Majalah SWA edisi 23 Sept 2010 menurunkan cerita menarik tentang manusia-manusia hebat. Tentang mereka yang pernah jatuh ke dasar kehidupan yang sangat dalam, menderita, tetapi kemudian berhasil bangkit kembali dan sukses gilang gemilang; meraih pendidikan dan jabatan tertinggi di bidangnya masing-masing.
Ada cerita tentang Handy Satriago, yang lumpuh lunglai kedua kakinya sejak SMA dan harus hidup diatas kursi roda, tapi kemudian sukses dalam meniti karir sampai menjadi CEO GE (General Electric) Indonesia dan bahkan menyelesaikan studi S-3 di UI dengan predikat cum laude, sambil tetap berkursi roda. Ada kisah Dahlan Iskan yang kena vonis gagal liver di puncak karirnya sebagai Presiden Direktur Group Jawa Pos dan harus menjalani pencangkokan hati di China, kemudian sukses melewati masa-masa kelam itu, terus beraktifitas, dan bahkan kini dipercaya pemerintah sebagai Direktur Utama PT. PLN.
Ada pula cerita tentang perempuan-perempuan perkasa, seperti Enny Hardjanto dan Dian syarif. Enny adalah eksekutif wanita kawakan yang pernah menjadi Direktur di Citibank dan TVRI yang divonis kena kanker payudara stadium 4 dan harus menjalani kemo terapi berkali-kali, sempat putus asa dan pasrah bila harus mati, tetapi kemudian takdir menentukan dia selamat dari situasi hidup-mati itu dan bangkit kembali. Di usia tuanya, dia masih produktif dan energik menjalankan bisnis konsultan SDM-nya. Seperti tidak tersisa cerita kelam tentang sakit yang hampir merenggut nyawanya itu.
Dian Syarif lain lagi. Wanita yang pernah menjadi Manager di Bank Bali ini divonis menderita Lupus pada tahun 1999, penyakit yang sampai saat ini belum diketahui obatnya. Dian harus menjalani 6 kali bedah otak dengan resiko lumpuh dan kehilangan ingatan, operasi bedah empedu, menjalani operasi hidrosteroid dan banyak lagi pengobatan yang lain. Atas semua terapi itu, Dian kehilangan daya lihatnya sampai 95 %. Nyaris buta. Apakah penyakitnya sembuh? Belum. Tetapi kini Dian dapat bersahabat dengan penyakitnya bahkan menjadi pembicara publik yang cukup dikenal tentang Lupus dan mendapatkan banyak penghargaan atas dedikasi dalam bidang itu.
Ketika mereka dijerembabkan kehidupan ke titik yang paling nadir itu, pastinya dunia terasa gelap. “The world is totally black”, kata Handry. Sedih, putus asa, depresi, takut, why me question, adalah teman setia pada hari-hari itu.
Tanpa mengecilkan arti penderitaan mereka, sejatinya, mereka semua masih beruntung. Mereka mendapatkan semua kepahitan itu di tengah dunia yang tidak betul-betul gulita. Mereka berasal dari keluarga yang secara ekonomi tidak kekurangan, (kalau tidak boleh disebut berkecukupan), berpendidikan tinggi, mempunyai banyak network dan yang terpenting; mempunyai orang-orang dekat yang dapat mereka andalkan, secara finansial maupun non-finansial. Sangat masuk akal kalau mereka dapat membangun kembali motivasi untuk bangkit.
Ada banyak manusia lain yang jatuh-terpuruk ke sumur gelap kehidupan dalam situasi yang tidak seberuntung para tokoh diatas. Kehilangan pekerjaan secara mendadak, tertimpa penyakit ganas dan mematikan yang tak kunjung sembuh, sebatang kara menjalani hidup karena kehilangan manusia-manusia terkasih secara tragis, dengan mendadak harus menjadi tulang punggung keluarga, terlilit hutang, atau kombinasi kesemua itu, tetapi dalam kondisi miskin papa.
Tak ada network apalagi koneksi yang bisa diandalkan untuk meringankan penderitaan. Tidak punya akses terhadap kelas-kelas motivasi. Yang ada hanya keluarga atau tetangga dekat yang juga sama nasibnya dan sudah repot dengan hidupnya masing-masing.
Kaum miskin yang bernasib seperti ini, ada yang kemudian dapat berdamai dengan penderitaannya dan bangkit kembali menata hidpunya. Lebih banyak lagi yang terus meraba-raba dalam gelap di bawah sana.
Tidak jarang, kerena penderitaan berkepanjangan dan patah arang dengan nasib yang tak kunjung membaik, mereka mengambil jalan pintas mengakhiri penderitaan itu dengan bunuh diri. Akhir-akhir ini kita semakin sering mendengar berita semacam itu bukan?
Akan tetapi banyak pula yang bertahan dan tetap gagah menjalani dan menantang sang hidup.
Misalnya Saimin. Kakek tua yang disinyalir berusia lebih dari satu abad yang tinggal di sebuah bekas kamar mandi bobrok yang tak terpakai ukuran tidak lebih dari 2 x 3 meter , terbuat dari bilik kayu bolong-bolong. Sakit, renta, lumpuh, tanpa kursi roda, sebatang kara dan nyaris tidak ada yang tahu kecuali masyarakat sekitar kampung nun di tengah ladang terpencil di pedalaman Banyuwangi.
Bila diukur dengan logika orang kota, lebih dari cukup alasan Saimin untuk menyerah sebetulnya. Toh dia sudah renta, sudah kenyang menikmati hidup yang tak ramah buatnya. Tidak akan ada pula orang yang menangis bila dia meninggal, karena memang tidak ada lagi sanak keluarganya. Lagipula, kehilangan satu orang Sainin tidak akan berpengaruh apapun terhadap statistik orang-orang pintar.
Tetapi Saimin memilih untuk terus mempertahankan hidupnya. Meski penuh kesunyian. Di tengah ladang terpencil, tanpa penerangan, sebatang kara. Dia memang tidak berambisi untuk melakukan turning point dalam sisa hidupnya. Dia hanya pasrah menjalani apa yang ditakdirkan Sang Pemilik Hidup untuknya. Tanpa mengeluh tanpa meminta-minta.
Sampai nasib menemukan Saimin. Pagi ini saya melihat kisahnya ditayangkan dalam berita pagi sebuah stasiun televisi swasta. Ah.. mudah-mudahan ada kebaikan yang segera menghampiri anda, Pak Tua.
Sementara Saimin-saimin yang lain, masih banyak yang terus merangkak dalam gelap di sumur-sumur terdalam kehidupan. Di sekeliling kita. Tanpa keluh kesah. Hanya pasrah.
Merekalah sesungguhnya manusia-manusia hebat itu.