“Bukan yang paling kuat atau yang paling cerdas yang akan bertahan. Yang akan bertahan adalah yang yang paling bisa menyesuaikan diri dengan perubahan”.
Kalimat bertuah milik Mbah Charles Darwin itu terngiang-ngiang di telinga saya waktu minggu lalu saya berdiskusi dengan seorang teman—yang juga klien—tentang agility (kelincahan).
Perusahaannya – sebuah multinasional asal Jepang—mengalami sebuah situasi tak terelakkan untuk berubah seiring dengan perubahan zaman. Sebuah situasi yang juga sebetulnya dialami oleh hampir semua organisasi saat ini. Padahal kita tahu, struktur dan budaya Jepang demikian sangat rigid dan tidak mudah untuk melakukan perubahan-perubahan.
Salah satu faktor kunci dari suksesnya proses perubahan itu adalah ketangkasan atau kelincahan dari orang-orangnya untuk terus belajar dan menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan itu. Untuk selalu terbuka dengan cara-cara berfikir- bersikap dan bertindak baru dan terus menerus belajar menyesuaikan diri dengan cara-cara baru tersebut. Istilah kerennya “Learning Agility”.
Learning Agility ini adalah atribut penting yang sekarang dicari dan dipelajari oleh banyak organisasi agar bisa selamat di tengah gelombang perubahan yang maha dahsyat ini.
Ibaratnya, di tengah hantaman gelombang badai samudra yang bertubi-tubi, yang dibutuhkan saat ini adalah sebuah kapal dan segerombolan awak yang cekatan dan lincah membaca segala kemungkinan dan mau melakukan apapun untuk memastikan kapal selamat di tengah badai. Bukan awak kapal yang hanya sekedar menunggu perintah dan bekerja pas bandrol.
Sedemikian dahsyat amukan badai perubahan tersebut sehingga tidak mungkin di lawan. Pilihannya adalah kita menyesuaikan diri atau tenggelam di tengah-tengahnya. Menjadi titanic yang karam atau menjadi dinosaurus yang punah.
Oleh karena itu kelincahan dan ketangkasan sangat dibutuhkan disini.
Kelincahan berbeda dengan kecepatan (speed), kualitas lain yang juga dibutuhkan untuk bisa unggul. Yang ideal adalah dua-duanya. Cepat dan lincah, seperti scooter matic di tengah kemacetan Jakarta. Tetapi, kata klien itu, dalam situasi saat ini yang lebih dibutuhkan adalah kelincahan.
Kecepatan (speed) membutuhkan power, sementara kelincahan membutuhkan kelenturan untuk berbelok, menekuk dan bermanuver.
Kompetisi yang kita hadapi sehari-hari kerap kali menggoda kita untuk berlari secepat-cepatnya di dalam lintasan diantara dua garis lurus. Padahal sangat boleh jadi garis finishnya bukan di ujung lintasan tersebut.
Ada banyak rambu-rambu penting yang perlu selalu kita waspadai, untuk pada satu momen yang tepat, kita mungkin perlu sedikit berbelok untuk sampai di finish. Sedikit saja kita terlewat membaca rambu-rambu itu, mungkin kita akan kehilangan momen penting (crucial moment) untuk berbelok. Ketika itu orang lain –yang kita tinggalkan jauh di belakang—mungkin sudah meninggalkan kita di lintasan yang berbeda.
Ketika media online baru mulai di awal tahun 2000-an, ketika itu koran-koran berlomba-lomba menjadi yang tercepat untuk sampai ke tangan pembaca. Media-media besar membuat percetakan jarak jauh, mempercanggih mesin percetakannya, ada juga yang menambah frekwensi terbit menjadi 2 kali dalam sehari, pagi dan sore. Ada juga yang selain menerbitkan harian mereka juga menerbitkan mingguan, dan lain-lain. Singkat cerita mereka berlomba di lintasan yang lurus.
Tetapi hanya sebagian kecil yang betul-betul waspada membaca tanda-tanda zaman dan berinvestasi di online platform. Dan mereka-mereka itulah yang saat ini mungkin bisa menikmati legitnya kue e-commerce di saat perusahan-perusahaan media konvensional menggelepar-gelepar karena jauh tersesat di jalan yang terang.
Rambu-rambunya tak kasat mata dan momentumnya mungkin hanya sepersekian detik. Tetapi ketika kita kehilangan momen krusial untuk bermanuver dan berbelok tadi, kadang akibatnya cukup fatal.
Riset klasik Google menunjunkan bahwa para first mover (mereka-mereka yang duluan memulai) tingkat kegagalannya mencapai 47%. Sementara para improver (mereka yang luwes belajar dari kegagalan pendahulu) tingkat kegagalannya hanya 8%.
