Beberapa minggu terakhir ini saya mendapatkan tantangan lebih dalam karir saya sebagai seorang pengajar dan pembicara publik, yaitu mengajar Ibu-ibu.
Saya sering berjumpa dengan para Ibu dalam kelas-kelas saya, tetapi biasanya dalam konteks peran profesional mereka, baik sebagai seorang karyawan maupun pimpinan di organisasi/ perusahaan.
Ini kali saya mengajar para full time Moms. Orang-orang spesial yang menjadi role model dari anak-anaknya bahkan jauh sebelum anak-anaknya mengerti arti sebuah kata. Para pekerja penuh waktu, pembangun peradaban yang tak kenal henti dari rumah-rumah mereka, yang hanya berharap dibayar dengan cinta yang tulus.
Mereka adalah para menejer yang rangkap-rangkap jabatan di berbagai divisi –keuangan, operasional, diklat, keamanan, kebersihan, merangkap OB dan kurir—di rumah mereka masing-masing. Tetapi dengan mereka tentu saya tidak bisa berbicara dengan jargon-jargon teknis manajerial yang rumit itu.
Bukan mereka ngga faham, tetapi kebutuhan mereka bukan itu.
Kebutuhan mereka –kemarin itu—adalah bagaimana caranya agar mereka bisa berbicara di depan umum, terutama mengatasi rasa grogi dan takut mereka, katakanlah misalnya pada saat memberikan sambutan di acara keluarga atau pertemuan warga komplek atau sekedar sepatah kata dalam upacara pengajuan tambahan uang belanja kepada suami.
Maklumlah peran mereka lebih banyak di balik panggung. Kehidupan di atas panggung ala-ala kaum kantoran dan selebritis seringkali membuat mereka gagap dan gugup.
Tetapi mereka butuh juga untuk bisa. Bukan untuk menyaingi para profesional atau selebritis itu, tetapi –kata Ibu Kita Kartini—untuk memainkan peran seorang Ibu lebih baik dan maksimal lagi sebagai penjaga peradaban. Biar kekinian di zaman now.
Godaan pengajar seperti saya, yang sudah pernah berbicara di berbagai level organisasi dengan beragam level profesi dan jabatan, baik didalam maupun di luar negeri, adalah mengeluarkan apa yang saya tahu serta pengalaman-pengalaman saya untuk menunjukan kepada Ibu-ibu itu betapa hebatnya saya.
Saya bisa mengeluarkan segala macam jenis teori dan jurus-jurus maut public speaking yang saya jamin akan membuat Ibu-ibu itu ternganga-ngaga dan berfikir untuk menjadikan saya sebagai menantunya. Atau mungkin suaminya. Entahlah…
Tetapi at the end of the day, mereka akan bertanya-tanya, terus manfaatnya buat saya apa?
Inilah yang saya bilang sebagai tantangan itu. Kalau pake kategori keripik Mak Icih, tantangannya langsung level 10. Tantangan yang ngga tanggung-tanggung.
Disinilah profesi sebagai pengajar, guru, dosen, trainer, public speaker, penceramah, atau apapun namanya itu dipertaruhkan.
Yaitu menyampaikan sebuah pesan yang sesuai dengan kebutuhan audiensnya. Bukan cuma sekedar mengeluarkan apa yang ada di dalam batok kepalanya semata.
Anda mungkin seorang ahli dalam suatu bidang, sangat menguasai bidang tersebut dan memiliki banyak gelar akademis di bidang tersebut. Tetapi kemampuan menyampaikan sebuah pesan yang efektif kadang tidak ada hubungannya dengan seberapa tinggi keahlian teknis tersebut.
Malah sebaliknya, kadang kemampuan teknis yang tinggi berbanding terbalik dengan kemampuan membungkus sebuah pesan secara efektif. Sehingga makin tinggi ilmunya makin rumit penjelasan yang diberikannya. Anehnya, kadang itu menjadi pembenar dari betapa pintarnya orang itu. Ini biasa kita temui sehari-hari.
Adabnya sih sebetulnya sederhana, sampaikanlah sebuah pesan dengan cara yang dimengerti oleh kaum/ kelompok yang anda ajar itu. Tetapi aplikasi dari adab itu di lapangan tidaklah sederhana.
Karena untuk bisa menyampaikan sesuatu itu secara sederhana, anda harus memahami sesuatu itu sampai ke akar-akarnya. Karena kata Einstein, If you can’t explain it simply you don’t understand it well enough.
Artinya, sebagai pengajar, anda dituntut setidaknya memahami sampai ke akar-akarnya tiga hal berikut:
Pertama, topik yang sedang anda bahas (content).
Einstein bisa menjelaskan dengan sederhana teori relativitas melalui persamaan E=MC2 setelah dia menyelam sangat dalam, ke inti pemikiran relativitas dengan perhitungan matematis yang rumit.
