Lisa adalah seorang eksekutif yang bekerja di bidang periklanan dan pemasaran. Menginjak usia 38 tahun dia mulai galau dengan karirnya yang sebenarnya sudah mapan itu. Tekanan pekerjaan bertubi-tubi yang dia dapat membuatnya mulai berfikir untuk keluar dari zona nyaman karirnya itu. Dia ingin bekerja sesuai dengan passion atau panggilan hatinya, yaitu menjadi guru yoga.
Lisa akhirnya memutuskan untuk benar-benar keluar dari pekerjaan dan mengejar mimpinya menjadi guru yoga.
Kisah Lisa di atas barangkali contoh ideal dari mantra yang kerap diperdengarkan para motivator atau konsultan karir, follow your passion and do what you love. Hidup terlalu singkat untuk mengerjakan sesuatu yang tidak anda sukai karena hanya akan menyiksa anda nantinya.
Ini saran yang baik. Tetapi jika tidak disikapi dengan bijak, mengandung banyak jebakan. Jebakan itu dirasakan Lisa (kita akan bahas nanti).
Cobalah tanya kepada anak-anak anda apa yang menjadi passion dan kesenangan mereka saat ini. List-nya tidak akan jauh-jauh dari main game, nonton youtube, bermain media sosial terutama Instagram, menggambar, menyanyi dan olahraga. Dua yang terakhir itu sekarang malah semakin berkurang dan terus turun popularitasnya.
Teman-teman saya langsung pucat dan agak speechless sewaktu anak-anaknya menjawab pertanyaan pengen jadi apa kelak. Alih-angin ingin jadi pilot, dokter atau Insinyur Pertanian seperti generasi orang tuanya, anak-anak itu menjawab ingin menjadi Youtuber, selegram (selebriti Instagram), gamer, dan yang sejenis dengan itu. Di dalam hati para orang tua itu ada kekhawatiran diam-diam akan nasib dan masa depan buah hati kesayangan mereka itu kelak.
Itu bukan jenis jawaban yang mereka harapkan untuk sebuah karir pekerjaan dan masa depan yang baik. Tetapi itulah yang menjadi kesenangan atau passion anak-anak generasi millennial saat ini. Harusnya kalau mereka percaya dengan passion yang akan menentukan kesuksesan, mereka tidak perlu pucat.
Saya menemukan beberapa jenis manusia ketika berbicara tentang passion dan kaitannya dengan karir ini.
Pertama, orang yang kebingungan dengan passion-nya. Mereka hanya menjalani apa yang perlu di jalani dalam hidup, termasuk pekerjaannya. Tidak banyak mempertanyakan segala sesuatu.
Kedua, mereka yang tahu passion-nya. Tetapi ya itu tadi, biasanya menyangkut hobby yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan, seperti jalan-jalan, belanja, family time, olah raga, kuliner, kesenian dan lain-lain, yang mereka lakukan sebagai selingan.
Dari orang-orang jenis ini, ada beberapa yang memiliki keinginan untuk kelak menjadikan hobby-nya sebagai profesinya dan masih terus menunggu “momen yang tepat” untuk itu. Sebagian besarnya tetap menjadikannya sebagai hobi akhir pekan yang selalu mereka nantikan dengan tidak sabar.
Kelompok orang-orang jenis kedua ini yang paling besar populasinya. Dalam sebuah riset di Kanada, populasi jenis orang-orang kedua ini mencapai lebih dari 80 persen dari tenaga kerja.
Ketiga, orang-orang yang tahu apa passion-nya dan bekerja di bidang yang memang menjadi passion-nya itu. Mereka ada di beragam profesi; penulis, pengajar, tenaga penjual, konsultan, wira usaha, dokter, pengacara, peneliti, petani, seniman, programmer, olahragawan, serta banyak lagi profesi yang lain.
Anda mungkin mengira bahwa orang-orang jenis ketigalah yang punya kans paling besar untuk sukses dalam karir mereka.
Ternyata tidak juga. Banyak diantara mereka justru gagal. Dan kebalikannya justru banyak juga orang-orang dari jenis pertama dan kedua yang sukses gilang gemilang dalam karirnya.
Ingat, kita tidak semata-mata berbicara tentang passion dan kesenangan yang egois. Tetapi menghubungkannya dengan sesuatu yang lebih jauh, yaitu kemanfaatannya terhadap orang lain yang membuat orang lain merasa terbantu dan terinspirasi. Efeknya lanjutannya mereka mengapresiasi diri anda dan karenanya juga membawa dampak dalam karir dan kehidupan anda yang lebih luas.
