AADC-2 DAN PENILAIAN KINERJA

Salah satu adegan daman film AADC-2

“Tidak adil kamu bilang…?”, Cinta meradang.. “Yang kamu lakukan ke saya itu….Jahat”.

Kalimat terakhirnya membuat Rangga tertunduk diam. Jarak emosional seratus lebih purnama betul-betul terlampau jauh, meski secara fisik mereka hanya dipisahkan sebongkah meja kafe.

Mereka yang sudah nonton film “Ada Apa Dengan Cinta 2” (AADC2) pasti tahu bagian ini. Adegan ini sebetulnya sangat biasa. Tetapi dia menjadi terkenal karena jauh sebelum filmnya diputar, adegan ini jadi bahan lelucon berupa meme dengan beragam versi dan menyebar secara brutal melalui internet.

Menyaksikan adegan itu entah kenapa otak HRD saya bekerja.

Yang saya bayangkan yang sedang duduk berhadap-hadapan di sebuah kafe di pojokan Jogja dalam adegan itu adalah seorang karyawan dengan atasannya dalam sebuah sesi penilaian kinerja (Performance Appraisal) akhir tahun.

Sang Bawahan (Cinta) berdebar-debar menunggu vonis penilaian Sang Atasan (Rangga) atas kinerjanya selama ini.

Sebagaimana dalam AADC2, Sang Atasan selama beberapa purnama “menghilang” entah kemana. Tak pernah ada diskusi atau pembicaraan serius kecuali obrolan basa-basi tentang hal yang remeh-temeh. Atau sekalinya berkomunikasi lebih banyak maki-maki dan marah-marahnya.

Kini dalam sesi yang maha menentukan karir dan kenaikan gaji Sang Bawahan itu, Sang Atasan pun kikuk.

Kalau kinerja Bawahan memang kinclong tidak ada masalah. Apalagi ketika kondisi perusahaan sedang dalam sehat wal afiat, dimana jangankan mereka yang berprestasi, yang biasa-biasa sajapun kebagian jatah naik gaji.

Dengan ringan Atasan bisa mengabaikan “ketidakhadirannya” selama beberapa purnama itu, karena toh anak buahnya juga tidak akan mempersoalkannya selagi fulus masih mengalir deras. Apalagi kalo sampai bonus digelontorkan. Situasi aman terkendali.

Paling-paling Atasan basa-basi sedikit agar supaya meningkatkan kinerja di tahun depan, yang akan dijawab “ho-oh” oleh Bawahan. Juga dengan basa-basi.

Tetapi ketika situasi bisnis sedang payah seperti sekarang, dimana mereka yang tidak memberikan kontribusi berbeda untuk perusahaan hanya akan menambah beban derita jika dipertahankan terus-menerus, maka biasanya perusahaan akan tiba-tiba jadi sangat perhatian kepada detil kinerja tiap individu karyawannya.

Hal kecil yang dalam situasi normal tidak pernah dipermasalahkan, kini akan jadi masalah besar. Masalah kopi dan gula di pantry saja akan jadi isu kinerja yang bisa di bawa ke rapat direksi.

Dan ketika pada akhirnya pilihan sulit harus diambil perusahaan, katakanlah vonis wan-prestasi oleh karena sistem ranking yang dipaksakan atau bahkan rasionalisasi karyawan dengan PHK, dan Rangga selaku Atasan harus mengeksekusi Cinta dalam sesi di kafe itu, maka benarlah adanya kata-kata Cinta diatas.

“Yang kamu lakukan kepada saya itu bukan cuma tidak adil”. “Yang kamu lakukan kepada saya itu…Jahat!”.

Bagaimana tidak jahat, wong selama ini Sang Atasan (Rangga) menghilang sekian purnama di telan oleh kesibukannya sendiri. Tak ada pembicaraan yang benar-benar serius diantara purnama demi purnama itu tentang ekspektasi masing-masing, khususnya mengenai kinerja yang diharapkan dan bagaimana bekerjasama memenuhi harapan itu dari masing-masing pihak.

