Salah satu kegembiraan saya adalah saat mengantar dan menjemput anak-anak sekolah. Kegembiraan kecil yang saya nikmati dengan ngobrol dengan mereka sepanjang perjalanan pulang atau pergi sekolah.
Tetapi pagi itu kegembiraan kami di interupsi dengan peristiwa tabrakan motor, persis di depan kami.
Gara-garanya di sebuah persimpangan kecil yang semrawut.
Jalanan kecil, tidak ada lampu lalu lintas, mobil-motor-bus-truk-becak dan pejalan kaki berebut ruang, angkot menaik-turunkan penumpang seenak jidatnya, Pak Ogah mengambilalih kekuasaan pengaturan lalu lintas, orang-orang menyebrang jalan dengan wajah acuh dan tak peduli. Singkat cerita lalu lintas jadi kusut. Macet panjang tak terhindarkan.
Rutinitas pagi di pinggiran Jakarta, dan di banyak tempat lain di pelosok nusantara, yang sangat biasa sebetulnya.
Situasi itu tentu menantang jiwa-jiwa kreatif dan pantang menyerah rakyat Indonesia untuk selalu mencari celah dan potong kompas. Jadilah jalur dua arah yang seharusnya hanya ke utara dan selatan menjadi jalur baru yang diisi oleh terutama –motor—yang datang dari delapan penjuru mata angin. Mereka seperti koloni semut rangrang yang keluar dari sarangnya. Tak putus-putus dan berseliweran dengan tangkasnya di sela-sela mobil.
Sampai kemudian….. Brakk! Seorang Bapak agak tua terjatuh dari motornya setelah bertubrukan dengan sepeda motor lain yang ditumpangi seorang Bapak dan anak muda usia SMP. Tepat di depan kami.
Ada lebih dari 60 Juta sepeda motor berseliweran di seluruh pelosok negeri. Ratusan peristiwa kecelakaan melibatkan sepeda motor terjadi setiap harinya. Dan rata-rata lebih dari 50 orang meninggal setiap hari akibat kecelakaan itu di jalanan. Peristiwa tabrakan dua sepeda motor pada suatu pagi di jalanan kecil di sudut Tangerang itu sama sekali bukan berita.
Siapa peduli nyawa tiga orang? Sedangkan fakta puluhan ribu orang yang mati tiap tahun di jalanan karena tabrakan sepeda motor saja kalah populer dari reality show artis melahirkan!
Kita sama-sama mafhum kenapa motor jadi pilihan populer yang digunakan oleh sebagian besar rakyat ini untuk bertahan hidup. Alasan yang juga membuat saya lebih senang menggunakan motor untuk mengantar-jemput anak sekolah. Cepat, praktis dan murah.
Ketika angkutan umum langka dan ajaib perilakunya, jalanan sempit dan sesak oleh mobil pribadi, pedestrian/ trotoar jalan menghilang entah kemana, mimpi punya angkutan masal cepat masih jauh panggang dari api, tentu motor adalah solusinya.
Apalagi atas nama pertumbuhan ekonomi, pemerintah membiarkan perbankan dan perusahaan pembiayaan menyalurkan kredit konsumtif secara massif dan malah memberikan insentif untuk itu.
Oleh karena itu jangan heran kalau dealer motor mempermudah calon pembeli yang ingin membeli dengan cara nyicil alias ngangsur, malah dengan DP semurah mungkin plus iming-iming hadiah. Sementara untuk pembeli yang ingin membayar tunai malah dipersulit. Ujung-ujungnya Bank dan perusahaan pembiayaan juga yang untung besar.
Rakyat kita yang lugu dan memang butuh itu tentu merespon kebijakan murah hati semacam itu dengan mencicil lebih dari satu motor. Kadang di sebuah rumah semi permanen yang dihuni oleh tiga generasi sekaligus yang banyak kita temui berderet-deret di pinggiran Jakarta, kita akan temukan dua atau tiga motor berdesak-desakan di ruang yang sempit.
Jadi jangan mengeluh kalo sekarang jalanan macet dan semrawut karena motor (dan juga mobil pribadi sebetulnya). Karena memang panggungnya –dalam bentuk stimulus tadi—di set untuk itu.
Memberi insentif kepada kredit konsumer yang murah dan mudah, sementara pada saat yang sama memberikan dis-insentif kepada sektor pertanian; dengan harga pupuk yang mahal, irigasi yang diabaikan, pasar yang diatur tengkulak, dan lain-lain. Kira-kira apa respon masyarakat? Ya, menjual tanah dan lahan pertaniannya, berhenti jadi petani untuk membeli motor dan kemudian menjadi tukang ojek. Atau melakukan urbanisasi besar-besaran ke kota.
Dalam skala kecil, kalau orang tua menciptakan suasana “perang” di rumah, Ibu-bapak cek-cok terus dan tidak akur, komunikasi penuh dengan bentakan dan makian, sementara ruang di dalam rumah juga terbatas (karena barangkali keterbatasan ekonomi), ya… anak-anak mungkin meresponnya dengan kabur dari rumah dan beraktualisasi di jalanan, atau “kabur secara emosional” ke ruang-ruang maya yang gelap, tempat para penjahat cyber bergentayangan.
Kalau anda ingin bawahan anda bekerja dengan baik dan efektif, daripada memarahi dan memonitor pekerjaan mereka terus menerus setiap saat, mungkin lebih baik anda bikin sistem yang adil dan transparan, komunikasi dua arah yang saling menghormati serta pastikan mereka juga terus bertumbuh bersama perusahaan anda.
