DIAM, NGAMUK ATAU DIAM-DIAM NGAMUK?

Ineffective Communication

Begitu presentasi selesai, kawan ini buru-buru menghampiri saya.

Sepanjang presentasi tadi dia memperhatikan dengan serius dan seperti sangat gelisah. Raut wajahnya tak bisa menyembunyikan bahwa dia seperti mendapatkan momen “A-ha” . Entah karena presentasi saya atau entah karena ada malaikat penabur ilham yang melayang lewat dan hinggap diantara tiang-tiang ruangan sejuk itu, pagi itu.

Ketika ada sesi bertanya, kawan ini menyampaikan pertanyaan dengan ekspresi  yang meluap-luap. Kata-katanya seperti tak sanggup menampung derasnya ilham yang mengalir dari kepalanya. Kita tahu itu dari orang yang sedang sangat bersemangat akan sesuatu, atau sedang jatuh cinta!

Caranya berbicara, pergerakan bola matanya dan kalimat-kalimat jernih yang keluar dari mulutnya, semua menunjukan bahwa dia orang yang peduli. Karenanya dia gelisah.

Dia menyalami saya erat dan –seperti kawan lama yang sudah berpuluh tahun tak pernah bertemu— menceritakan tentang betapa berharganya presentasi saya pagi itu buat dia.

Dia berkisah  bahwa di perusahaannya saat ini sedang ada situasi perang dingin. Semua orang tiba-tiba tidak berselera untuk berkomunikasi satu sama lain dan mogok bicara.

Di atas permukaan seolah tidak ada masalah dan baik-baik saja. Mereka masih ngomong ala kadarnya untuk sekedar berbasa-basi. Tetapi dibalik itu semua, sesungguhnya ada bara dalam sekam yang siap meledak dan melumat siapa saja.

Alih-alih saling memulai untuk berbicara tentang pekerjaan, mereka saling menghindar.

Yang terjadi adalah pembicaraan di balik pembicaraan. Meeting after meeting. Saling menebak-nebak apa maksud setiap kata dan kalimat. Bisik-bisik di selasar. Serta aktivitas-aktivitas terselubung, diam-diam dan gelap di luar ruang-ruang kerja dan pertemuan resmi.

Singkat cerita sedang ada krisis kepercayaan yang akut di antara sesama mereka.

Gara-garanya ada pergantian kepemimpinan di dalam tubuh organisasinya. Pemimpin-pemimpin lama pergi dan pemimpin-pemimpin baru datang, membawa serta rombongannya berikut dengan kebiasaan-kebiasaan barunya.

Orang-orang lama merasa sedang disingkirkan pelan-pelan oleh orang-orang baru sok tahu. Dan orang-orang baru –karena merasa berkuasa dan mendapat angin—merasa orang-orang lama tidak bisa di ajak kerjasama dan bagian dari masalah. Situasi yang sebetulnya masih sebatas asumsi di kepala masing-masing, belum tentu benar, tetapi hidup dan dipelihara diam-diam. Dan mereka hidup dan bekerja berdampingan sehari-hari dengan asumsi-asumsi semacam itu.

Tidak heran komunikasi macet dan mesin organisasi jadi bergerak lambat

Situasi ini mengingatkan saya pada sinetron “Tersanjung” di masa lalu. Sinetron berjilid-jilid yang  tak habis-habis dengan cerita di seputar itu dan itu saja. Konflik dan konflik.  Cirinya; mata membelalak, ada orang yang berbicara dengan dirinya sendiri dengan senyum sinis, dan kamera maju-mundur, zoom in –zoom out.

Ini kisah klasik saja, saudara-saudara…

Tetapi yang klasik inilah yang paling sering saya dan anda hadapi sehari-hari.  Efeknya dahsyat.  Anda bisa putus pertemanan di media sosial alias unfriend, putus hubungan persaudaraan sampai, barangkali –nanti – perang dunia ketiga terjadi gara-gara hal ini.

