KILLING LEADERSHIP SOFTLY

Bukan hanya dalam panggung politik, isu langkanya supply pemimpin untuk mengisi pos-pos penting di dalam organisasi bisnis saat ini adalah satu diantara topik penting dan sangat serius yang bikin pusing para pemimpin bisnis. Makanya bajak membajak pemimpin adalah hal biasa dan juga bisnis gurih yang menghidupi banyak orang.

Manajer yang kompeten banyak tapi yang layak jadi pemimpin amat sangat sedikit. Padahal tantangan organisasi yang dihadapi saat ini –semakin ke atas semakin –membutuhkan figur seorang leader daripada manajer.

Tantangan itu –terutama—adalah ketidakpastian dan chaotic environment (lingkungan yang kacau).

Situasi ketidakpastian dan chaos ini bukan sekedar tantangan sesaat yang terjadi karena krisis atau pelambatan ekonomi semata. Kata para ahli, ini adalah sebuah new normal. Sebuah kondisi kestabilan baru yang akan terus dan terus terjadi sepanjang jalan. Semakin ke depan situasinya akan lebih chaotic (kacau) lagi, dimana pola-pola baru mungkin tidak akan bertahan lebih dari beberapa bulan dan harus segera mencari pola-pola lebih baru lagi supaya organisasi bisa bertahan hidup.

Lanskap yang ribet semacam itu tidak mungkin dihadapi oleh para manajer-manajer yang cara kerjanya dibesarkan dengan cara berfikir SOP sebagai panglima dan aturan adalah kitab suci. Apalagi dengan pola-pola birokratis yang lamban dan cenderung menunggu.

Ini PR serius yang harus dipecahkan oleh para pemimpin jika organisasinya ingin terus bertahan.

Bagaimana menciptakan lingkungan organisasi yang mampu melahirkan pemimpin-pemimpin baru yang akan membawa organisasi itu ke level yang lebih baik. Bukan para manajer yang hanya berkutat dengan SOP dan aturan main yang – sangat boleh jadi—sudah tidak relevan lagi dengan zaman, yang pada akhirnya hanya akan membuat organisasi berjalan mundur atau malah nyungsep di telan zaman.

Ambil contoh fenomena Go-Jek dan transportasi online yang kini semarak.

Gagasan untuk membuat layanan transportasi yang cepat dengan menggunakan melimpahnya motor sebagai solusi, bukanlah sebuah gagasan baru. Saya tahu ada beberapa teman yang pernah punya pikiran serupa dengan Nadiem Makarim, pendiri Go-Jek, dengan detil yang berbeda.

Salah seorang teman saya sudah berfikir hal yang kurang lebih sama 7 – 8 tahun lalu. Ketika itu dia melihat tren terus tingginya penjualan motor sebagai sinyal semakin disukainya moda transportasi ini di tengah macet Jakarta yang tak berujung dan buruknya transportasi publik.

Tetapi ide tinggallah ide. Dia tetap bekerja rutin seperti biasa sebagai seorang programmer di sebuah perusahaan pembiayaan. Idenya kemudian menguap entah kemana.

Sampai Nadiem –yang tidak terbebani budaya dan struktur organisasi apapun– memiliki keleluasaan mewujudkan apa yang pernah dipikirkannya itu beberapa saat kemudian, dan dia cuma bisa terkesiap tak percaya.

Situasinya memang dilematis.

Dia memiliki gagasan, tetapi dia bekerja di sebuah perusahaan yang tidak ada hubungan dengan idenya. Menjual ide itu kepada orang-orang di perusahaannya hanya akan membuatnya jadi bahan tertawaan. Apalagi kalau harus berbicara dengan boss-nya. Bunuh diri namanya.

Sementara kalau harus mengeksekusi gagasan itu sendirian, membayangkannya sajapun dia sudah tak sanggup mengingat segala macam resiko yang harus dihadapinya.

Maka dibunuhlah gagasannya itu pelan-pelan dengan banyak pertimbangan.

Alasan resminya sih dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Tetapi sebetulnya, kita tahu, lingkungan yang dia hadapi terlalu brutal untuk ide dan gagasan cemerlangnya, dan dia sendiri tidak terlalu percaya diri dengan kebrutalan itu beserta resiko yang kelak akan mengiringinya.

Padahal, kalau mau berandai-andai, sekiranya lingkungan kerjanya cukup kondusif untuk munculnya ide dan gagasan baru , bahkan yang paling liar sekalipun; dan sekiranya ada ruang yang cukup untuk mengeksplorasi gagasan-gagasan liar itu untuk dieksekusi; boleh jadi nasib teman saya dan perusahaannya mungkin akan berbeda.

Ini cerita lama tentang bagaimana sebuah budaya dan situasi lingkungan yang membunuh benih kepemimpinan. Kata Rob Goffee dan Gareth Jones, penulis “Why Should Anyone be Led by You?”, situasi dimana culture and structure kill leadership.

Ketika seseorang direkrut untuk menjadi pegawai di level staf, dia sudah dihadapkan dengan segala macam aturan dan prosedur yang harus dia ikuti dan turuti atas nama manajemen resiko dan birokrasi. Kelalaian dalam mengikuti sedikit saja prosedur dan aturan tersebut akan menyebabkan yang bersangkutan berhadapan dengan sangsi dan pinalti yang mengerikan.

Bertahun-tahun dia hidup dan bernafas dalam struktur dan budaya semacam itu, bahkan di apresiasi dan di promosi –banyaknya—dengan mempertimbangkan kepatuhan dan ketaatannya terhadap prosedur dan budaya itu.

Saat staf itu ada di posisi manajer, dia akan membawa dan mensosialisasikan perilaku dan budaya yang juga kurang lebih sama kepada orang dibawahnya. Tidak pernah ada transisi apik dari satu level ke level lainnya dalam banyak organisasi. The old habit never dies.

