SPRITUALITAS ZAMAN BARU

Minggu lalu saya berdiskusi dengan salah satu klien, dari salah satu perusahaan paling sukses di tanah air. Di tengah berita suram tentang kelesuan ekonomi dan PHK di mana-mana, perusahaannya salah satu diantara yang membukukan laba fantastis di tahun lalu. Mereka siap-siap untuk ekspansi besar-besaran di tahun ini, dan mereka akan memulainya dengan program spiritualitas.

“Spiritualitas?” Tanya saya. Alis saya bertemu.

Bukankah spiritualitas biasanya wacana orang-orang yang “kalah”? Yang lari ke area itu ketika dia sudah merasa tak berdaya, menjadi korban, dan tak mampu menolong dirinya sendiri, lalu mencari sambatan lain di luar dirinya yang di persepsi “jauh lebih besar dan kuasa” dari apapun yang ada di dunia ini? Termasuk lebih besar dari mereka yang mengalahkannya?

Klien itu menjawab; “justru itu”. Kami ingin membuktikan tidak seperti itu. Spiritualitas adalah inti kehidupan. Dia harus selalu ada bahkan ketika di puncak kesuksesan. Tetapi disitulah letak tantangan terbesarnya.

Mengajak orang untuk bertaubat dan kembali ke jalan yang benar, jauh lebih mudah kepada mereka-mereka yang sedang terjerembab jatuh ke jurang ketimbang mereka yang sedang menikmati indahnya puncak pegunungan.

Orang bisa menangis terguguk-guguk ketika diingatkan untuk kembali kepada Tuhan dan memohon ampun atas dosa-dosa yang diperbuat saat dalam kondisi lemah tak berdaya atau jatuh tersungkur. Tetapi nasehat semacam itu akan seperti angin lalu untuk mereka yang tidak merasa punya masalah, baik-baik aja dan bahkan sedang berada di puncak karir.

Itu makanya, dulu, para Nabi pengikut awalnya kebanyakan adalah orang-orang papa, kalah dan lemah. Hati mereka sedang lembut-lembutnya dan dengan mudah bisa disentuh oleh dakwah sang Nabi. Sementara orang-orang kaya dan kuasa biasanya hatinya keras dan kerap menjadi musuh dan para penentangnya.

Itu pula mengapa orang-orang lanjut usia lazimnya lebih relijius dan rajin beribadah ketimbang anak-anak muda. Karena orang-orang sepuh itu tahu bahwa masa kejayaan mereka sudah lewat dan mereka memasuki masa ketidakberdayaan. Karenanya hal paling logis yang bisa mereka lakukan adalah mendekat kepada sesuatu yang jauh lebih berdaya. Sementara, anak-anak muda, mereka ada di puncak kekuasaaan hidup. Nasehat seringkali ngga mempan menembus hatinya.

Sebagai penikmat isu-isu kepemimpinan, spiritualitas adalah satu diantara elemen paling “gurih” untuk di kunyah-kunyah. Hubungan keduanya sangat erat. Bahkan menyatu. Karena inti dari kepemimpinan adalah spiritualitas itu sendiri.

Dia seperti santan di dalam rendang. Dimanakah elemen santan dalam sepotong daging rendang yang empuk dan maknyus? Ya di dalam rendang itu sendiri. Tidak ada rendang tanpa santan.

Demikianlah. Tidak ada kepemimpinan (yang baik) tanpa spiritulitas.

Karena elemen paling fundamental dan paling sulit dari sebuah kepemimpinan adalah kesanggupan untuk “tidak menjadi siapa-siapa” di tengah kesuksesan. Untuk merasa ikhlas tidak disorot oleh lampu tembak di atas panggung prestasi, untuk tidak ditulis di dalam headline media ketika menceritakan tentang kesuksesan, dan mengikhlaskan kredit atau pujian untuk orang lain.

Juga sebaliknya, menjadi manusia pertama yang pasang badan ketika sesuatu tidak berjalan sesuai rencana, mengambilalih tanggungjawab anggota tim ketika ada kesalahan dan kegagalan, serta mau menanggung resiko yang paling buruk sekalipun untuk itu, tanpa harus mencari kambing hitam.

Itu semua adalah kualitas para nabi.

Kualitas untuk lebih mengedepankan kebaikan orang-orang di sekelilingnya lebih daripada kebaikan untuk diri dan keluarganya sendiri.

Mustahil para pemimpin bisa menjadi pemimpin yang baik dan efektif, jika masih mengedepankan ego dan kepentingan diri di atas kepentingan orang-orang yang dia pimpin. Karena bahkan dari intinya –yaitu niat dan motifnya—saja sudah cemar.

Artinya, dari sisi spiritualitasnya sudah tidak lurus.

Karenanya, dengan si klien siang itu di kantornya yang nyaman, kami berdiskusi tentang mengapa justru spiritualitas sangat dibutuhkan pada zaman ini, dan pada setiap zaman. Bahkan di tengah kesuksesan.

Saya berbicara tentang tiga elemen spiritualitas yang wajib dimiliki oleh siapapun yang ingin menegakan spiritualitas di dalam diri atau organisasinya, yaitu CONNECTEDNESS (Keterhubungan), SELF DISCIPLINE (Disiplin Diri) dan CONTRIBUTION (Kontribusi).

Ketiganya saling terhubung dan terkait satu dengan yang lain. Tak bisa dipisah-pisah.

Kapan-kapan saya sambung lagi untuk membahas ketiganya ya.

Salam, Ali Damanik

Leave a Reply

Your email address will not be published.