TENTANG SEORANG SAHABAT

“Kapan ada waktu, Ali, saya ingin bertemu”.  SMS itu masuk beberapa kali ke inbox saya. Datang dari seseorang yang dalam suatu masa pernah cukup dekat.  Pada  sebuah masa yang lampau, hampir 20 tahun lalu.

Beberapa kali membuat janji temu untuk kemudian di tunda beberapa kali pula. Padahal rumahnya tidak terlalu jauh, masih di kota yang sama. Mungkin tidak sampai sepeminuman teh untuk menjangkaunya.

Ini era teknologi informasi. Dalam sebuah dunia global pula. Yang dekat jadi jauh, yang jauh selalu ada dalam genggaman.

Singkat cerita, baru dua minggu lepas kami bertemu.  

Kami bertukar kabar mengenang masa lalu. Dia masih tetap idealis seperti dulu, tetapi tampak seperti hampir takluk.  Nasib pernah menyanjungnya tinggi-tinggi tetapi pernah juga menghempaskannya ke titik yang rendah.

Dan malam itu, seperti halnya malam-malam yang pernah kami lalui bersama dahulu, kami berbincang. Sebagai dua orang dewasa yang pernah berjalan bersama, dipersatukan oleh visi dan idealisme yang sama, berbeda pendapat, berpisah jalan, untuk kemudian berjumpa lagi.  

Kehidupan sudah mendewasakan kami masing-masing.

Debu yang banyak menyelimuti rumahnya malam itu seperti perlambang dari hidup yang tidak mudah yang dijalaninya.

Tumbuh sebagai seseorang yang dianggap  “tokoh” di lingkungannya tidak lantas membuatnya menjalani hidup yang ideal. Untuk menyalurkan idealismenya dia memilih jalan politik. Sebuah pilihan yang masuk akal dengan segala  macam kiprahnya selama ini.

Setelah sekian lama, karir politiknya tidak berkembang. Sebagai idealis, dia membawa serta segala macam idealismenya untuk menciptakan –sebagaimana Plato—sebuah negeri yang penuh kebajikan dengan cara-cara yang bajik, ke dalam kehidupan politik. Tetapi ternyata yang ditemuinya justru adalah praktek-praktek para bajingan. Dia menjadi saksi nyata, dalam kehidupan politik di negeri ini, uang adalah alat sekaligus tujuan politik yang maha kuasa. Perjuangannya untuk kebajikan tidak pernah menang ketika berhadapan dengan perjuangan orang lain untuk uang. Bahkan di sebuah partai yang terang-terangan menjadikan agama sebagai dasar idiologinya.

Bukannya kemakmuran –sebagaimana persepsi kita tentang mereka yang berkarir di politik—yang  didapatnya malah kemasygulan.

Orang-orang yang berkumpul di sekelilingnya selama ini pergi satu persatu setelah tahu tidak ada lagi “gizi” dan “vitamin” (ini bahasa politik untuk uang) yang bisa mereka ambil darinya. Mereka-mereka yang selama ini datang silih berganti meminta bantuan ini-itu dan menawarkan dukungan dengan muka manis, terang-terangan mencampakannya ketika tahu dia gagal. Bahkan orang-orang yang telah dibantunya untuk keluar dari masalah finansial mereka, juga kemudian mengkhianatinya dengan tega.

Kemalangannya tidak berhenti dalam karir politiknya saja. Kehidupan pribadinya pun tidak  mudah.

Dia bercerai dengan istri yang sudah dinikahinya hampir 20 tahun dan telah memberinya beberapa orang anak beranjak remaja. Akibat kecewa dengan perceraian itu, salah seorang anaknya terlibat narkoba dan harus menjalani rehabilitasi.

Malam itu saya datang sebagai seorang teman yang sebenarnya hanya ingin mendengar saja.

Dalam memori saya, dulu, dia orang yang tidak mudah untuk mendengarkan orang lain dan cenderung mau menang sendiri. Kesuksesan dan kehebatannya menghalangi dia untuk melihat kebenaran dari pendapat orang lain. Dugaan saya, seluruh kejadian hidup yang dialaminya selama ini, sedikit banyak disumbangkan dari kecenderungan mau menang sendiri dan tidak mau mendengar ini.

Tapi, mungkin dia sudah berubah…

“Saya hanya mau mendengar”, katanya, setelah kami duduk berhadap-hadapan. Sebuah meja kecil memisahkan kami. Lampu temaram diatas kepala kami seolah menjadi pihak ketiga yang menyaksikan pembicaraan dua orang laki-laki yang sesungguhnya saling menghormati ini. Setelah menggelar kisah hidupnya seperti diatas, dia seperti kuda liar yang sudah takluk.  Dia membiarkan saya berbicara banyak malam itu, sementara dia lebih banyak menyimak dalam diam.

Dahulu, kedekatan kami berakhir secara tragis. Kami berpisah jalan setelah melewati gesekan panjang, secara intelektual maupun emosional. 

