THE ART OF GETTING WHAT WE WANT

Karto, teman saya,  adalah seorang yang sangat argumentatif. Dia punya seribu satu fakta dan data yang siap dia hadirkan secara logis untuk meyakinkan siapa saja yang meragukan argumennnya. Dia memang seorang yang sangat cerdas, kritis, mengetahui banyak hal,  dan seorang pendebat yang kompulsif.

Dia bisa dengan mudah mengeluarkan seluruh isi kamus setebal bantal untuk mendukung argumennya. Atau mengutip pendapat seseorang yang kredibel di bidang yang sedang diperdebatkan semudah dia menyebutkan apa  makanan favoritnya. Di lain waktu dia mengeluarkan semua data dan hasil riset terkait dengan sebuah topik yang diperdebatkan seenteng dia menumpahkan semua koleksi mainannya dari dalam karung.

Tetapi kami –teman-temannya—yang kerap  menjadi lawan debatnya, tidak pernah bisa teryakinkan dengan semua argumennya itu. Akan ada selalu argumen dibalik argumen yang ujung-ujungnya kalau tidak berantem ya…sepakat untuk tidak sepakat.

Yang kami tolak bukan data, fakta, hasil riset, kutipan, ayat, atau apapun yang dia hadirkan sebagai pembenaran dari argumennya.

Yang kami tolak adalah DIA-nya. Karakter diri dan kualitasnya sebagai seorang teman.

Terdengar seperti subyektif? Iya. Dan berita buruknya, begitulah cara manusia berinteraksi.  Berita lebih buruk lagi, hampir semua manusia seperti itu.

If you don’t believe the messenger you won’t believe the message. Kalau anda tidak percaya dengan orangnya (who), apapun (what) yang dia katakan –bahkan ketika yang dikatakannya benar sekalipun—anda tidak akan percaya. Telinga dan hati manusia sudah tertutup untuk melihat dan mendengar kebenaran dari argumen yang disampaikannya.

Makanya Sayyidina Ali pernah mengatakan “lihatlah apa yang dikatakan (what/message), jangan lihat siapa yang berkata (who/ messenger). Ini ajaran mulia untuk meluruskan kecenderungan manusia –yang sebetulnya— bengkok itu, yang sangat mempertimbangkan siapa sebelum apaMessenger sebelum message. Dan karenanya subyektif. Dan juga emosional.

Pengaruh kecenderungan bengkok ini terkait dengan banyak hal dalam hidup. Utamanya dalam proses pembuatan keputusan (decision making), dari keputusan untuk membeli barang sampai memilih orang (termasuk memilih Presiden atau Gubernur).

Mereka-mereka yang terampil dalam hubungan antar manusia tahu persis “kelemahan” dasar dan bawaan manusia ini. Oleh karena itu mereka akan fokus untuk membangun kualitas diri mereka sebagai seorang “messenger” dulu sebelum mereka menyampaikan “message”.  Bahkan ketika yang ingin mereka sampaikan itu adalah sebuah pesan yang mulia dan berkualitas.

Mereka tahu sebelum kualitas diri mereka sebagai seorang messenger diterima oleh orang lain, maka message apapun yang mereka sampaikan tidak ada pengaruhnya apa-apa. Pesan itu akan membentur tembok tebal virtual antara dirinya dan orang lain untuk kemudian menjadi sampah. Tidak pernah benar-benar efektif.

Tembok tebal tak terlihat itu bernama ego dan pride (kebanggaan diri).   Itulah sesungguhnya yang memisahkan antara kita dengan orang lain.  Sebelum tembok itu diruntuhkan semua jenis komunikasi atau argumentasi apapun tidak akan pernah sampai ke sisi sebelah sana.

Bagaimana cara meruntuhkan tembok tebal tak terlihat itu?

Kata banyak guru, the art of getting is giving.  Seni untuk mendapatkan adalah dengan memberi.  Terkesan paradoksal. Tetapi memang begitulah adanya.

Anda ingin menjual gagasan/ produk/ jasa  (message) anda, maka hukum besi pertama adalah berikan apa yang dinginkan oleh partner anda. Jangan ge-er bahwa mereka menginginkan gagasan/produk/ jasa anda yang berkualitas. Itu tahap berikutnya.

Yang pertama yang harus anda pastikan anda berikan adalah pride mereka dalam proses itu. Perasaan bahwa mereka dihargai, dipedulikan dan tidak didzalimi. Kata orang jawa, di wongke. Kegagalan anda memenuhi kebutuhan pertama dan utama ini akan menyebabkan message berikutnya dari anda tidak terlalu banyak manfaatnya. Seberapapun bagus dan berkualitasnya message itu.   

