keberanian untuk mendobrak dan menerobos, meruntuhkan sekat-sekat birokrasi yang bertentangan dengan akal sehat dan menghancurkan kejumudan budaya kerja yang menghalangi kemajuan. Jalan yang penuh resiko sebetulnya, karena mengguncang kemapanan dan kenyamanan banyak pihak, termasuk kenyamanan hidup ambtenaar lain di sekelilingnya. Tetapi, untuk itulah seorang pemimpin kita pilih bukan? Sebab kepemimpinan kata Stepehen Covey –seorang guru leadership– is not about position, it’s about choices.
Dan beruntunglah warga kota Tangerang, karena Wahidin memilih menggunakan akal sehatnya.