JURGEN KLOPP DAN THE END OF COMPETITIVE ADVANTAGE

Jagat sepakbola hari-hari ini sedang berguncang dengan berita Jurgen Klopp, pelatih eksentrik asal Jerman, resmi menjadi pelatih Liverpool. Guncangannya cukup dahsyat sampai nyaris melupakan persoalan maha penting di depan mata, seperti asap yang masih bergentayangan di sumatera dan kalimantan.

Jurgen Klopp adalah pelatih sukses dan salah satu yang paling hot saat ini, yang merevolusi Borrusia Dortmund dari klub gurem menjadi klub papan atas Eropa, sekaligus kompetitor paling serius sang penguasa tunggal Liga Jerman selama berpuluh tahun, Bayern Muenchen.

Liverpool adalah raksasa lumpuh. Pernah berjaya dekade 70 dan 80-an, dan sejak itu lebih sering terdengar slogan dan sesumbarnya daripada prestasinya.

Karena itu kedatangan Jurgen Klopp ke Anfield stadium adalah sebuah berita yang nilainya mungkin seperti jejaka mendapatkan kabar pinangannya diterima calon mertua. Atau PNS mendapatkan kabar gaji ketigabelasnya cair.

Jurgen Klopp untuk Liverpool dan pendukungnya adalah seperti Ratu Adil. Sang Juru Selamat. Bertahun-tahun di nanti, sempat kucing-kucingan, akhirnya datang juga.

Dengan reputasinya yang hebat di Dortmund, diharapkan Klopp membawa Liverpool kembali ke khittah awalnya sebagai penguasa liga Eropa. Paling sedikit bisa menjadi juara liga Inggris yang terakhir di nikmatinya 25 tahun lalu. Klopp diyakini dapat mengakhiri paceklik prestasi klub asal kota The Beatles itu.

Euforia semacam itu juga pernah terjadi ketika Louis van Gaal didapuk menjadi pelatih MU dua tahun lalu. Atau Mourinho ketika kembali ke Chelsea. Tetapi memang skalanya tidak sebesar Klopp ke Liverpool ini, karena faktor Liverpool yang terlalu lama jauh dari prestasi tadi.

Euforia itu juga terjadi dalam dimensi yang lain.

Kehadiran seorang pemimpin dengan rekam jejak sukses di masa lalu biasanya menimbulkan harapan yang membubung terhadap si pemimpin untuk membawa kesuksesan yang sama ke tempat baru. Apalagi kalau tempat barunya itu selama ini “sepi prestasi” dan cenderung underdog. Harapan itu akan amat sangat besar.

Wajar saja.

Persoalannya, sejarah menunjukan tidak semua harapan itu bisa terpenuhi dengan baik. Banyak pemimpin hebat yang punya track record sangat baik di sebuah tempat, tetapi kemudian bisa juga mandul di tempat yang lain.

Steve Jobs dikenal sosok Raja Midas, apapun yang disentuhnya menjadi emas. Dia membuat banyak produk fenomenal melalui Apple Inc.

Tetapi siapa sangka dia pernah gagal membangun sebuah produk komputer yang bantat bernama NeXT, sesaat setelah dia di pecat oleh John Sculley –CEO Apple yang di rekrutnya sendiri dari Pepsi Co, karena Jobs mau konsentrasi di pengembangan produk.

Cerita John Sculley sendiri unik. Sukses menjual “air gula” dengan brand Pepsi Co yang luar biasa ngetop, tetapi tidak sukses membangun Apple. Scully kemudian –atas pengaruh Jobs juga – dipecat balik oleh Board of Director Apple, sesaat setelah Jobs dipanggil pulang karena dianggap yang paling faham “idiologi” Apple.

Saya mengenal seorang CEO yang memiliki nama besar di industri perbankan, yang sukses membangun bisnis perbankan di level regional, tetapi ketika di percaya memimpin sebuah industri perbankan lokal dengan skala yang lebih kecil, malah nyungsep.

Dalam sepakbola contoh seperti itu juga banyak.

Dulu ada pelatih sukses yang dianggap bertangan dingin namanya Guus Hiddink. Pelatih asal belanda itu sukses membawa PSV Eindhoven dari klub gurem nyaris tak terdengar menjadi raja liga Belanda dan Eropa pada akhir 80-an. Dia juga sukses mengantarkan Timnas Belanda sebagai peringkat keempat pada Piala Dunia 1998, dan yang paling fenomenal menjadikan Timnas Korea Selatan sebagai peringkat keempat Piala Dunia 2002.

Setelah rangkaian kesuksesan itu –dan beberapa cerita sukses yang lain—pelan—pelan nama Guus Hiddink mulai sayup-sayup. Euforia tentang dirinya redup. Belakangan dia tidak berhasil meloloskan Timnas Rusia ke Piala Dunia 2010. Di pecat sebagai pelatih Timnas Turki. Dan baru saja, secara tragis dia dipecat oleh Komite Sepakbola Belanda (KNVB) –yang memanggilnya pulang lagi—untuk mengulang sukses Timnas Belanda pada masa lalu, ketika dia asuh.

Guus Hiddink ternyata manusia biasa juga.

Di Liverpool sendiri bahkan ada contoh brutal tentang betapa tidak ada jaminan kesuksesan itu terulang. Bahkan di tempat yang sama, dua kali berturut-turut.

