Dalam tulisan terdahulu saya menjelaskan bahwa spiritualitas adalah inti kehidupan, dalam kehidupan pribadi maupun professional. Termasuk di dalamnya kepemimpinan.
Kehilangan spiritualitas dalam kehidupan berarti kehilangan hidup itu sendiri. Dia akan seperti pelita kehabisan minyak. Perlahan-lahan nyala dan energi hidupnya redup dan mati. Siap-siap saja berkawan dengan kegelapan dan kegalauan.
Dalam konteks zaman modern, spiritualitas ini seperti sistem operasi (operating system) dalam sebuah komputer. Secanggih apapun fitur-fitur aplikasi yang anda miliki dalam gadget anda, tanpa adanya sistem operasi yang baik, dia tidak akan bekerja.
Saya sudah menyebutkan tiga elemen penting yang wajib dimiliki –baik oleh individu maupun organisasi—jika ingin menginstal spiritualitas dalam kehidupan, yaitu Keterhubungan (Connectedness), Disiplin Diri (Self Discipline) dan Kontribusi (Contribution).
Ketiganya saling terhubung, menjadi satu kesatuan dan tak bisa dipisah-pisah.
Menghilangkan salah satunya, maka dia menjadi puzzle yang tidak lengkap dan tidak lagi bisa disebut spiritualitas. Dan karenanya hidup andapun menjadi tidak lengkap.
Connectednes dan Self Discipline tanpa Contribution artinya anda hanya menjadi seorang egois yang merasa diri soleh tapi tak bermanfaat apa-apa buat kehidupan. Self-Discipline dan Contribution minus Connectedness artinya anda hanya menjadi seorang humanis biasa yang rentan rapuh ketika berhadapan dengan tekanan. Connectedness dan Contribution tanpa Self-Discipline, anda mau berkontribusi apa untuk orang lain? Sedang mengurus diri sendiri saja anda belum mampu.
Mari kita geledah satu persatu ketiga elemen ini.
KETERHUBUNGAN (CONNECTEDNESS)
Keterhubungan yang dimaksud disini adalah keterhubungan vertikal dengan pencipta. Hablum-minallah. Sebuah kebutuhan alamiah dan batiniah manusia untuk mencari sesuatu yang jauh lebih besar dari dirinya. Dengan hubungan itu dia merasa hidupnya tenang dan damai di dalam batinnya meski terjadi banyak pergolakan di sekelilingnya.
Dia seperti benang untuk layang-layang. Sebesar apapun angin di angkasa, selagi layangan masih terhubung dengan benang, layangan itu masih bisa dikendalikan dan manteng di atas sana.
Begitu benang itu putus, angin kecilpun bisa menerbangkan layang-layang itu entah kemana.
Manusia –dengan ego dan logikanya—mungkin menolak Tuhan Yang Maha Esa, tetapi dia tidak mungkin menolak kebutuhan untuk terhubung dengan sesuatu –yang dipersepsikan—Yang Maha Besar. Apapun itu.
Kita tahu kemudian ada manusia yang menyembah berhala, angin, pohon, matahari, science, iblis, duit, bahkan penyanyi dangdut.
Karena dengan keterhubungan itulah manusia mendapatkan bahan bakar dan energi untuk menjalani hidupnya yang tak pasti di hari esok, masa depan, kehidupan lain sesudah kehidupan sekarang. Dan seterusnya.
Dengan ketidakpastian yang sangat tinggi dalam hidup, energi dan bahan bakar itu mestilah yang berlimpah dan tak berkesudahan. Terus menerus menyuplai motivasi, harapan, inspirasi, makna dan lain sebagainya. Dan itu tidak mungkin di suplai dari sesuatu yang bersifat profane (duniawi), harus dari sesuatu yang sakral. Atau setidaknya dipersepsi sebagai sakral.
Karena bagaimana mungkin sesuatu yang duniawi –sekarang, sementara, pasti berakhir—bisa memberikan energi yang abadi dan tak berkesudahan?
DISIPLIN DIRI (SELF DISCIPLINE)
Kalo Connectedness adalah dimensi vertikal yang menghasilkan kesadaran diri, maka Self Discipline ini adalah dimensi “0” (Nol) dari manusia.