Manusia adalah makhluk yang hidup dengan pikirannya. Dia dibesarkan dan disosialisasikan dengan hasil pikiran-pikiran berupa nilai-nilai, kebiasaan, budaya dan lain sebagainya. Ketika terjadi perbedaan kita cenderung menilai perbedaan itu dengan standar pikiran-pikiran yang selama ini nyaman dengan kita.

Ini hal yang wajar. Tapi seringkali di kewajaran itulah masalah muncul. Kenapa?

Kita hidup di zaman yang tidak wajar dimana perubahan terjadi dengan amat sangat cepat. Dalam proses perubahan sangat cepat itu kenyamanan berfikir kita di uji.

Sayangnya sikap manusia  terhadap proses perubahan itu secara umum adalah berusaha mempertahankan kenyamanan itu, sehingga  responnya tidak jauh-jauh dari dua buah titik ekstrim, kalau tidak silence (diam) atau violence (mengeras).  Kata orang jawa, antara ngalih atau ngamuk. Atau kedua-duanya, diam-diam ngamuk dan ngamuk diam-diam.

Padahal perubahan membutuhkan klarifikasi (dari kata clarify, “menjelaskan”) terhadap nilai-nilai lama dan sekaligus juga nilai-nilai baru.  Memilih mana yang bagus dari “orde lama” untuk dipertahankan dan dibawa ke zaman baru, juga memilah mana-mana yang relevan dari semua yang baru yang dibawa dari luar, yang cocok dengan konteks tantangan yang dihadapi di dalam.  Karena tidak semua yang baru itu pas di badan.

Untuk bisa “menjelaskan” itu mediumnya apalagi kalo bukan dialog dan percakapan? Yang terbuka, terstruktur dan dipenuhi semangat untuk saling mengisi dan berkolaborasi.

Menjadi silence atau violence (alias ngalih atau ngamuk) adalah bukan pilihan. Apalagi kalau ngamuk diam-diam atau diam-diam ngamuk. Karena sama-sama tidak menguntungkan. Tidak ada “kejelasan” dari dua sikap ekstrim itu. Yang ada adalah keruwetan yang kian menjadi-jadi yang merugikan semuanya, termasuk organisasinya, seperti kasus yang sedang dihadapi oleh kawan saya itu.

Presentasi saya sendiri pagi itu sebetulnya tentang Growth Conversation. Percakapan yang menumbuhkan.

Sebuah percakapan sehat yang harus diatur sedemikian rupa antara atasan dengan bawahan dalam organisasi, yang memungkinkan orang-orang di dalamnya, dan juga organisasinya pada akhirnya, tumbuh.

Berbeda dengan jenis percakapan lain yang banyak di pelajari dalam ilmu manajemen (seperti leadership conversation atau coaching), percakapan jenis ini dimulai dan dimiliki oleh bawahan. Berpartner dengan atasannya, sang bawahan yang akan memainkan peran aktif di dalamnya.

Banyak pemimpin yang sudah dibekali menjadi pemimpin yang baik, atau orang tua yang tau bagaimana membangun parenting yang baik dengan anak, mereka siap untuk menerapkan ilmunya dan membangun komunikasi yang baik dengan bawahan atau dengan anak-anaknya.  Tetapi ketika bawahan atau anak-anaknya tidak siap untuk bercakap-cakap, jadinya kan seperti bertepuk sebelah tangan.  

Nah karenanya dari sisi sebelah sana, si bawahan dan si anak juga harus dibekali, supaya mereka lebih siap untuk bercakap-cakap bareng. Karena pada dasarnya percakapan adalah sebuah tarian tango yang tidak bisa dilakukan sendirian. It takes two to tango.

Zaman sekolah dulu, ini mungkin sama dengan metode CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif).  Selain guru harus terus dibekali, murid juga harus siap dan dipersiapkan. Karena, ketika murid siap, guru akan datang.

Saya tidak terlalu pasti, apakah gara-gara itu kawan saya diatas mendapatkan “A-ha” momennya, atau –karena memang dia orang yang peduli terhadap kebaikan orang-orang di dalam organisasinya—malaikat baik menghampirinya pagi itu dan memeluknya dengan sayap-sayap penuh ilham.

Wallahu A’lam. 

Tangerang, September 2016

Leave a Reply

Your email address will not be published.