Adalah Kenny “KING” Dalglish, sang buah hati belaian jantung pendukung Liverpool. Legenda abadi stadion Anfield yang angker itu. Panggilan KING itu benar-benar penghormatan serius pendukung Liverpudian atas nama besar dan pengaruhnya kala itu.

Bermain selama 13 tahun di Liverpool dan memberikan banyak medali pada dekade 70an, kemudian dipromosikan menjadi pelatih Liverpool pada periode 80-an dan masih setia memberikan beberapa piala ke dalam lemari pajang klub itu. Tetapi ketika di panggil pulang lagi pada tahun 2011 untuk mengulang cerita sukses di kandang yang sama, nasibnya tidak seberuntung dulu. Dia hanya di kontrak selama satu musim saja. Dia dipecat dengan tidak hormat.

From Hero to Zero.

Bukan saya ingin meramal bahwa Klopp akan gagal di Liverpool. Kita perlu bersabar untuk melihat kiprahnya.

Saya hanya ingin berbagi sebuah gagasan kontroversial dari seorang Professior Columbia Business School –dan juga salah seorang kolumnis yang mulai mencuri perhatian—namanya Rita Gunter McGrath dalam bukunya yang berjudul “The End of Competitive Advantage” yang mengatakan bahwa sekarang sudah bukan eranya lagi seorang atau suatu organisasi memiliki “Continous Competitive Advantage”.

Dengan kata lain, tidak ada yang sukses terus-terusan. Kalau orang atau organisasi itu sukses dalam sebuah situasi, percayalah, dia tidak akan pernah selamanya sukses, dalam dimensi yang sama apalagi dengan memperturutkan ekspektasi yang sama.

Ini era yang kata Rita di buku itu “Transient Competitive Advantage”. Kalaupun sukses, mungkin sukses dalam konteks yang sementara. Dalam ruang, waktu dan dimensi tertentu dan terbatas. Ketika ruang, waktu, dan dimensinya berubah, kesuksesan itu –belum tentu—bisa di ulang. Apalagi kalau menggunakan cara pandang dan pendekatan yang sama.

Nokia sukses melakukan perubahan mendasar dari sebuah perusahaan penggilingan kertas dan karet menjadi perusahaan telekomunikasi selular. Tetapi ketika bisnis selular mulai masuk ke area kuat-kuatan software (OS, Apps, dll), Nokia pun tumbang dan harus “diasuh” oleh Microsoft.

Kembali ke soal Jurgen Klopp diatas.

Disini ada tiga faktor penting untuk membuat pelatih bergaya urakan yang disenangi banyak orang ini tidak bernasib seperti Hiddink, Dalglish atau Nokia.

Pertama, dari sisi dirinya sendiri sebagai individu. Saya kira, Juergen harus cepat beradaptasi dengan dengan tim dan melakukan apa yang disarankan oleh Rita sebagai “Continous Reconfiguration”.

Ini tantangan besar dan butuh nyali. Dia harus berani menafsir ulang Liverpool. Membongkar semuanya; pemainnya, strategi dasar sepakbolanya, sistem rekrutmen dan pendidikannya, bahkan bilamana perlu nilai-nilai dan budayanya. Dia tidak bisa menggunakan pendekatan “satu pil untuk semua penyakit”.

Van Gaal di Manchester United melakukan hal itu dan sepertiya mulai kelihatan hasilnya.

Kedua, manajemen klub. Tidak ada yang lebih sial daripada bertemu dengan pemilik ladang yang ingin segera panen sehari setelah menanam. Bagian ini saya tidak ingin berpanjang kalam.

Nah yang ketiga ini yang penting; anda, saya dan kita semua para penonton yang sering bikin gaduh baik di dalam stadion maupun di media sosial.

Apa yang harus dilakukan? Jangan ketinggian berharap. Bahasa kerennya managing your expectation.

Klopp adalah manusia biasa. Dia pernah berhasil. Sangat mungkin juga gagal.

Sebagaimana juga Jobs, Sculley, Hidding, Dalglish atau siapapun di atas muka bumi ini. Meski begitu, kan kita tidak bisa menghakimi dan menstempel mereka-mereka yang berhasil terus gagal itu sebagai “manusia yang gagal”.

Pada akhirnys Jobs sukses besar ketika kembali ke Apple. Sculley, Hiding dan Dalglish, kita belum tahu akan seperti apa akhir hidup mereka.

Oleh karena itu, kata Rita McGrath, pelajaran penting dari era ini adalah, ketika seseorang/sebuah organisasi sudah sampai pada satu titik kesuksesan dan sudah mengeksploitasi habis-habisan di titik itu, maka saat itulah dia harus tahu bahwa dia harus berhenti atau berubah.

“The real secret to success may be knowing when it’s time to quit or adapt”. Banyak pemimpin hebat dalam membuat strategi dan eksekusi, tetapi hanya sedikit yang berani mengatakan; it’s over. Apalagi di puncak kesuksesannya.

Mengeksploitasi puncak kesuksesan habis-habisan tidak akan menghasilkan kesuksesan yang lebih besar. Sudah pasti tahap berikutnya adalah penururan.

Oleh karena itu, daripada artikel ini kepanjangan, ya sudahlah, saya akhiri sampai disini saja. Mudah-mudahan Meneer Klopp bakalan klop di Liverpool.

________________________

(Sila kunjungi www.kinerja.id untuk program leadership dan performance)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.