Dia menjadi semacam titik sublimasi, dimana manusia menginternalisasi keterhubungan vertikal tersebut dalam bentuk laku-laku atau amalan tertentu sebagai konsekwensi dari komitmen keterhubungannya diatas.
Tidak hanya laku atau amalan dalam dimensi spiritual (Ruh) saja tetapi juga amalan dalam dimensi Raga (fisik), Rasa (emosi) dan Rasio (pikiran).
Hasil akhirnya adalah kontrol diri yang prima. Dia tahu batas. Punya sikap dan tidak mudah tergoda. Atau, sekiranya dia melenceng, dia tahu jalan kembali dan segera balik ke jalur yang semestinya.
Titik Nol dalam disiplin diri inilah yang akan menentukan apakah manusia bisa melesat jauh dalam garis positif kehidupan, menghasilkan karya dan kontribusi maksimal, atau sebaliknya, malah terpelanting ke dalam tren negatif yang membuat hidupnya terpuruk.
Oleh karena berada di titik Nol, maka tidak ada yang akan melihat dan memperhatikan proses menjalani laku dan amalan tersebut. Karena proses itu hanya melibatkan dirinya dan kesadaran yang terbangun di dalam batinnya sebagai efek dari keterhubungannya tadi itu. Disinilah ujian yang sesungguhnya dari kedalaman dan kekhusyuan sebuah keterhubungan vertikal itu. Apakah sesuatu yang artifisial belaka atau memang sesuatu yang penuh-seluruh alias totalitas.
Mereka-mereka yang membangun keterhubungannya dengan totalitas akan memiliki disiplin diri yang mengagumkan. Kita tahu bukan dari simbol yang digunakannya melainkan dari efek yang ditimbulkan dari tindak-tanduknya.
Para pemimpin sejati biasanya ada di level ini. Mereka memiliki disiplin diri yang mengagumkan, dalam hal apapun. Orang lain terinspirasi karenanya. Dan karenanya orang-orang itu rela dan bersedia dipimpin oleh mereka.
Sementara bagi mereka-mereka yang artifisial, mereka akan disibukan untuk memastikan orang lain mengetahui disiplin diri yang dilakoninya.
KONTRIBUSI (CONTRIBUTION)
Kontribusi ini adalah konsekwensi logis dari dua proses sebelumnya diatas. Dia berada pada dimensi horizontal. Kalau dua sebelumnya –keterhubungan dan disiplin diri—adalah proses yang sunyi dan sendiri, maka kontribusi ini adalah bentuk pengejewantahannya, yang bisa dilihat dan dirasakan manfaatnya oleh sesama.
Inti dari kontribusi adalah menjawab adagium bahwa “everything happens with a reason”. Tugas kita adalah mencari tahu dari alasan (reason) kehadiran kita di muka bumi ini. Simply karena tidak mungkin Sang Maha Pencipta menciptakan setiap noktah kehidupan dengan sia-sia.
Alasan itu bisa jadi berbeda dari satu orang ke orang yang lain. Sebab memang minat, bakat dan talenta yang dimilikipun berbeda-beda. Karenanya, tugas setiap orang adalah mencari “ruang” atau “tempatnya” masing-masing untuk memberi nilai tambah untuk kehidupan.
Pada titik inilah manusia menemukan puzzle terakhirnya sebagai makhluk spiritual, yaitu mahkluk yang “tadinya tidak ada dan akan kembali tidak ada”.
Di tengah-tengah “ketidak-adaannya” itu, Tuhan berikan kesempatan untuk meninggalkan jejak dalam kehidupan fana ini untuk orang mengenang keberadaannya. Meski sesaat.
Dan itulah modal untuk dia kembali nanti menghadap kepada Zat Maha Kuasa yang menjadikannya ada.
Wallaahu A’lam.
Spiritualitas wajib kita miliki dalam menjalankan hidup selama di muka bumi, setiap manusia diciptakan untuk memiliki arti dan kontribusi pada manusia lainnya.
Kita di beri kesempatan untuk meninggalkan jejak dalam kehidupan fana ini agar orang mengenang keberadaan kita. Meski sesaat dan modal untuk kita kembali nanti menghadap kepada Zat Maha Kuasa yang menjadikan kita ada.
Benar sekali mba. Makasih ya udah mampir.