Berita tentang Dahlan Iskan yang “ngamuk” di gerbang tol mengingatkan saya pada teori Broken Windows (Jendela Pecah).
Ini adalah teori kriminologi lawas yang mengatakan bahwa kejahatan bisa terjadi dan menyebar parah oleh karena adanya pembiaran.
Seperti kalau kita melewati sebuah rumah yang kaca depannya pecah dan dibiarkan dalam waktu yang lama. Situasi itu akan membuat orang berkesimpulan rumah itu tidak berpenghuni, atau paling tidak, tidak ada yang memedulikannya.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama kemudian, akan ada lagi bagian jendela yang pecah, dinding yang mulai dipenuhi coretan, terlihat kumuh dan menjadi tempat berkumpul orang-orang tidak dikenal saat malam, dan akhirnya….anarki dan kejahatan menyebar ke seluruh lingkungan.
Kejahatan dan kerusakan paling besar apapun yang pernah terjadi di dunia ini, menurut para penganut teori ini, dimulai dari persoalan remeh-temeh yang dibiarkan, seperti jendela pecah itu.
Dengan berbekal keyakinan terhadap teori ini, walikota New York, Rudi Giulliani, di pertengahan tahun 90-an melakukan perubahan besar terhadap kotanya. New York sebelum Giulliani adalah sebuah kota yang menyeramkan. Lebih dari 2000 kasus pembunuhan dan 600.000-an kasus kejahatan serius mengancam warga kota itu setiap tahunnya. Sulit bagi anda melengggang di jalanan New York atau di kereta bawah tanah (subway) tanpa rasa khawatir akan keselematan anda. Karena ancaman itu mengintai dari delapan penjuru mata angin.
Apa yang dilakukan sang Walikota?
Pertama-tama dia bersama timnya memilih untuk melakukan penertiban terhadap graffiti (corat-coret) di kereta bawah tanah. Mereka menghapus setiap graffiti yang ada. Setiap muncul satu graffiti, esoknya mereka akan langsung menghapusnya. Begitu seterusnya. Kucing-kucingan tapi konsisten.
“Lho kok ngurusin soal coretan tangan iseng anak-anak ABG? Di bawah tanah pula? Apa ngga ada pekerjaan rumah maha besar dan lebih strategis yang lain?”, demikian kritikan datang bertubi-tubi.
Jangan lupa, subway bagi kota New York adalah urat nadi kehidupan kota. Dia seperti ruas tol Tangerang+ Cikampek+Jagorawi +jalur arteri di pinggiran Jakarta, yang setiap pagi menyuplai berjuta-juta orang pinggiran untuk berkelahi dengan nasib di Ibu Kota tercinta. Fungsinya demikian vital.
Menghapus coretan-coretan itu adalah seperti mengirim pesan kepada para penjahat-penjahat pemula itu bahwa tindakan mereka tidak akan dibiarkan. “Jangan pernah berfikir untuk melakukan yang lebih besar dari ini, karena kalian tidak akan dibiarkan”, itulah pesan tak tertulisnya.
Berikutnya, para begundal yang tidak pernah membeli karcis juga ditertibkan. Pada masa itu, setiap harinya ratusan ribu orang naik subway dengan tidak membeli karcis. Dengan melakukan penertiban ini, secara konsisten mereka menemukan benih-benih kejahatan besar. Setiap harinya mereka menemukan “hadiah” berupa pisau, pistol, narkoba, uang palsu di bawa oleh manusia-manusia yang tidak membeli karcis ini.
Ketika kejahatan di kereta bawah tanah mulai menurun. Mereka melakukan hal yang sama di jalanan. Mereka menangkapi orang-orang yang buang air kecil sembarangan, ABG-ABG yang mengelap kaca mobil terus meminta imbalan dengan paksa dan yang mabuk-mabuk di pinggir jalan. Hal-hal kecil semacam itu.
Mereka percaya kejahatan kecil itu akan menjadi pintu masuk bagi kejahatan besar. Disitulah mereka memulai. Dan mereka berhasil. Sejak itu, New York menjadi kota yang lebih bersahabat .