Di balik kepandaian dan kehebatannya, ada banyak cara pandang keliru yang diyakini dan dipegangnya erat-erat,  yang menurut saya kurang pas. Saya satu diantara temannya yang berani mendebat dan menunjukan kekeliruan cara pandang itu. Oleh karena itu kami kerap berdebat. Kian lama perdebatan itu kian panas, dan pada satu titik, dia sendiri memutuskan untuk berpisah jalan dengan saya dan teman-teman.

Lama saya menyimpan persepsi tentang betapa sulitnya orang ini berubah, oleh karena itu saya juga agak menjaga jarak untuk bertemu dengannya. Tetapi kehidupan juga kemudian mengajarkan saya, tidak adil untuk menuntut orang lain berubah, padahal diri kita sendiri juga sungguh sulit berubah.

Sebagai orang tua, misalnya, kita meminta anak kita untuk baik dan patuh padahal kadang kita sendiri sebagai orang tua tidak menunjukan bagaimana seharusnya baik dan patuh itu. Kita meminta anak-anak untuk disiplin, tetapi kita sering melanggar apa yang kita nasehatkan sendiri. Kita meminta mereka untuk rajin ibadah, padahal kita kerap mengabaikan waktu sholat secara terang-terangan. 

Sebagai pasangan, kita menuntut istri atau suami kita untuk berubah sesuai kemauan kita, padahal kita sendiri tidak banyak menunjukan perilaku yang lebih baik dari waktu ke waktu.

Kita ingin pemimpin kita lebih baik bekerja, lebih disiplin, lebih bersih dan lebih peduli, padahal perilaku kita sebagai rakyat dan warga negara, sangat jauh dari itu semua.

Oleh karena itu, malam itu, meski masih sedikit enggan, saya datang. Saya datang sebagai seorang teman. Sebagai sahabat. Sebagai seorang anak manusia yang ingin terus belajar tentang kehidupan.

Perbedaan pendapat itu relatif. Dia bisa sembuh dengan waktu. Dengan catatan, orang-orang yang terlibat di dalamnya punya niat baik dan mau belajar.

Sedangkan pertemanan dan persahabatan itu akan selamanya ada. Dia kebutuhan hati.  

Pada akhirnya, selagi kita masih hidup, setelah semua perbedaan kepentingan –politik, ekonomi, sosial, dan lain-lain—ini lewat, yang tinggal adalah para sahabat dan teman-teman sejati. Selain tentu saja keluarga. Merekalah yang mau menerima kita apa adanya.

Ada cerita klasik yang menginspirasi saya tentang betapa pentingnya menjaga ketulusan persahabatan ini.

Pada masanya Soekarno-Hatta adalah dwi tunggal yang tak terpisahkan. Mereka sahabat senasib sepenanggungan yang berjuang bahu membahu memerdekakan republik ini, dengan segala pengorbanan dan penderitaan.  

Pada suatu titik, setelah Indonesia merdeka, Hatta memutuskan berpisah jalan, mundur dari jabatan Wakil Presiden, setelah Soekarno semakin merajalela di puncak kekuasaannya dan tidak mau lagi mendengar pendapatnya. Bung Hatta lebih memilih berada di luar kekuasaan dan menjadi pengritik paling tajam kebijakan-kebijakan Soekarno, sahabatnya seiring sejalan dulu. Soekarno tidak pernah marah.

Pada suatu sore di tahun 1970, Soekarno menjelang wafat. Wajahnya bengkak-bengkak karena penyakit komplikasi yang dideritanya. Pemerintah Orde Baru mengucilkan sang proklamator ketika itu. Tidak boleh ada kerabat yang menjenguk, bahkan anak-anaknyapun dibatasi untuk menjenguknya. Hatta berkeras memohon kepada penguasa Orde Baru untuk menjenguk sahabat yang sebelumnya kerap di kritiknya habis-habisan itu.

Sudah beberapa hari terakhir Bung Karno hanya bisa tertidur lemah. Para dokter membisiki usianya mungkin tak lama lagi.  Sore itu, ketika Bung Hatta datang menjenguk, Sang Putra Fajar tiba-tiba terbangun.

“Hatta, kamu disini?” Dia berusaha bangkit dan mencari-cari kacamatanya.  Seperti ada energi yang menyentakan kembali Bapak Bangsa ini untuk menjabat belahan jiwa perjuangannya itu. Hatta buru-buru meraih lengan Bung Karno, mereka berbicara sebentar tetapi kemudian kehilangan kata-kata.  Mereka saling menggenggam dalam diam.  Air mata jatuh di sudut-sudut mata dua orang yang sesungguhnya saling menyayangi itu.

Para dokter, perawat, kerabat, dan semua yang hadir seperti menyaksikan sebuah drama panjang tentang dua orang patriot tak terpisahkan, yang hampir sepanjang hidupnya di abdikan untuk Republik yang masih muda ini, dirangkum dalam genggaman erat mereka yang penuh ketulusan di akhir hidup mereka. Meski dalam diam.

Dua hari setelah itu Bung Karno berpulang.

PS. Untuk teman-teman dekat yang tahu kisah teman diatas, mohon untuk tidak menyebutkan namanya. Untuk tetap menghormati ybs. Terima kasih.

Leave a Reply

Your email address will not be published.