Nah, dilema mulai terasa ketika dia dihadapkan dengan situasi yang belum diatur di dalam SOP di atas sana. Situasi makin runyam ketika dia dihadapkan dengan sebuah tuntutan perubahan yang sangat cepat yang harus dia antisipasi dimana kini dia tidak lagi bisa terus bertanya dan berlindung di balik prosedur.

Dia harus mengambil keputusan. Dia harus keluar dari cangkang manajer yang aman dan nyaman, dan menjadi seorang leader yang rentan (vulnerable) dan harus siap menghadapi segala kemungkinan.

Pada titik inilah sebuah organisasi akan berjalan cepat ke depan dan memimpin, berhenti atau malah berjalan mundur untuk kemudian nyungsep. Dan itu adalah moment of truth yang sehari-hari-hari terjadi tanpa kita sadari. Tahu-tahu organisasi ada di tubir kehancuran; seperti Nokia dan raksasa elektronik Sony, atau malah merayakan kemenangan gilang gemilang, seperti Apple dan Samsung saat ini.

Itu makanya, banyak organisasi sedari awal menyadari pentingnya berinvestasi dengan menyiapkan para pemimpin hari ini juga. Bukan nanti.

Bukan cuma sekedar membuat program pengembangan kepemimpinan (leadership development), tetapi menghilangkan faktor yang dapat membunuh para pemimpinnya itu sedari awal, yaitu struktur dan budaya yang membelenggu tadi.

Beberapa organisasi, seperti jaringan Department Store terkenal asal Amerika, Nordstorm tidak pusing dengan segala macam SOP dan aturan (dalam batasan yang sehat tentunya) dan hanya membuat satu aturan saja untuk para karyawannya: use your own Judgement! (gunakan pertimbangan anda sendiri).

Benar- salah, untung-rugi, silakan gunakan akal sehat sendiri yang penting anda bisa dipertanggungjawabkan nantinya. Toh kalian sudah pada dewasa, mungkin begitu pikir si pemilik Nordstorm.

Ini tentu sebuah sikap yang sangat berani. Tetapi harus diakui hasilnya cukup ciamik. Karyawannya merasa dihargai karena punya ruang untuk mengambil keputusan sambil pada saat yang sama mereka sangat terlatih dengan berhadapan dengan perubahan karena terbiasa mengambil keputusan cepat dan tepat.

Nordstorm satu diantara peritel dengan toko tradisional yang masih sanggup berdiri dan menjadi penantang tangguh Amazon.com dan toko online sebangsanya. Sementara banyak peritel tradisional lain yang mulai bertumbangan di hempas badai online store.

Betul, tidak semua orang dilahirkan untuk menjadi pemimpin. Tetapi tidak semua orang juga dilahirkan hanya untuk menjadi pesuruh atau pengekor.

Perlu ada sebuah mekanisme yang sedari awal mendeteksi benih-benih pemimpin itu dan selanjutnya menyiapkan landasan yang baik untuk benih itu kelak bisa terbang seperti elang.

Dan satu diantaranya adalah mengenyahkan budaya dan sistem yang membuat benih itu layu sebelum berkembang. Terbunuh secara perlahan.

Tangerang, November 2016

MENGAPA PENGEMBANGAN KEPEMIMPINAN (LEADERSHIP DEVELOPMENT) PENTING?

Adalah mereka yang memiliki visi dan jiwa seorang pemimpin yang dapat menggerakan perubahan di dalam sebuah organisasi atau perusahaan. Karenanya dalam studi Bersin & Associates –salah satu konsultan pengembangan SDM global— ditemukan bahwa prioritas banyak organisasi besar adalah bagaimana mengembangkan talenta-talenta terbaik mereka untuk menjadi para pemimpin yang piawai menghela proses perubahan.

Dengan kata lain, leadership development, selama beberapa dasawarsa terakhir menjadi fokus utama para eksekutif di organisasi-organisasi tersebut, seiring dengan tuntutan perubahan yang tak dapat ditawar lagi.

Selain hal tersebut diatas, setidaknya ada 4 (empat) alasan lagi, menurut study Center for Creative Leadership (CCL), mengapa organisasi harus berinvestasi di program pengembangan kepemimpinan ini.  

1.Berpengaruh terhadap kinerja keuangan organisasi. Perusahaan yang berinvestasi serius di area ini memiliki imbal balik saham 5 kali lebih tinggi dibanding yang tidak berinvestasi secara serius. Karena leadership development membangun kapasitas para pemimpin itu untuk menurunkan biaya, mengembangkan lini pendapatan baru dan memperbaiki kepuasan pelanggan.

2. Menarik talenta terbaik dan menahannya di dalam organisasi.  Menurut Bersin & Assc, Pemimpin yang baik akan menarik, merekrut dan menginspirasi orang-orang baik pula. Sementara manager yang biasa-biasa saja tidak akan mampu menarik dan menahan orang-orang bagus di dalam organisasi.

3. Meningkatkan eksekusi strategi. Mengembangkan para leader di dalam organisasi artinya anda membangun kapasitas manusia-manusia yang dapat mempertajam dan bahkan merubah budaya dan strategi bisnis. Sesuatu yang semakin besar tuntutannya dari waktu ke waktu.

4. Meningkatkan keberhasilan dalam melewati perubahan. Pengembangan kepemimpinan meningkatkan kemampuan orang-orang untuk merespon secara cepat perubahan lingkungan bisnis. 86% perusahaan yang memiliki program pengembangan kepemimpinan strategis dapat merespon proses perubahan dengan cepat. Hanya hanya 52% saja organisasi yang kurang memberi perhatian pada hal ini mampu melakukannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published.