REVOLUSI MENTAL JUARA

Punch Gunalan dan Rudy Hartono, 1974

Ketika berbicara tentang “Revolusi Mental”, saya teringat potongan cerita dari final kejuaraan Bulu Tangkis All England di tahun 1974. Ketika itu Rudy Hartono dari Indonesia berhadapan dengan Punch Gunalan asal Malaysia.

Rudy Hartono adalah legenda hidup yang sudah memenangkan kejuaraan itu 6 (enam) kali berturut-turut sejak tahun 1968. Final di tahun 1974 itu adalah final untuk merebut juaranya yang ketujuh kali.

Punch Gunalan yang jauh lebih muda unggul di set pertama. Kemudian sempat memimpin di set kedua dengan 7-1, untuk kemudian berbalik dimenangkan oleh Rudy Hartono. Di set ketiga Rudy Hartono menang dan mempertahankan juaranya.

Punch Gunalan tidak percaya. Dia yang begitu yakin dapat menghentikan Rudy Hartono, ternyata juga harus mengakui kegigihan, persistensi, fokus dan semangat pantang menyerahnya yang terkenal itu.

Malam hari setelah bertanding Punch tidak bisa tidur. Dia meratapi kekalahannya dan –bahasa anak sekarang—gagal move on.

Di mess tempat mereka menginap yang menyatu dengan stadion, hari sudah mulai beranjak pagi ketika seseorang membuka pintu kamarnya.  Tak berselang lama terdengar suara orang  sedang berlatih fisik; seperti sedang skipping dan jogging.

Karena penasaran, Punch yang belum juga bisa tidur keluar kamar ingin melihat siapa gerangan orang yang berlatih di pagi buta itu. Ternyata dia adalah Rudy Hartono, sang maestro bulu tangkis yang siang tadi mengalahkannya. Punch kemudian tahu kenapa dia bisa kalah oleh orang itu. Sejak itu Punch bisa move on.

SIKLUS SEE-DO-GET

Mentalitas Rudy Hartono diatas adalah salah satu khazanah kekayaan mental yang perlu dicontek dan dikembangkan. Bahasa kerennya di “decode”. Yaitu mental  kedisiplinan, persistensi, fokus dan pantang menyerah. Mental Sang Juara.

Secara teori, prestasi hanyalah hasil (GET), yang merupakan konsekwensi dari perilaku berulang (DO) yang kemudian menjadi kebiasaan.  Dalam kasus Rudy, perilaku berulang itu adalah kedisiplinannya berlatih, fokus dan persistensi tadi.

Tetapi tidak semua perilaku berulang itu akan membawa kepada hasil yang diinginkan berupa prestasi, karena seringkali urusan hasil itu terkait dengan banyak faktor, yang kadang diluar kontrol kita.

Tetapi secara logis, untuk bisa masuk ke jalur prestasi, maka memang tidak ada pilihan kecuali berperilaku juga dengan perilaku para juara.

Berlatih di pagi buta ketika orang masih terlelap tidur, di negeri orang, dan setelah sehari sebelumnya menjadi juara dunia beneran, adalah perilaku SUPER JUARA. Rudy Hartono tetap konsisten menjalani kebiasaannya di tengah situasi dimana sebetulnya dia layak untuk berpesta.

Nah, situasi carut-marut politik, ekonomi, sosial, budaya yang terjadi saat ini adalah sebuah kondisi yang jauh dari jalur juara. Dan itu disinyalir karena perilaku berulang yang sudah menjadi kebiasaan/mentalitas, baik di level individu maupun kolektif; yang tidak disiplin, tidak produktif, korup, dan lain-lain. Secara sederhana perilaku umum kita adalah; ingin hasil yang cepat/instan  tanpa mau bersusah payah menjalani prosesnya.

Saya yakin inilah yang ingin dirubah secara fundamental melalui program Revolusi Mental itu.

Maksudnya supaya kita bisa berada kembali di jalur juara.  Menjadi bangsa yang di amanatkan oleh para founding father kita sebagai; merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Bukan bangsa pecundang dan pemburu rente yang menjadi budak kepentingan asing, dzalim/ penuh muslihat dengan kemakmuran yang tidak merata.

Tetapi belajar dari Rudy dan para juara lainnya, mereka sampai pada mentalitas juara seperti itu setelah melewati proses penggodokan dan penggemblengan panjang orang-orang disekelilingnya, utamanya adalah dari orang tua mereka.

Rudy Hartono jelas-jelas punya jadwal berlatih rutin hampir sepanjang hari sejak masa kanak-kanaknya dan secara ketat dimonitor oleh Ayahnya.

