“Siapa yang memenangkan ruang ganti, ia akan keluar sebagai juara”.
Barcelona, 26 Mei 1999.
Dua klub besar, Manchester United (MU) dan Bayern Muenchen, sedang bertarung memperebutkan gengsi sebagai penguasa tertinggi sepakbola Eropa. Kedua klub –ketika itu—adalah penguasa liga lokal di negaranya masing-masing dan tengah memperebatkan gelar ketiga (treble), gelar paling bergengsi di level Eropa, Liga Champions Eropa. Mereka mewakili dua bangsa dan negara besar dengan tradisi juara sejak dulu, Inggris dan Jerman.
Pada saat istirahat babak pertama, skor 1 – 0 untuk keunggulan Bayern Muenchen.
Di ruang ganti MU, anak-anak generasi emas “class of 92” (David Beckham, Ryan Giggs, Paul Scholes, dkk) itu tampak tidak percaya. Mereka yang lebih agresif dan mendominasi pertandingan bisa tertinggal lebih dulu.
Jalur juara yang sudah dirintis anak-anak terbaik sepakbola Inggris ini terancam bubar di tengah jalan, sebelum betul-betul sampai puncak. Dan semakin mengentalkan bahwa memang sepakbola gaya ‘tendang-lari’ ala Inggris tidak akan pernah bisa bersaing dengan gaya sepakbola dari negeri Eropa yang lain, yang lebih menggunakan “akal sehat”.
Tetapi, bersama mereka ketika itu ada seorang bernama Alex Ferguson. Seorang pelatih legendaris yang tahu bagaimana membakar kembali motivasi tim.
Alih-alih berbicara banyak tentang strategi dan taktik untuk babak kedua, dalam waktu istirahat yang hanya 15 menit itu, sir Alex justru malah mengatakan sesuatu yang tidak pernah diduga sebelumnya oleh anggota tim. Kelak di kemudian hari, kalimat yang dikatakannya itu menjadi salah satu “mantra” sakti dalam dunia olah raga.
Momen 15 menit di ruang ganti,di tengah peluh, keletihan dan ketegangan memuncak, diantara riuh rendah puluhan ribu manusia di tribun-tribun penonton. Alex Fergusan hanya mengatakan begini di depan anak-anak muda itu;
Piala itu hanya beberapa langkah dari kalian. Kalian tidak akan pernah bisa menyentuhnya sama sekali kalau kalian kalah.Buat sebagian kalian, mungkin ini adalah jarak paling dekat dengan piala itu. Jangan sampai kalian kembali (ke ruang ganti ini) tanpa memberikan 100 persen dari kalian”
Itu adalah kata-kata sakti yang menjadi “game-changer”. Permainan anak-anak MU betul-betul berubah setelah itu.
Singkat cerita, mereka kemudian membalikkan keadaan dan memenangkan permainan dengan skor akhir 2 -1. Dua gol tercipta secara dramatis di menit-menit akhir menjelang permainan selesai. Tetapi sepanjang babak kedua itu, anak-anak itu betul-betul memberikan “yang terbaik” yang mereka bisa. Semua orang seakan tidak percaya dengan apa yang terjadi, termasuk anak-anak MU itu sendiri.
Momen ruang ganti adalah momen sakral dalam Sepak Bola yang membuat permainan berubah dan banyak gol tercipta di babak kedua. Ruang ganti yang rileks, santai, dipenuhi suasana keakraban satu sama lain bisa dipastikan menjadi penyumbang terbesar kejayaan klub-klub sepakbola itu di atas lapangan pertandingan.
Sebaliknya ruang ganti yang sangar, penuh dengan ketegangan dan ketidakpercayaan satu dengan lain, bisa dipastikan akan menyumbang banyak kegagalan diatas lapangan.
Ruang itu adalah ruang informal. Ruang yang bukan hanya ada di Sepak Bola, tetapi di segala jenis lapangan pertandingan kehidupan.
Dia bisa ruang keluarga atau meja makan di rumah-rumah kita tempat seluruh anggota keluarga bercengkerama setelah seharian tak berjumpa karena kesibukan.
Bisa juga di lapangan olahraga/upacara, selasar kelas dan kantin kalau di sekolah. Tempat dimana guru dan murid bisa berinteraksi secara akrab dan hangat. Saling berbincang santai dan ngobrol ngalor ngidul tentang kehidupan riil tanpa terbebani dengan target-target pembelajaran formal yang bikin stress itu.
