(Tulisan ini ingin menunjukan bahwa kebahagiaan adalah soal internal state of mind. Cara dan pilihan berfikir anda. Ini soal mind-game (permainan pikiran). Dan pilihan yang bijak adalah memilih sumber kebahagiaan yang hakiki dan mendasar, yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan kita, seperti menikmatinya dari alam dan dengan orang-orang terdekat. Bukan menyandarkannya pada sesuatu yang cepat berubah dan sementara, seperti teknologi.)
Malam itu perjalanan kami ke kawasan Puncak, Bogor, terus menerus diikuti oleh sebentuk benda bulat terang nun jauh di angkasa. Dia seolah bergerak seiring ban mobil melaju di jalanan yang basah disiram gerimis sore harinya. Teman saya memandangi lama benda itu, dan bergumam pendek, “Purnama tapi kok ngga terang.”.
Benda bulat terang nun jauh di angkasa itu adalah Purnama. Bulan penuh utuh di tanggal 14 kalender Hijriyah. Tetapi malam itu, Purnama tersebut seperti murung. Tidak sebenderang biasanya.
Di sisa perjalanan, kenangan masa lalu bersama Purnama memenuhi hati.
Kami kebetulan pernah sama-sama merasakan hidup pada suatu masa dimana penampakan bulan bulat sempurna yang disebut Purnama itu masih ditunggu-tunggu. Saat cuaca cerah, malam Purnama yang benderang adalah saat semua anak kecil diizinkan bermain di luar, bersenda gurau dan berlarian sampai larut malam. Orang-orang tua berkumpul dan ngobrol sesamanya di bale-bale depan rumah. Di zaman kegelapan karena tiang listrik baru sampai kota kecamatan itu, Purnama adalah satu diantara pertanda alam ciptaan Tuhan yang kami syukuri dengan keceriaan. Ketika kami dipaksa beranjak tidur, kami menatap kembali Purnama malam itu dan jauh di dalam hati kami berharap semua malam adalah malam Purnama.
Segalanya berubah ketika listrik menyerbu rumah-rumah. Malam purnama sudah tidak lagi istimewa karena terang sekarang bisa diatur. Teknologi mampu menciptakan terang yang jauh lebih benderang dari Purnama. Bahkan, konon, di rumah-rumah judi Las Vegas sana, lampunya diatur sedemikian rupa sehingga sedemikian terangnya, tidak ada bedanya lagi antara siang dan malam, yang membuat mereka yang ada di dalamnya semaput waktu. Bukan cuma Purnama, teknologi bahkan dapat menghentikan waktu.
Keceriaan kanak-kanak pun tergantikan. Purnama bukan lagi sesosok benda alam yang dirindukan anak-anak zaman internet. Sanjungan terhadap pertanda alam melalui lagu nan syahdu seperti “Ambilkan Bulan Bu” adalah sesuatu yang barangkali sulit dimengerti mereka. Anak-anak dan adik-adik kita yang sangat logis, kritis dan mendapatkan pendidikan bi-lingual sejak dalam kandungan itu akan bertanya; ”Ambilkan bulan? Maksut lo?”
Bulan bagi mereka adalah benda biasa yang mudah dijangkau dan dijadikan mainan oleh tokoh-tokoh super hero yang keren. Sang super hero ini dalam imajinasi bocah modern mempunyai kekuatan-kekuatan maha dahsyat yang dapat melompat, terbang dan menyulap sesuatu dengan sekejap mata. Tidak ada yang bisa mengalahkan kehebatan sang tokoh, bahkan kekuatan alam sekalipun.
Satu-satunya yang mungkin bisa membuyarkan imajinasi hebat sang tokoh adalah intervensi jari orang tua terhadap gadget di depannya (yang itupun sudah semakin jarang dilakaukan). Sekalinya ada benda alam yang dimainkan secara digital oleh anak-anak kita, dia didistorsi dengan sangat menyedihkan. Burung-burung yang sejatinya lucu dan indah kini diperlakukan sebagai makhluk pemarah.
Bukan cuma anak-anak, kita pun kian tergantung dengan teknologi. Kita menggadaikan keceriaan dan kebahagiaan hidup kepada benda. Kepada alat. Kepada sesuatu yang berasal dari luar diri kita.
Kalau smartphone kita tertinggal atau rusak, separuh nyawa kita melayang. Jika kita tidak terkoneksi dengan internet, kita menjadi galau. Sehari saja tak mendengar musik, menonton film, atau membaca kicauan status orang-orang secara digital, hidung kita seolah tak simetris.
Seperti diramalkan oleh seorang sufi-filosof masa lalu, saat ini, kita telah sampai di sebuah titik dimana kita mencoba masuk ke sebuah ruang dengan mengetuk pintunya dari dalam. Ngga nyambung.
Pengennya bergantung, tetapi kita berpegangan di akar yang rapuh. Inginnya berlindung dari hujan, tapi kita menggunakan sehelai kertas sebagai pelindung. Kita ingin bahagia, tetapi mencari sumber kebahagiaan itu dari luar diri.
Padahal, sumber kebahagiaan itu –selalu, melulu dan sejak dulu—bersemayam dalam diri kita. Tak pernah, tak akan dan dan tak hendak beranjak pergi.
Kita lebih kenal dengan sesuatu yang datang dari luar yang membuat kita bahagia ketimbang menggali dan mengembangkan sumber kebahagiaan sejati yang menunggu diam di dalam diri. Oleh karenanya kita sering menyerahkan kontrol terhadap kebahagiaan kita kepada benda-benda luar yang artifisial. Yang KW ketimbang yang ORI. Seperti membiarkan mood naik-turun ditentukan oleh status, benda, atau teknologi tadi.
Kata seorang Guru, kita kerap terjebak untuk MEMILIH yang eksternal mengatur diri kita, ketimbang kesadaran diri dan hati nurani yang sifatnya internal. Padahal yang eksternal itu sementara dan sangat cepat berubah, yang di dalam diri itulah yang sejati dan abadi. Tak perlu ruang tak kenal waktu.
Teknologi sekedar alat bantu. Gunanya hanya untuk mempermudah atau mempercepat. Mengeksploitasi fungsinya secara berlebihan, seperti membiarkan teknologi menentukan mood dan kebahagiaan kita, adalah tindakan ceroboh yang semestinya tidak dilakukan. Mereka yang membiarkannya, siap-siaplah untuk bersahabat dengan galau terus menerus.
Alih-alih terus terjebak dan terpenjara teknologi, seperti terus menerus menekuri smartphone kita setiap saat, lalu perasaan dan pikiran kita menjadi galau karenanya, mungkin akan lebih menentramkan kalau sekali-kali kita mendongak ke atas, menatap langit yang cerah melihat awan berarak dan kemudian memikirikan bagaimana ya langit itu diciptakan?
Sesuatu yang sudah semakin jarang kita lakukan bukan? Padahal, memandang langit beserta seluruh misterinya, adalah bagian tak terlewatkan dari kebahagiaan kecil fase kanak-kanak kita.
Seperti kebahagiaan kami malam itu, menatap bulan bulat utuh malam 14 Hijriyyah. Meski tak lagi benderang.
Tangerang, April 2015