Langkah praktisnya disarankan dengan sangat baik oleh Stephen R. Covey, seek first to understand then to be understood. Dengarkan terlebih dahulu sebelum minta didengarkan.  Berikan dahulu kuping anda sebelum anda minta kuping orang lain. Berikan dulu perhatian tulus anda sebelum anda minta perhatian tulus orang lain. Berikan dahulu komitmen anda sebelum minta komitmen orang lain. Berikan dahulu contoh nyata dari kata-kata anda sebelum anda meminta orang lain menjalankan apa yang anda katakan.

Ini prinsip sederhana. Meski dalam prakteknya tidak sesederhana kelihatannya.

Tetapi kualitas yang sederhana ini akan mejadi pembeda banyak dari kualitas satu orang dengan orang lain.

Kalau dia jadi teman, dia akan jadi teman yang tidak hanya fokus dengan dirinya dan apa yang ada dikepalanya saja. Dia juga bisa berempati dengan situasi dan tidak memaksakan kehendak, seperti kasus Karto teman kami itu.

Kalau dia jadi pemasar, dia akan menjadi pemasar yang handal. Yang tidak hanya sekedar menjual produk atau solusi, tetapi akan menjadi partner yang dipercaya.

Kalau dia jadi orang tua, dia akan jadi orang tua yang lebih bijak. Yang akan lebih banyak mengedepankan dialog dan mendengar ketimbang mencak-mencak dan memerintah.

Kalau dia jadi pemimpin, dia akan jadi pemimpin yang efektif. Yang tahu bagaimana bisa mendapatkan “madu” tanpa menyepak sarang lebahnya.

Dengan cara itu saja, harus diakui, belum tentu orang lain mau mendengar/membeli pesan anda. Apalagi ketika anda mengabaikannya.

Apapun yang datang dari anda, siap-siap saja hanya akan jadi polusi dan sampah.

Tangerang, Oktober 2016

TIPS MEMPENGARUHI ORANG LAIN (PERSUATION SKILL)

Dalam buku INFLUENCE: THE PSYCHOLOGY OF PERSUASION, Dr. Robert Cialdini mengidentifikasi 6 prinsip universal untuk mempengaruhi orang lain.

TIMBAL-BALIK (RECIPROCITY). Ini soal prinsip keseimbangan antara memberi dan menerima (Take and Give). Orang cenderung akan membantu anda kalau mereka pernah menerima sesuatu dari anda. Dan kebalikannya. Kalau anda hanya menuntut untuk “menerima” dan “mendapatkan”, anda mungkin harus mencari seseorang dengan kualitas malaikat sebagai orang dekat anda, yang cuma ingin memberi dan tak harap kembali…

KOMITMEN (JUGA KONSISTEN). Dapatkan komitmen, lebih baik lagi diungkapkan secara terbuka di depan umum. Orang cenderung akan memenuhinya. Konsistensi menjadi penting karena dari situlah orang akan mendapatkan trust (kepercayaan) terhadap anda.

BUKTI SOSIAL (SOCIAL PROOF). Orang cenderung akan menyerah kepada tekanan lingkungan. Mereka akan mempercayai apa yang temannya percayai. Membeli apa yang orang lain beli. Mencari validasi atau pembenaran atas keputusan mereka, biasanya dari orang-orang terdekat atau orang/ institusi yang mereka percaya. Disitulah dibutuhkan data, fakta, influencer, dan lain-lain…

SUKA (LIKING). Jika anda disukai orang lain, orang akan lebih cenderung bilang “YA” terhadap anda. Inilah mungkin prinsip paling penting dalam persuasi, yaitu disukai, yang pada akhirnya akan membawa kepada “kepercayaan” kepada anda. Kalau orang suka kepada anda, mereka akan membeli dari anda, mereferensikan anda, memilih anda dan seterusnya…

OTORITAS. Ini adalah bentuk pengaruh yang paling powerful tapi juga bisa berbahaya jika digunakan dengan tidak bijak. Jika anda memiliki kekuasaan, tentu saja anda bisa mendapatkan apa yang anda inginkan dengan cara apapun. Tetapi jika tidak bijak, orang juga cenderung untuk melakukan perlawanan terhadap otoritas anda..

BANGUN KELANGKAAN (SCARCITY). Yakinkan orang bahwa mereka harus lakukan dengan cepat atau “beli” sekarang, karena kalau tidak, senin harga naik. Maksudnya kalau anda berhasil membangun sense of urgency, orang cenderung akan melakukannya segera.

Leave a Reply

Your email address will not be published.