BUKAN SOAL UKURAN
Menjadi cepat adalah soal fisik. Tetapi menjadi lincah adalah soal mentalitas, dan juga skill.
Gajah bisa menjadi binatang pemalas yang kerjanya hanya tidur dan makan, tetapi dia juga bisa menjadi gajah sirkus yang pandai menari dan lucu. Tetapi sudah pasti gajah tidak akan pernah bisa menang dalam lomba lari 100 meter melawan Cheetah misalnya.
Idealnya tentu anda dan organisasai anda seperti Cheetah. Hewan yang dianggap paling cepat berlari dan paling lincah dalam berburu.
Tetapi jika takdir anda adalah gajah, jadilah gajah yang ramping dan lentur. Yang bisa berlari cepat dan membelok dengan taktis. Yang diamnya elegan dan bergeraknya tanpa beban. Yang bisa melesat cepat ketika berburu laksana rajawali tetapi dapat menari centil laksana kenari.
Takdir organisasi kawan saya ini adalah seekor gajah afrika yang sangat besar, dengan karyawan ribuan orang. Sulit membayangkan mereka untuk bisa seperti sebuah organisasi rintisan (start-up) yang sekarang banyak menjamur. Ada kultur dan struktur yang sudah tercipta sedemikian rupa yang membuat level kelincahannya berbeda dengan kelincahan organisasi start-up yang hanya berisi beberapa orang saja.
Tetapi menurut saya problemnya sama saja, apakah organisasi ribuan orang atau karyawan dua orang. Yaitu soal mentalitas orang-orangnya. Terutama pemimpinnya.
Saya pernah bekerja di sebuah bank asing yang didisain sangat lincah dan luwes, dimana seorang karyawan biasa di Jakarta bisa berkomunikasi langsung dengan pemimpin regional yang berkantor di Singapore hanya melalui e-mail. Bahkan minta persetujuan anggaran khusus langsung kepada yang bersangkutan hanya melalui email. Sang pemimpinpun bisa langsung memutuskan disetujui atau tidak disetujui hanya dalam hitungan menit, juga melalui email. Saya curiga dia menyetujuinya sambil berendam di bathtub di kamar mandinya.
Sementara, pada saat yang lain, saya juga pernah bekerja di konglomerasi besar yang karyawan di kantor holding-nya hanya beberapa puluh orang, tetapi rasanya keputusan demikian sangat sulit keluar. Padahal jarak dengan sang pimpinan tertinggi hanya beda satu lantai saja.
Ada perusahaan besar yang didisain menjadikan gagasan-gagasan baru yang datang dari siapapun –selagi itu bagus untuk kemajuan perusahaan—sebagai sumber energi untuk bergerak. Bahkan mereka memberi tempat untuk yang semacam itu.
Cerita Pak Handry Satriago –CEO General Electric (GE) Indonesia yang fenomenal itu—bahwa dia menjadi CEO hanya karena dia “menantang” Jeff Immelt –Boss GE global—untuk menjadikan Indonesia now market, bukan selalu future market mereka. Jeff Immelt menantang balik Handry mampu tidak mewujudkan gagasan gila itu? Handry bilang siap.
Jadilah Handry putra bangsa pertama di GE Indonesia yang menjadi CEO di perusahaan paling legendaris di kolong jagat itu.
Pada bagian yang lain, ada juga organisasi kecil rintisan yang mentalitas orang-orangnya seolah masih bekerja di perusahaan besar yang segala sesuatunya sudah terjamin dan mapan. Saya katakan masih, karena memang mereka sebelumnya bekerja di perusahaan besar dan mapan itu. Tetapi karena satu dan lain hal, mereka harus berlayar dengan kapal sendiri yang lebih kecil.
Tetapi apa yang terjadi, ritme kerja tidak berubah malah lebih santai dengan alasan sekarang memiliki kebebasan dan keleluasaan. Ada yang bahkan tidak bisa bangun dari mimpi bahwa dia sudah tidak punya sopir lagi dan kemana-mana harus menyetir sendiri. Menganggap bahwa hanya dengan memerintah dan berbicara semuanya akan terjadi dengan sendirinya.
Jadi, kembali ke soal Agility tadi, ini bukan soal gajah atau semut. Perusahaan besar atau perusahaan kecil. Dua-duanya membutuhkan kelincahan dan keluwesan dalam bidangnya masing-masing.
Seperti kata Mbah Darwin diatas, Gajah yang tambun tetapi lincah dan luwes dalam menyesuaikan diri mungkin akan lebih survive dibandingkan semut baper yang susah berubah. Meskipun ukuran semut itu jauh lebih kecil.
Tangerang, Agustus 2016