Selama liburan sekolah ini rumah saya jadi “markas besar” bermain anak-anak tetangga sekitar rumah. Dua anak saya kerap mengajak serta teman-temannya untuk berkumpul dan bermain di dalam rumah. Sebagaimana galibnya anak-anak usia SD bermain, mereka bising dan ribut dan biasanya hasil akhirnya rumah berantakan seperti pesawat Hercules pecah.
Masih banyak rumah tetangga yang lebih besar dan lebih bagus dari rumah kami sebetulnya. Tetapi mereka memilih rumah kami. Dugaan kami, mungkin, karena dua anak kami yang “paling iklas” kamarnya di acak-acak. Anak tetangga yang rumahnya lebih besar, orang tuanya keberatan rumahnya dijadikan tempat bermain. Karena ada banyak perabot dan barang-barang mahal di dalamnya yang terancam berantakan atau malah hancur di senggol atau di langgar anak-anak itu saat bermain.
Sementara di dalam rumah kami yang kosong melompong itu anak-anak bahkan bisa bermain bola tanpa harus khawatir menabrak apapun.
Meski kerap ngomel-ngomel karena rumah jadi berantakan, istri saya membiarkan mereka bermain. Saya –yang kebetulan sering kerja di rumah—juga kerap terganggu. Tetapi, di tengah ruang bermain yang semakin kurang sekarang ini, kemana lagi mereka harus bermain kalau kami usir dari rumah?
Apalagi dalam momen libur puasa ini. Mereka bisa bermain sejak selesai Solat Subuh sampai menjelang Dzuhur.
Bosan bermain di dalam rumah, mereka bermain di luar, berlari-larian sebagai polisi dan maling, petak umpet, main sepeda atau apapun. Kadang mereka pulang dalam keadaan kelelahan dan kehausan dan merengek-rengek untuk membatalkan puasanya. Tetapi setelah tidur sebentar, mereka akan keluar lagi bermain sore harinya sampai menjelang buka puasa. Selepas solat tarawih kadang disambung lagi bermain sampai larut malam.
Menarik melihat interaksi yang terjadi diantara mereka dalam bermain.
Tertawa bersama, berdebat sengit, saling klaim, menyalahkan, saling tuduh, ngambek, marah, nangis, pecah kongsi, marahan sekian lama, baikan lagi dengan menyantelkan jari kelingking, untuk kemudian bermain bersama lagi, pecah kongsi lagi dan begitu seterusnya.
Belum lagi melihat mereka bergandengan tangan, saling bantu dalam bermain, pelukan, saling dorong, duduk melingkar bersama mengelilingi mainan atau makanan, dan seterusnya.
It’s a human moment!
Awalnya saya kasihan karena mereka melewatkan liburan hanya bermain di rumah dengan teman-teman sebayanya saja. Sementara beberapa kawannya liburan ke tempat-tempat yang jauh.
Tetapi sebagai generasi yang melewati masa kanak-kanak di era 80-an, saya baru bisa memahami sekarang betapa indahnya human moment seperti itu. Dan konon, era 80-an adalah fase terindah dan paling bahagia dalam fase kehidupan kanak-kanak di bumi pertiwi ini.
Karena pada masa itu Republik sudah merdeka tetapi pola pikir masih bersahaja.
Jalanan belum penuh sesak oleh mobil dan motor seperti sekarang, tanah-tanah kosong, lapangan, kebun dan tumbuhan masih banyak dimana-mana dengan segenap misteri dan kegairahan petualangan yang ditawarkannya, serta para orang tua masih sedikit khawatirnya terhadap segala hal.
Kami bebas bermain dan mengeksplorasi banyak hal. Pertemanan, persahabatan dan petualangan kanak-kanak kami full of human moment. Situasi lah yang menghendakinya demikian.
Tetapi, masa itu pula, kami sudah mulai mengenal teknologi meski masih sederhana.
Generasi orang tua kami tidak sempat melihat TV saat fase kanak-kanaknya. Ketika itu, kami sudah bisa menonton Si Unyil dan Pak Tino Sidin di TVRI dan memainkan game watch di tangan, meski harus sewa. Sementara generasi anak-anak saya dan teman-temannya sudah banjir dan tenggelam dalam teknologi.
Jadi, kalau mereka masih mau bermain bersama dan tidak asyik dengan gadgetnya masing-masing, seharusnya saya patut bersyukur.
Mereka sedang melewati sebuah momen penting dalam hidup kanak-kanak mereka, yaitu bermain dan berinteraksi dengan sehat dengan sesama mereka. Dan itu tak tergantikan oleh apapun.
Begitu masa itu lewat, ada puzzle yang tak lengkap dalam hidup mereka yang akan selamanya kosong sampai mereka dewasa dan mati.
Belakangan para ahli mengatakan bahwa momen berinteraksi dengan sesamanya pada fase kanak-kanak itu adalah bagian terpenting dari pembentukan kecerdasan emosi mereka. Sebuah lini kecerdasan yang dipercaya memberikan kontribusi paling besar untuk kesuksesan dan kebahagiaan mereka kelak.
Karena di momen itulah mereka belajar menghargai, menghormati, menahan diri, rekonsiliasi, menjaga harmoni, menyelesaikan konflik dan banyak sekali hal penting yang kelak orang sebut dengan kompetensi diri.
Jadi, alih-alih merasas terganggu, seharusnya saya merasa senang mereka masih mau bermain di rumah saya.
Ayo..ayo..sini main di rumah Oom…