Semakin mudah orang memahami penjelasan anda, boleh jadi memang anda menguasai topik itu dengan baik dari hulu sampai ke hilir. Kebalikannya, makin puyeng orang dibuatnya, boleh jadi anda juga sebetulnya ngga tahu terlalu banyak.
Kedua, situasi dan kondisi hadirin yang sedang anda hadapi (context).
Anda harus tahu bukan cuma sekedar demografinya saja (berapa laki-laki dan berapa perempuan), tetapi anda juga harus tahu level berfikir mereka, apa yang mereka harapkan dari anda dan apa kebutuhan-kebutuhan “yang tak terucapkan” oleh mereka, tapi sangat mendasar.
Bagi Ibu-ibu yang baru mau belajar public speaking misalnya (juga bagi para pemula pada umumnya) adalah bagaimana mengatasi rasa takut, was-was dan khawatir. Bukan tentang bagaimana menjadi seorang pembicara yang memukau. Itu nanti-nanti saja. Mereka bisa berdiri di depan selama beberapa menit dan tidak pingsan saja sudah cukup sebagai indikator. Selebihnya adalah latihan, latihan dan latihan. Dan juga jam terbang.
Kecepatan dan keakuratan anda memahami konteks tersebut dalam presentasi anda, sangat menentukan seberapa penuh audiens membuka mata, telinga dan hatinya untuk kata-kata yang anda sampaikan. People don’t care how much you know until they know how much you care.
Ketiga, dan ini tidak kalah rumitnya, adalah bagaimana membangun jembatan yang apik (connect) antara dua hal sebelumnya, yaitu content dengan context tersebut.
Ini yang tadi saya bahas diatas. Anda boleh jago dalam bidang anda, dan anda sangat faham kebutuhan orang yang anda hadapi, tetapi kalau anda tidak menyajikannya dengan ramuan yang pas, maka sajian anda jadi kurang mak nyus atau orang kehilangan selera untuk menikmati. Ujung-ujungnya dianggap tidak ada manfaatnya.
Anda seorang doktor dalam pembuatan sayur asem yang enak, dan anda tahu orang yang anda hadapi sedang sakaw sayur asem, tetapi kalau anda hidangkan sayur asem itu di atas pispot, mungkin orang juga jadi ngga selera makannya.
Oleh karena itu, profesi pengajar yang paling mengagumkan kedua di muka bumi ini sebetulnya adalah Guru TK dan SD. Karena mereka bisa mengajarkan anak-anak yang tadinya tidak bisa berhitung jadi bisa berhitung, yang tadinya tidak bisa membaca jadi bisa membaca. Mengajarkan sesuatu yang sangat mendasar kepada anak-anak polos yang kelak akan merubah hidup mereka.
Dan tahukah anda profesi pengajar yang paling mengagumkan pertama? Dialah para Ibu. Orang-orang yang mengajari anak-anaknya bahkan dari sejak anak itu belum mengenal arti sebuah kata dan terus mengajari mereka tentang tulusnya sebuah cinta.
Terhadap mereka, saya bukan mengajar. Saya berbakti.
Thanks Moms.
TIPS – HOW TO CONNECT DURING PRESENTING/ PUBLIC SPEAKING
Cara terbaik untuk bisa connecting (menghubungkan) content (pesan) dengan konteks audiens yang anda hadapi adalah dengan story telling (bercerita). Ini adalah sebuah kompetensi penting yang wajib dimiliki oleh semua orang, apalagi para pembicara, professional dan pemimpin. Karena sedari kecil kita senang mendengar cerita, baik dari orang tua, teman, televisi, buku, film dll.
Story telling yang baik hampir tidak pernah gagal dalam mendapatkan perhatian audiens. Yang baik disini biasanya yang memiliki sisi emosi yang tinggi. Karena 90% keputusan manusia untuk membeli (juga mendengar atau bergerak) dibangun dan dipengaruhi oleh emosi.
Berikut tips story telling yang baik itu:
– Tentukan dulu siapa audiens anda. Karena sebuah cerita cocok dengan profil udiens tertentu tapi belum tentu cocok dengan profilk audiens yang lain.
– Buatlah sedekat mungkin dengan anda (personalized). Karena anda bisa menjadi otentik disitu. Dan orang senang mengidentifikasikan dirinya dengan seseorang dari kedekatan ceritanya..
– Buatlah seringkas dan semenarik mungkin. Jangan terlalu cepat dan juga terlalu lambat. Jangan bertele-tele dalam bercerita. Berikan ruang untuk orang berimajinasi dengan cerita anda.
– Show Don’t Tell. Deskripsikan dengan detail yang baik, visual dan diksi (pilihan kata) yang baik.
– Buat episode, kapan mulai, tengah-tengah dan akhir. Atau bisa juga intro, konflik dan ending dari konflik itu.
– Biarkan audiens anda berfikir. Jangan beritahu audiens anda angka 4, tapi sampaikan 2 + 2. Jangan suruh orang untuk menghormati orang tua, tetapi ceritakan kisah malin kundang.
Menginspirasi pa…keren