Banyak eksekutif hari-hari ini mengalami sindrom –kata anak muda sekarang—Andi Lau, antara dilema dan galau. Perlambatan ekonomi yang berlarut-larut ini membuat semua strategi pertumbuhan dan ekspansi seperti pisau tumpul. Tidak banyak membantu, kalau boleh dibilang tidak berfungsi sama sekali. Oleh karena itu strategi paling populer digunakan pada zaman ini adalah strategi bertahan (survival). Masih bisa hidup saja sudah bagus. Seraya mengidentifikasi setiap kemungkinan untuk terus memperpanjang nafas.
Sayangnya dari sekian banyak strategi yang dikembangkan untuk bertahan di tengah bisnis saat ini, tidak banyak eksekutif yang menjadikan Employee Engagement sebagai top priority strateginya. Padahal dalam riset global yang dipublikasikan oleh Harvard Business Review pada tahun 2013 lalu, karyawan yang melibatkan diri dengan sepenuh hati terhadap pekerjaannya (highly-engaged employee) inilah solusi dari pertumbuhan maupun strategi bertahan hidup dalam bisnis.
Karena highly engaged employee itulah yang bisa diharapkan bisa meningkatkan produktivitas, inovasi, dan pada akhirnya mengerek naik kinerja keuangan perusahaan. Ibarat pasukan tempur, mereka inilah para pasukan khusus yang siap diterjunkan kemana saja dengan medan seperti apa saja.
Situasi bisnis yang rumit dan penuh dengan pola-pola yang kacau (disruptive) di era ini tidak lagi bisa dihadapi dengan pendekatan standar ala pasukan organik biasa, yang cuma bekerja sesuai kontrak saja. Dibutuhkan banyak kotribusi yang kadang-kadang di luar dari job description masing-masing, yang apa boleh buat, demi keberlangsungan bisnis, harus dilakukan.
Studi Harvard tersebut mensurvey sebanyak 568 top eksekutif dari berbagai perusahaan besar di seluruh dunia. Dan mereka mengatakan bahwa employee engagement berkontribusi terhadap keberhasilan sebuah organisasi sebesar 71%.
Sebuah angka yang mencengangkan.
Dan faktanya di era seperti sekarang, kebutuhan untuk memastikan bahwa setiap individu di dalam tim kita terlibat dengan sepenuh hati semakin terasa penting. Karena kita hidup di sebuah post-information era. A human era. Dimana nilai lebih (skill, kreativitas, daya inovasi) seorang individu yang bertalenta tinggi akan memberikan dampak berbeda terhadap organisasi. Dan nyaris tak terganti.
Ini era dimana kita tidak bisa lagi sesumbar bahwa tenaga kerja banyak di luar sana dan bisa dengan mudah kita comot dari jalanan. Era itu sudah lewat.
Karenanya, daripada kita terus menerus bongkar-pasang strategi dalam menghadapi naik-turun bisnis yang kadang melibatkan waktu, sumber daya dan energi yang terbuang percuma, mengapa kita tidak fokus saja kepada strategi yang satu ini?
Yaitu memastikan bahwa anggota tim kita mengeluarkan yang terbaik dari dalam dirinya dan membantu mereka untuk memberikan kontribusi sepenuh hati, bukan cuma untuk bisnis dan pekerjaan tetapi juga untuk kehormatan dan harga diri mereka.
Bagaimana caranya?
Ada banyak faktor yang berkontribusi terhadap tumbuhnya employee engagement ini. Menurut studi Harvard tersebut 3 (tiga) pendorong teratas adalah; pertama, recognition for high performers, Kedua, clear understanding how job contributes to strategy dan ketiga, communication strategy from senior leadership
Para karyawan juara ini senang diberikan pengakuan dengan cara-cara yang otentik dan tidak template. Mereka ingin kejelasan apa kaitannya pekerjaan mereka dengan misi besar perusahaan, juga komunikasi dua arah yang terencana dengan baik dan dilakukan dengan cara-cara kasual. Bukan yang serabutan apalagi formal dan penuh dengan perintah dan tekanan.
Artinya mereka akan mengeluarkan yang terbaik dari dalam diri mereka kalau mereka diperlakukan “lebih dari sekedar karyawan”, yang cuma disuruh dan di perintah.
Mereka senang di ajak berdiskusi dan berkomunikasi terbuka tentang “Why” dari pekerjaan itu. Bukan cuma sekedar “What” dan “How” saja. Karena ketika mereka memahami dengan baik “Why”-nya maka mereka akan melakukannya dengan cara mereka sendiri sepenuh hati. Dan biasanya anda akan dibuat terkaget-kaget dengan hasil yang mereka capai.
Hal ini juga sejalan dengan riset global yang secara periodik di gelar oleh BlessingWhite –konsultan global yang berfokus di area leadership dan employee engagement, yang berbasis di New Jersey, USA.
Dalam riset dua tahunan itu BlessingWhite menemukan bahwa faktor terpenting dari seorang karyawan untuk terlibat sepenuh hati dengan pekerjaannya adalah ketika bertemunya antara kontribusi maksium (maximum contribution) yang dituntut oleh perusahaan dari karyawan tersebut, dengan kepuasan maksimum (maximum satisfaction) yang dicari oleh karyawan dengan bekerja di perusahaan tersebut.
Dua-dua itu ada di dalam lintasan yang berda. Yang satu alat ukur organisasi (contribution) sementara yang satu lagi alat ukur karyawan (satisfaction). Tidak jarang benturan terjadi karena perbedaan alat ukur ini.
Pemimpin yang baik, akan memastikan kedua-duanya itu bisa sejalan. Kuncinya adalah hubungan kemitraan antara keduanya yang di landasi komunikasi yang terbuka dan transparan. Persis seperti sebuah perkawinan antara suami dan istri yang berlatar belakang yang berbeda tetapi visinya sebetulnya satu. Visi perusahaan dan karyawan itu juga sebetulnya satu, yaitu keberhasilan.
Ketika hubungan kemitraan itu bisa dibangun secara terbuka dan transparan, maka karyawan melihat ada win-win dalam hubungan tersebut. Dia punya peluang mendapatkan keberhasilanya (setidaknya nilai-nilai pribadi dia di hargai) dan karenanya –biasanya—dia bersedia untuk berkontribusi.
Saat dia memutuskan untuk menaikan level kesediannya untuk berkontribusi lebih itulah dia sedang menaikan level of engagement-nya untuk organisasi. Kalau momentum itu bisa dijaga dan ditingkatkan terus, tinggal menunggu waktu saja dia akan memberikan sesuatu yang bahkan mungkin tidak anda bayangkan sebelumnya.
Kalau sudah begitu, anda tinggal menikmati hasilnya saja.
Tangerang, Juni 2016