Kalau ingin menaikan prestasi olah raga anak-anak bangsa, bangun lebih banyak lapangan daripada mall. Pastikan lapangan itu juga rapih, bersih, terawat sebagaimana mall. Rasanya akan banyak anak-anak yang akan datang dan mulai lari-lari, bermain bola atau melakukan aktivitas fisik yang lain.
Kalau ingin mengundang burung dan kupu-kupu ke halaman kita, tanamlah pohon. Bukan burung yang dipaksa tinggal dalam sangkar di halaman.
Kalau ingin membuat orang-orang bernyanyi dan berjoget, sediakan panggung dan putarkan musik.
Inilah yang disebut dengan stimulus itu. Sediakan panggungnya, dorong orang untuk melakukan sesuatu dengan cara yang tidak ada pilihan lain kecuali mereka melakukan apa yang sebetulnya kita harapkan itu. Tidak perlu dengan banyak himbauan atau retorika.
Di Singapore, orang tidak tergoda untuk membeli motor atau mobil pribadi, kecuali yang uangnya sangat berlebih. Kenapa? Karena untuk mendapatkan mobil dan motornya mungkin bisa, tetapi untuk mendapatkan sertifikat yang memungkinkan orang untuk bisa mengendarai mobil atau motor itu bukan perkara murah. Bisa berpuluh kali lipat dari harga mobil dan motor tersebut, dengan jangka waktu yang di tentukan. Setelah itu harus diperpanjang lagi dan membayar lagi.
Sementara di sisi yang lain, angkutan umum tersedia dengan mudah dan murahnya. Cepat, nyaman dan terintegrasi. Oleh karena itu respon masyarakatnya ya lebih suka naik kendaraan umum. Dan mereka mau berjalan kaki dari satu stasiun ke stasiun lain, karena semua fasilitas penunjangnya sangat nyaman. Dalam konteks itu, pemerintah Singapore memberikan stimulus kepada warganya tidak saja untuk menggunakan kendaraan umum tetapi juga untuk berolah raga setiap harinya. Dan orang-orang Singapore secara sukarela melakukannya.
Di Indonesia juga ada contoh menarik untuk itu.
Pada masanya PT Kereta Api berjuang untuk memberantas makhluk-makhluk sisa evolusi yang belum selesai, yang sangat senang menumpang kereta dengan cara memanjat ke atap gerbong. Bertahun-tahun diupayakan dan segala macam program di kembangkan tetap saja orang-orang itu susah di suruh masuk ke gerbong. Tidak berbilang himbauan lisan, pamflet dan selebaran, nasehat dari tokoh-tokoh moral sampai ceramah agama. Bahkan sudah dibuat aksi nyata dengan melilitkan kawat berduri di atap gerbong, membuat palang pintu di titik-titik tertentu untuk menghalangi mereka, menyediakan penyemprot cat yang akan secara otomatis menyemprot orang-orang itu jika melewati stasiun tertentu.
Berhasil? Sama sekali tidak.
Persoalannya bukan mereka tidak bisa diatur, tetapi panggungnya memang mendorong mereka melakukan itu. Bagaimana mereka mau masuk ke gerbong kalo gerbongnya penuh sesak, panas, pedagang dan pencopet juga berkeliaran. Sementara mereka bisa bebas merdeka di atap gerbong dan tidak perlu membayar pula!
Ketika Pak Jonan menjadi Dirut PT KA, dia mengerti, bahwa yang harus dilakukan adalah menyediakan panggung yang mampu menggoda “makhluk-makhluk spesial” itu mau masuk ke dalam gerbong.
Kita tahu kemudian Jonan melakukan banyak perbaikan di dalam tubuh PT KA, dengan memperbaiki sistem ticketing, menjadikan hanya ada satu model kereta di jalur commuter line, tarifnya dibuat sangat terjangkau, memasang AC di tiap gerbong, memodernisasi stasiun, mengusir pedagang dari dalam gerbong, dan sejumlah langkah lain. Dan dengan semua stimulus itu, para penghuni atap gerbongpun menyerah. Sekarang proses evolusi sudah selesai. Tidak ada lagi mereka disana. PT KA berubah dengan sangat signifikan.
Sebagai pemimpin, tugas anda adalah membuat stimulus yang bijak. Yang memungkinkan orang melakukan sesuatu yang baik dengan suka rela.
Jangan harapkan kesukarelaan itu datang dengan sendirinya dari kesadaran masyarakat. Percayalah, masyarakat kita –dan manusia secara umum—adalah makhluk reaktif yang akan merespon setiap stimulus dengan polosnya tanpa berfikir panjang. Orang Indonesia bisa tidak tertib di negerinya sendiri tetapi bisa jadi sangat tertib di negeri orang. Tergantung panggungnya. Tergantung stimulusnya.
Kesadaran diri yang baik di tengah panggung yang semrawut pun akan membuat orang itu tergoda untuk menyesuaikan diri. Itu yang kita dengar tentang orang-orang baik di sebuah sistem korup yang kemudian ikut-ikutan jadi korup bukan?
Seperti juga pengendara motor di depan saya yang tabrakan pagi itu. Saya yakin mereka orang-orang baik, tetapi panggung di sekitar mereka yang semrawut menggoda mereka untuk ikut terlibat dalam kesemrawutan itu. Hingga terjadilah kecelakaan itu.
Untunglah mereka baik-baik saja.