**********
Hari-hari ini warga Jakarta sedang galau disuguhi beberapa pasang calon pemimpin yang minta dipilih. Sudah demikian lama kota (baca: negeri) ini mengalami pembiaran yang akut. Berjalan seolah-olah tidak ada orang yang bertanggung jawab terhadapnya. Auto pilot, kata orang-orang.
Jalanan berlubang yang dibiarkan menjelma menjadi perangkap yang siap menerkam para pengguna jalan. Berandal-berandal kecil yang dibiarkan (malah dipelihara) dan bermetamorfosa menjadi kelompok mafia penebar teror. Kesemrawutan lalu lintas yang dibiarkan menjelma menjadi malaikat maut yang setiap harinya merenggut nyawa dengan brutal. Dan yang paling memprihatinkan dari semua itu adalah apatisme warganya yang –oleh karena proses pembiaran berlarut-larut itu—menjadikannya manusia-manusia dengan ekspresi semakin dingin dan acuh.
Wajar ketika ada insiden ngamuk sang menteri di gerbang tol itu, seolah-olah ada oase di tengah sahara. Sang menteri memberikan “selingan segar” di tengah laku pembiaran yang parah terhadap kemacetan, utamanya di gerbang tol.
Apakah itu menyelesaikan masalah kemacetan itu sendiri? Tentu tidak. Dibutuhkan lebih dari sekedar upaya shock therapy semacam itu. Sebuah upaya yang konsisten dan terus menerus. Tetapi contohnya sudah diberikan oleh sang menteri.
Mulai saja dahulu, tunjukan itikad baiknya kepada publik dan –yang terpenting—lakukan secara konsisten. Persis seperti yang dilakukan oleh Giulliani dan timnya di New York itu.
Persoalannya, Jakarta adalah kitab persoalan maha tebal yang sangat kompleks. Darimana mengurai benang kusut keruwetan ini?
Siapapun pemimpin Jakarta yang nanti terpilih ,mestinya, dialah orang yang pertama-tama akan mengurai persoalan kemacetan dengan langkah-langkah sederhana tetapi konsisten. Dia harus memilih aksi nyata yang sederhana tapi efektif, seperti mengurai kriminalitas New York dengan cara memberangus tindak kriminal di kereta bawah tanah itu.
Aksi nyata sederhana yang tapi efektif dalam melakukan perubahan itu oleh, Stephen Covey –seorang guru manajemen– disebut trim tab . Trim tab adalah bilah sangat kecil di bagian belakang kapal laut dan pesawat yang apabila di gerakan, secara perlahan akan merubah haluan kapal laut atau pesawat, berapapun besarnya ukuran kapal atau pesawat itu. Trim tabitu terhubung langsung dengan kemudi di ruang kendali.
Bagi para pemimpin New York, trim tab mereka adalah menertibkan kriminalitas di kereta bawah tanah itu. Untuk Jakarta trim tab itu bisa jadi berupa memastikan jumlah antrian mobil di gerbang tol tidak lebih dari lima mobil, memperbaiki kuantitas dan kualitas pelayanan angkutan publik, atau tindakan apapun yang konsisten dan memberikan efek quick win, sehingga publik bisa melihat ada upaya cukup serius untuk berperang melawan pembiaran.
Jangan pernah bermimpi untuk melakukan perubahan-perubahan besar dalam hidup, sementara pada saat yang sama kita membiarkan kesempatan kecil lewat oleh karena dibiarkan tidak di tindaklanjuti, atau ditindaklanjuti dengan cara yang lamban. Sekarang atau tidak sama sekali.
Untuk kita, publik pemilih, tentu harus berkontribusi pula dalam proses perubahan ini. Jangan biarkan mereka yang jelas sudah terbukti tidak berprestasi dan tidak membawa perubahan signifikan, untuk dipilih lagi.
Anda berkontribusi terhadap semua kerusakan ini sekiranya anda memilih pemimpin semacam itu. Sebab artinya anda berkontribusi terhadap proses pembiaran yang sudah terjadi selama ini. Oleh karenanya anda layak juga untuk dihukum. Nikmati saja menjadi korban dari semua keruwetan ini !