Anda bisa saja mengerjakan pekerjaan yang anda senangi dan memang menjadi passion anda tetapi tidak berdampak apa-apa terhadap orang lain. Bahkan tidak banyak membantu diri anda sendiri.
Itulah yang terjadi pada Lisa seperti cerita diatas.
Lisa sangat senang sudah bisa mewujudkan mimpinya dan mengatasi ketakutannya untuk mengambil keputusan. Tetapi dia harus memulai segala sesuatunya dari nol karena sama sekali tidak punya “modal karir” untuk menjadi seorang guru yoga.
Situasi rupanya tidak berjalan sebagaimana perkiraannya. Dia harus berhadapan dengan berbagai kenyataan bahwa berbisnis sebagai seorang guru yoga membutuhkan waktu untuk betul-betul bisa sampai pada situasi ideal yang dia bayangkan. Uang tabungannya habis dan Lisa tak kunjung bisa mendapatkan murid yang cukup untuk bisa membiayai bisnis dan hidupnya.
Bagian tragisnya, Lisa akhirnya harus hidup dari kupon makanan yang disediakan oleh pemerintah setempat.
Tetapi di sisi lain, ada juga orang seperti Joe. Sama dengan Lisa, dia juga seorang eksekutif pemasaran yang kemudian memutuskan berwirasusaha juga. Berbeda dengan Lisa, Joe berbisnis di area yang memang dia memiliki pengalaman, kemampuan dan jaringan di situ, yaitu tidak jauh-jauh di bidang pemasaran juga.
Jauh sebelum dia keluar dari pekerjaanya, Joe sudah menyiapkan segala sesuatunya dan betul-betul mengasah competitive advantage-nya dengan fokus pada pembuatan disain-disain logo yang kreatif, unik dan bernilai seni. Ia mengeksplorasi betul latar belakangnya sebagai seniman.
Ketika Joe bertranformasi menjadi pengusaha, tidak menunggu lama bagi dia untuk kemudian berhasil dalam bisnis yang ditekuninya.
Jadi, dengan kata lain bukan soal apakah itu passion atau bukan passion anda. Jika anda ingin sukses di bidang apapun, kata Cal Newport –seorang penulis muda yang sedang naik daun—yang dibutuhkan sesungguhnya adalah kemampuan dan keterampilan anda yang sedemikian bagusnya yang membuat anda percaya diri dan orang lain tidak mungkin mengabaikannya (So Good They Can’t Ignore You).
Dan untuk itu tidak ada jalan pintas kecuali anda memaksakan diri anda untuk sampai di level “yang kemampuannya tidak bisa diabaikan” oleh orang lain itu. Mendisiplinkan diri untuk sampai pada keahlian level dewa, itulah kunci terberatnya.
Semata-mata passion tidak cukup. Perlu dibekali dengan kedisiplinan yang tinggi, determinasi dan semangat pantang menyerah. Newport menyebutnya sebagai mentalitas Pengrajin, yang bekerja tidak berdasarkan mood atau suasana hati, tetapi dengan kedisiplinan dan detil yang tinggi untuk menghasilkan sebuah karya.
Banyak orang bekerja dengan passion-nya tetapi passion-nya itu di atur oleh mood-nya. Tidak akan jadi apa-apa. Seperti banyak penulis berbakat yang bekerja menunggu ilham. Dia bisa menghasilkan karya yang dahsyat luar biasa suatu waktu, untuk kemudian dalam jangka waktu yang panjang tidak mengeluarkan karya apa-apa lagi karena ilham tak kunjung datang. Lama-kelamaan kemampuannya tak terasah dengan baik lagi.
Akan tetapi, banyak penulis dengan bakat biasa-biasa saja, tetapi dia mendisiplinkan diri terus untuk berkarya. Hasilnya barangkali tidak sedahsyat penulis pertama diatas pada awalnya, tetapi dalam satu titik, dalam jangka panjang, kemungkinan besar dia akan menyalip kemampuan si penulis berbakat di atas. Karena kemampuannya sudah terasah dengan disiplin yang baik dan orang tidak mungkin lagi mengabaikan kualitas karya-karyanya.
Ketika anda sampai pada level itu, orang akan melihat anda bekerja dengan natural, rileks seperti sangat menikmati, punya banyak kreativitas dan memberikan dampak yang tidak kecil kepada orang lain.
Mungkin itu yang orang bilang bekerja dengan cinta itu.
Tangerang, September 2016