Demikian juga juara olahraga masa kini, Lionel Messi sang pemain sepakbola terbaik dunia, yang di monitor dan dikontrol dengan ketat oleh orang tuanya.

Pada masanya Rudy Hartono, Messi atau siapapun juga para juara itu tidak melihat proses penggemblengan itu sebagai sesuatu yang menyenangkan. Ada masa yang harus mereka korbankan untuk menebus prestasi yang gilang gemilang itu.  Sebagian masa kanak-kanak mereka mungkin tidak bisa mereka nikmati dengan bermain sebagaimana anak sebayanya.

Tetapi visi dan alasan (SEE) masa depanlah yang mendorong orang tua mereka melakukan itu.  Bahwa tidak mungkin sebuah hasil yang luar biasa berupa prestasi dicapai dengan upaya yang biasa-biasa saja. Kata Einstein; “adalah sebuah kegilaan, engkau mengharapkan hasil yang berbeda tetapi melakukan dengan cara yang sama”.

Dan untuk bisa melakukan upaya yang berbeda, tentu butuh visi dan alasan yang kuat. Butuh energi dan kontrol yang lebih.  Bahkan bilamana perlu dengan paksaan.

Awalnya mereka “dipaksa” oleh orang tua, merasa “terpaksa” oleh karena keadaan, akan tetapi  seiring waktu akhirnya mereka “terbiasa”.  Inilah siklus pembentukan kebiasaan baru yang efektif itu. Dan inilah yang terjadi dengan para juara. Mereka memaksa diri mereka sendiri atau dipaksa oleh keadaan untuk kemudian –lambat laun—terbiasa. Kata pepatah lama kita, alah bisa karena biasa.

Yang ingin saya katakan adalah, bahwa alasan atau visi untuk melakukan perubahan berupa Revolusi Mental itu tidak bisa dibiarkan dengan interpretasi masing-masing individu.  Kalau itu diserahkan kepada individu, tidak banyak orang yang merasa dirinya harus berubah. Mereka semua cenderung merasa diri baik-baik saja.

Harus visi kolektif sebuah bangsa. Artinya negara yang harus memberi tafsir dari visi itu, dan “memaksa” semua orang untuk berubah sesuai tafsir itu.

Tidak cukup sampai disitu, negara juga harus mengawal visi itu dengan disiplin yang ketat, penegakan hukum yang tegas dan konsisten sangat dibutuhkan karena orang cenderung malas berubah. Para pemimpin harus menjadi teladan dan pioneer dalam pelaksanaannya, mereka juga harus membangun sistem dan alat bantu yang diperlukan untuk menerjemahkan visi itu menjadi perilaku yang berulang secara konsisten.

Singapura di bawah Lee Kuan Yew ingin memastikan bahwa kaum pria di usia produktif haruslah sehat, bugar dan… ramping. Karena dengan jumlah penduduk sekecil itu, tidak ada pilihan bagi Singapura kecuali harus lebih produktif dalam bekerja. Dan itu artinya jangan sampai jadi bangsa penyakitan dan kalah dalam berkompetisi.

Lee Kuan Yew membuat program dimana setiap laki-laki harus ramping. Dari mulai sekolah dasar, olahraga atletik sangat ditekankan, kemudian beranjak dewasa anak-anak muda wajib ikut militer. Dan mereka diwajibkan untuk menjaga postur mereka secara ideal. Kalau tidak, wajib militer itu harus diulang.

Tidak berhenti sampai disitu, Singapura juga membuat sistem transportasi dimana orang-orang dipaksa untuk berjalan kaki dari satu stasiun ke stasiun yang lain. Mereka-mereka yang kelebihan berat badan akan cenderung sulit untuk mendapat pekerjaan, dan segala macam sistem pendukung yang membuat kaum pria mau tidak  mau harus menjaga proporsi ideal mereka. Dan bisa kita lihat di Singapura, jarang ada laki-laki buncit.

Dan, ini bagian yang terpentingnya, Lee Kuan Yew mencontohkan bahwa dirinya dan keluarganya juga ramping. Dia rajin berolahraga dan selalu menganjurkan makan sehat.

Cara-cara semacam itu saya kira dibutuhkan untuk merubah mental bangsa ini.  Bukan hanya “sebatas himbauan” dan wacana.

Kalau hanya sebatas himbauan atau wacana, mungkin Singapura tidak akan seperti yang kita kenal sekarang. Dan mungkin tidak ada nama Rudy Hartono dan Lionel Messi di Hall of fame para juara.

Tangerang, Agustus 2015

Leave a Reply

Your email address will not be published.