RAHASIA 1000 JURUS

Beberapa waktu terakhir ini ceritanya saya mulai rajin mengunjungi pusat kebugaran (Fitness  Center). Olah raga favorit saya tetaplah Futsal. Nge-gym ini cuma dalam rangka memanfaatkan fasilitas gratis dari kantor sekaligus juga berusaha untuk menjaga supaya perut saya tidak terus membesar secara terstruktur, massif dan sistematis.

Maklumlah, mendekati usia 40, pertambahan lingkar perut bukanlah sebuah prestasi sama sekali. Bayangkan sebuah truk tua yang bebannya semakin berat dari waktu ke waktu.  Jangankan di tanjakan terjal dan berliku, di jalanan lempeng dan rata saja dia tertatih-tatih. Potensial patas As dan turun mesin sewaktu-waktu.

Target utama saya adalah supaya tidak tersengal-sengal sewaktu mengajar seharian, dan bisa kembali mengikat tali sepatu futsal tanpa harus ada ganjalan di poros tengah ini. Tidak terlalu peduli dengan bentuk tubuh yang harus bidang atau membentuk perut menjadi kotak-kotak seperti teras sawah di ubud itu.

Intinya saya ingin sehat, bugar dan proporsional.  Karena Tuhan menjanjikan kehidupan dan kematian, tetapi tidak pernah menjanjikan kesehatan. Kesehatan itu urusan masing-masing.

Dengan niat semacam itu, bisa dipastikan konsistensi saya mengunjungi Gym itu tidak sekukuh mereka yang memang berniat untuk membentuk badannya supaya kekar seperti seorang pesulap yang beralih profesi menjadi presenter itu. Dalam seminggu bisa satu atau dua kali datang saja sudah bagus.

Alasannya banyak, dan terutama memang oleh karena jadwal kerja saya sebagai pria panggilan. Lebih sering keluar kota dan berada di tempat klien. Meski begitu, setiap kali ada kesempatan, meski sedang keluar kota atau keluar negeri, saya usahakan untuk selalu menjaga rutinitas berolahraga ini.

Setelah beberapa bulan berlalu, berat badan (dan terutama lingkar perut saya) seperti roller-coaster. Naik-turun. Lebih banyak naiknya daripada turunnya. Turun 2 kilo naik 4 kilo. Dan begitu terus susul-menyusul. 

Sementara seorang teman di Gym tersebut, badannya boleh dibilang sangat proporsional.  Dengan usia yang hampir sama, postur tubuhnya tidak kalah dengan bintang iklan produk susu untuk pembentukan otot itu loh. Yang katanya tinggi protein dan rendah lemak itu. Sementara saya mungkin lebih tepat jadi bintang iklan produk susu juga. Tapi susu untuk Ibu Hamil.

Setelah tanya-tanya dengan si mas ini, apa rahasianya dan berapa lama dia sampai pada postur semacam itu, dia menjawab kalem; “ngga lama kok. Cuma dua tahun aja. Latihan setiap hari selama dua tahun”.

Lemak dan kalori di dalam tubuh yang sudah tersimpan berpuluh-puluh tahun sebagai akibat dari gaya konsumsi kita, tidak mungkin akan buyar dan bubar hanya dengan dihajar lari di treadmill seminggu sekali dalam porsi 1 jam. Apalagi ditambah dengan lemak dan kalori baru yang kita suplai tanpa henti dari segala macam godaan wisata kuliner yang menjamur sekarang ini.

Begitupun dengan otot-otot tubuh. Dia tidak mungkin bangun, menggeliat dan menonjol hanya karena di stimulus oleh angkat-angkat barbel seminggu sekali selama 1 jam. Itupun lebih banyak narsis membusung-busungkan dada di depan cermin ketimbang ngangkatin barbel-nya. Seakan oto dada, trisep dan bisep bisa tiba-tiba membusung setelah dua atau tiga kali angkatan.

Jadi latihan setiap hari selama dua tahun untuk sampai pada postur seperti si mas temen saya ini sebetulnya bukanlah jawaban yang mengagetkan. Inikan alamiah saja.  Sebagai bangsa agraris, nenek moyang kita tahu rahasia ini.

Semua petani sangat faham,  untuk bisa memanen dia harus melewati proses panjang menanam, memupuk, memelihara, mengembangkan serta mengekalkan, untuk sampai kemudian menuai pada saatnya. Tidak ada satupun petani yang berani mengabaikan sunnatullah, hukum alam ini. Melewati proses yang panjang itupun belum tentu memperolah hasil yang diharapkan. Oleh karena itu, kita belajar banyak, para petani adalah para pekerja keras yang sangat ikhlas. Terutama ketika itu berkaitan dengan soal hasil yang mengecewakan.

Generasi yang datang belakangan tidak mewarisi etos semacam itu. Semuanya ingin cepat dan harus sekarang kelihatan hasilnya. Tuntutan zaman memang menghendaki hal itu. Wajarlah bila kemudian segala sesuatu yang instan menjadi pilihan. Bukan cuma makanan dan kesenangan yang serba instan. Kekayaan, Kesuksesan, kebahagiaan dan bahkan kesehatan, semuanya ingin serba cepat.

Padahal sesuatu yang instan kadang mengabaikan bahkan mengorbankan prinsip.

Kalau kita melihat ada orang sukses, yang kita lihat dan ingin tiru adalah kesuksesannya. Kondisi dia sekarang yang kelihatan enak, bisa punya banyak uang, bisa melakukan apapun yang dia inginkan dan seterusnya. Tidak banyak orang yang ingin meniru berapa harga yang harus dia tebus untuk sampai pada kesuksesan itu. Berapa kali kegagalan dan keputusasaan hidup yang harus dia hadapi. Berapa banyak penolakan. Berapa ribu kali bangun dari keterpurukan. Berapa pedih kesepian dan  ditinggalkan orang. Dan lain-lain.