Terlebih-lebih ketika tidak pernah ada mekanisme “check point” dimana setiap saat Sang Bawahan tahu posisi klasemennya di perusahaan dalam konteks kinerja, seraya dia juga mendapatkan umpan balik dan dukungan yang transparan untuk memperbaikinya setiap saat.

Maka jatuhnya vonis wan-prestasi apalagi kalo sampai PHK, kata Jack Welch –seorang Guru Manajemen dan mantan CEO GE—bukan cuma jahat, tetapi sangat kejam (cruelest).

Yang menjadi poin pentingnya disini adalah kejelasan (clarity).

Itulah yang dicari Cinta dari Rangga. Dan itu yang membuat penonton juga penasaran sehingga datang berduyun-duyun dan memenuhi shaf-shaf bioskop seperti shalat tarawih di Masjid pada malam-malam awal Ramadhan.

Clarity itu juga yang menjadi semangat dari sistem pengelolaan kinerja (Performance Management System), salah satu tools manajemen paling hot abad ini, tetapi sekaligus yang paling problematik.

Mengapa problematik? Karena semakin dikejar kejelasan ini, dia semakin kabur.

Dia seperti lensa pada kamera, tergantung di titik mana anda berdiri dan di sisi mana cahaya berada. Dia juga harus terus menerus di- adjust. Sama halnya dengan keadilan. Tidak pernah ada betul-betul keadilan yang adil buat semua.

Manajemen bukan murni science, setengahnya adalah seni.

Tetap butuh parameter untuk menjadi tolok ukur pengembangan dan perbaikan. Karena apa yang tidak bisa diukur tidak bisa diperbaiki. Tetapi pada saat bersamaan, butuh sentuhan seorang maestro untuk membuat alat itu bekerja pada fungsinya yang optimal.

Perlu ada sistem penilaian kinerja yang jelas dan tegas untuk menunjukan bahwa “Pintar Goblok Penghasilan Pasti Tidak Sama”. Dan memang tidak boleh sama. Karena Tuhan saja menciptakan Surga dan Neraka.

Tetapi pada saat yang sama, perlu pendekatan seorang Rangga di AADC, yang menulis puisi, yang mengajak Cinta menonton pertunjukan musikalisasi puisi, mengajaknya melihat sisi lain kehidupan yang bukan semata-mata pekerjaan sehari-hari, yang dengan itu hubungan menjadi lebih menarik, bergairah dan penuh gelora.

Di titik itulah semangat untuk membangun kinerja (maupun romansa) tumbuh bersemi. Yaitu pada titik dimana manusia merasakan manfaat bersama dari sebuah hubungan.

Artinya perlu ada sebuah pendekatan yang lebih personal dan komunikatif diantara Atasan dan Bawahan yang dapat mengklarifikasi ekspektasi atas kinerja itu secara terus menerus, dengan cara yang kreatif dan menggunakan dialog (percakapan) sebagai medianya.

Bukan yang basa-basi, tetapi bukan juga yang cuma setahun sekali (di sesi penilaian akhir itu). Melainkan yang berketerusan dan terstuktur.

Ini akan membantu banyak hal. Paling sedikit membantu Bawahan tahu apakah dia berada di track yang tepat atau sudah melenceng.

Sehingga ketika manajemen dihadapkan pada situasi-situasi sulit, seperti terpaksa harus memberhentikan karyawan oleh karena kondisi perusahaan yang berdarah-darah, semua orang tahu dan jelas dimana mereka berada dari sisi prestasi dan kinerja. Karena memang sepanjang waktu ada check-point tadi. Sehingga masing-masing tahu siapa yang harus pergi dan siapa yang tinggal.

Kalo itu dilakukan dengan kontinyu, terstruktur –apalagi didukung dengan tools yang transparan– mungkin Cinta (Bawahan) tidak perlu berkata seperti itu kepada Rangga (Atasan).

Tangerang, Juni 2016

Leave a Reply

Your email address will not be published.