Ruang itu bisa juga berupa lounge, kafe dan kantin di kantor-kantor. Dimana atasan-bawahan bisa berinteraksi secara rileks tanpa terikat dengan status formal dan jabatannya. Ada pertukaran ide dan informasi secara terbuka yang memungkinkan kreativitas dan inovasi muncul dan dihargai.
Di ruang-ruang semacam itulah sebetulnya pertarungan penting para pemimpin, orang tua maupun guru. Dan karenanya harus di menangkan. Karena kalau sudah di ruang-ruang formal masing-masing, anda punya keterbatasan untuk terlibat.
Seperti pelatih yang tidak bisa ikutan bermain di lapangan Sepak Bola pada periode 2 x 45 menit. Apa yang terjadi di lapangan dia hanya bisa mengamati. Paling banter memberikan perintah dan marah-marah di pinggir lapangan.
Begitu juga dengan para orang tua yang tidak pernah benar-benar bisa intervensi di gelanggang permainan formal anak-anaknya, di bangku sekolahnya maupun dalam permainan dengan teman sebayanya. Apalagi ketika anak-anaknya sudah mulai beranjak dewasa dan tinggal jauh dari rumahnya.
Para guru tidak bisa intervensi ketika anak-anak murid itu menghadapi tes atau ujian sekolah. Kecuali guru-guru tercela yang cuma sekedar mengutamakan nilai. Bahkan tidak bisa berbuat apa-apa ketika murid-murid itu memutuskan malas belajar.
Para Boss dan Manager di kantor juga tidak bisa mengamati terus menerus proses kerja karyawannya. Dan bahkan tidak bisa memastikan hasil sesuai yang diharapkan.
Jadi, sesungguhnya bagi anda orang tua, guru maupun para pemimpin, resepnya sama. Ruang yang tersedia untuk melakukan sesuatu yagn berbeda hanya ada di ruang ganti. Pastikan anda memenangkan “pertarungan” disitu.
Memenangkan disini berbeda dengan logika memenangkan permainan di gelanggang formal. Memenangkan disini adalah merebut hati mereka-mereka yang ada disana dan membuat mereka terinspirasi untuk mengeluarkan yang terbaik dari diri mereka sendiri.
Karena yang terbaik dari mereka itulah sebetulanya yang akan menentukan mereka menang atau kalah dalam permainan sesungguhnya di di gelanggang kehidupan formal.
Bahkan ketika anda tidak bersama mereka lagi disana. Seperti Alex Fergusson yang tidak ikut bermain di atas lapangan pada saat anak-anak MU itu membalikkan keadaan dan menjadi juara pada Final Sepak Bola tahun 1999 itu.
Tapi dia hadir di ruang ganti mereka. Dan terutama di hati anak-anak muda itu.
Tangerang, 8 Juli 2018
FAKTA TENTANG FINAL LIGA CHAMPIONS EROPA DI TAHUN 1999
Final itu terjadi di Barcelona, Spanyol pada 26 Mei 1999, antara Manchester United (Inggris) melawan Bayern Muenchen (Jerman). Kedua klub adalah jawara di kompetisi negaranya masing-masing dan sedang mencari title ketiga (treble). Jika salah satunya memenangkan pertandingan, mereka akan mendapatkan gelar ketiga, baik MU maupun Bayern. Karenanya pertandingan itu amat bergengsi.
MU ketika itu diisi oleh generasi emas sepakbola Inggris hasil didikan MU football academy yang kelak di kenal sebagai “class of 92”, diantaranya: David Beckham, Ryan Giggs, Paul Scholes, Nicky Butt, dll. Dan dilatih oleh sang pelatih legendaris Sir Alex Ferguson.
Dalam pertandingan itu, MU memulai pertandingan dengan start yang kurang meyakinkan, tetapi lambat laun mulai mendominasi pertandingan. Tetapi serangan balik Bayern Muenchen sangat berbahaya. Dan terbukti kemudian mereka menciptakan gol lebih dulu di babak pertama, melalui Mario Bassler.
MU turun minum dengan suasana yang muram. Tetapi di babak kedua mereka terus memberikan tekanan kepada Bayern. Gol terjadi pada masa injury time, yaitu setelah menit 90, masing-masing oleh Teddy Sheringham dan Olle Gunnar Solksjaer.
Banyak orang menduga, MU bisa memenangkan pertandingan itu karena dua hal; kelengahan lawan di menit-menit akhir, dan suntikan motivasi dari sang manager, Alex Fergusson pada saat istirahat di ruang ganti.