Kita mungkin terkagum-kagum dengan seorang Tiger Woods. Tetapi mungkin kita agak kurang memperhatikan bagaimana seorang Tiger Woods itu berlatih golf hampir setiap hari sejak balita (umur 2 tahun) bersama ayahnya. Kita cuma mengenalnya sekarang setelah dia sukses merajai turnamen golf di seluruh penjuru dunia.

Untuk para penggemar musik, anda mungkin sangat mengagumi The Beatles karena musikalisnya yang dahsyat, bahkan untuk ukuran band era sekarang, dan kemudian bermimpi untuk membuat musik yang sama dan menyaingi popularitas The Beatles, sambil pekerjaan anda cuma menghayal di depan komputer.  

The Beatles mencapai titik kematangannya dalam bermusik, yang kelak mengantarkan mereka pada puncak popularitas, setelah melewati masa-masa suram mereka di Hamburg, Jerman.

Mereka datang ke Jerman tahun 1960 sebagai band anak-anak sekolah yang memainkan musik rock di sebuah klub kurang terkenal di Hamburg, dan tidak ada satupun yang mengenal mereka.  Tidak ada yang peduli dengan musik mereka ketika itu. Bahkan klub tersebut pun abai terhadap mereka. Fasilitas minim, dibayar seadanya (bahkan seringkali tidak cukup untuk beli makan mereka berempat) dan diperlakukan seperti pekerja paksa.

Mereka harus manggung selama delapan jam setiap malamnya, selama tujuh hari seminggu!

Kita mengenal mereka menjadi raja pada dekade pertengahan 60-an sampai 70-an. Hanya sedikit yang yang sadar bahwa pada periode kelam mereka di hamburg itu, mereka harus manggung paling tidak 1200 kali!

Band mana saat ini yang pernah melewati periode manggung sebanyak itu bersama-sama secara konsisten?

Konsep inilah yang oleh Malcolm Gladwell dalam bukunya –Outliers—disebut sebagai 10.000 hours rule

Ada harga dan pengorbanan yang harus dibayar untuk sampai pada kualitas seorang Woods dan The Beatles. Paling sedikit,dalam risetnya Gladwell adalah 10.000 jam melalui latihan, latihan dan latihan.

Inilah yang sebetulnya ingin saya bahas dalam tulisan ini.

Bukan konsep 10.000 jam itu. Tetapi apa yang disebut sebagai deliberate practice. Bahasa Indonesianya, mungkin, latihan yang disengaja.  Atau latihan tak berkesudahan dengan kesadaran yang sangat tinggi.

Boleh di bilang ini satu-satunya metode scientific yang mampu mengalahkan mitos apapun tentang keberuntungan, talenta yang hebat, manusia-manusia super, untuk mencapai kesuksesan. Kalau anda ingin menguasai keahlian apapun dan menjadi orang yang sukses disana, ini dia rahasianya. Konsep ini sering dianggap sebagai bagian dari kerja keras dan jam terbang. Ya, mungkin dekat,  tetapi ini sedikit berbeda.

Kalau orang menganggap Christiano Ronaldo itu sukses di sepakbola karena kerja keras dan skillnya di lapangan, itu kurang tepat. Kerja keras dan skillnya di lapangan itu cuma buah dari latihan tak berkesudahan yang di lakukannya sejak dulu sampai hari ini di luar lapangan, yang membuatnya berbeda dengan pemain lain ketika bermain di lapangan.

Deliberate practice ini bukan perkara mudah. Dia membutuhkan persistensi yang sangat tinggi. Para ahli terang-terangan mengatakan, ini latihan yang sangat tidak menyenangkan dant tidak fun sama sekali, kecuali anda memiliki tekad baja disitu. Oleh karena itu musuhnya tidak lain adalah diri kita sendiri.

Kalau anda pernah menonton film Karate Kid 2 yang dibintangi oleh Jaden Smith, anda mungkin ingat bagaimana ketika si anak kecil yang diperankan oleh si Jaden itu menggerutu, marah-marah dan nyaris ngambek ngga mau latihan Kung Fu lagi ketika sang guru (diperankan oleh Jacky Chen) hanya meminta dia untuk mengulangi gerakan yang sama berulang-ulang.  Padahal dalam bayangan si anak, gerakan Kung Fu itu pastinya sesuatu yang keren dan asyik seperti di film-film. Pada kenyataannya, yang diterimanya sebagai pelajaran pertama dari sang guru adalah hanya membuka jaket dan menyangkutkannya dengan elegan pada sebuah kayu. Ribuan kali.

Tetapi disitulah letak tantangan sebenarnya. Tidak pernah ada jurus yang hebat. Yang hebat adalah jurus yang diulang beribu-ribu kali. Kata Bruce Lee, seorang legenda Kung Fu yang lain; “aku tidak takut kepada musuh yang punya 1000 jurus tetapi hanya di latih masing-masing sekali. Aku lebih takut kepada musuh yang punya 1 jurus tetapi di latih 1000 kali”.

Karena ketika satu jurus itu dilatih 1000 kali, dia sudah bukan lagi jurus. Dia sudah menjadi seni dan nempel kemanapun orang itu pergi. Menjadi bagian dari karakter dirinya dan muncul secara otomatis dalam tindak-tanduknya.  Itulah yang kemudian orang menyebutnya sebagai kesuksesan dan kehebatan bukan?

Itulah juga –barangkali—rahasia sukses si mas temen saya nge-gym itu.  Dan saya masih jauh dari mengulang 1000 kali itu.

Satu…Dua… Tiga……Cemunguuuudh……

Leave a Reply

Your email address will not be published.