Ketika bagian dunia lain masih “gelap” dan mencekam dengan perang melawan covid-19, China dan Korea (pelan-pelan) sudah mulai berani menyambut cahaya dan melanjutkan hidup paska cengkeraman sang virus.
Orang-orang sudah mulai berani jalan-jalan, kantor, sekolah, pasar dan pusat keramaian sudah mulai dibuka dan orang sudah diijinkan bepergian jauh. Pelan-pelan terang mulai datang.
Pertanyaan menarik, bagaimana mereka melihat dunia mereka setelah itu? Apakah mereka keluar dari peperangan ini dengan cara pandang lama sebelum era virus? Atau sudah dengan cara pandang yang sepenuhnya baru?
Sebetulnya, tidak banyak yang bisa merubah kita dalam hidup ini. Sesuatu yang dekat dengan kematian biasanya efektif. Covid-19 ini menebarkan hawa dekat-dekat itu. Oleh karena itu, “terkurung” dalam ruang terbatas berminggu-minggu dengan ditemani kecemasan dan harapan silih berganti sepatutnya menjadi alasan yang cukup untuk berubah.
Selama ini, ada banyak hal yang kita lihat tapi tak pernah benar-benar kita tatap apalagi resap. Karena mata kita terlalu sibuk ingin melihat yang banyak. Saat terkurung itu, terpaksa kita benar-benar lihat, tatap, dan resap apa yang ada di depan mata.
Efeknya, nilai-nilai berubah, kebiasaan berubah, cara kita melihat hidup dan orang lain juga seharusnya berubah.
Bukan cuma cara kita menjaga keselamatan diri yang berubah, misalnya; dengan rajin mencuci tangan setelah mencuci tangan, menggunakan masker dan bersalaman dengan cara urang sunda. Cara berinteraksi dengan orang-orang terdekat pun berubah.
Diam #dirumahaja dengan orang yang itu-itu juga di dalam ruang terbatas, sepatutnya melahirkan banyak cara pandang baru. Kalau itu cinta, maka kita melihat cinta dengan binar yang berbeda. Kalau itu benci, maka kebencian itu mestilah sudah menemukan alasannya yang paling dalam. Tetapi cinta atau benci adalah sebuah kemewahan ketika pilihan pertama yang tersedia adalah besok kita masih hidup atau hilang ditelan virus.
Keterkurungan tidak hanya melahirkan fenomena “coronababies” atau “covidivorces” saja, tetapi juga mendefinisikan coromansa dan covifamily. Bahwa apa yang kita miliki bisa terlihat benar-benar berharga atau benar-benar unfaedah.
Social atau physical distancing justru membuat kita merindukan kedekatan dan keakraban. Membawa kita semakin ingin dekat dengan orang-orang yang kita sayangi dan kasihi. Kedekatan yang selama ini mungkin kita anggap gratisan, saat ini adalah sebuah barang langka, amat mahal dan akan kita bayar dengan harga berapapun. Jauh lebih mahal dari masker dan hand sanitizer yang saat ini jadi komoditas paling banyak diburu.
Kita mulai peduli dengan orang-orang di sekeliling. Rekan-rekan, tetangga atau koleha (apa kolega?) yang selama ini mungkin kita anggap remah. Karena mungkin dari kepedulian dan tegur sapa dengan merekalah nyawa dan keselamatan kita bisa bertambah 1 bar lagi tiap harinya. Apa yang kita anggap basi dulu waktu sering bertemu, sekarang seperti magic jar yang selalu hangat.
Disana-sini mulai tampak solidaritas di kalangan komunitas dan lingkungan untuk ikut berpartisipasi membendung wabah ini. Mereka bergotong royong untuk memberikan sosialisasi, pencegahan dan penanggulangan kepada warga lingkungannya, bahkan siap ketika situasi makin memburuk. Meskipun ada juga yang program kerjanya hanya sebatas memportal jalan
Solidaritas itu kian meluas dengan beberapa warga berkecukupan menyiapkan rumahnya sebagai posko satgas, membentuk lumbung pangan, bahkan menghibangkan property yang harganya tidak lagi naik setiap senin dan bangunan hotelnya untuk menampung para pasien terinfeksi virus. Kita juga mendengar ada perusahaan yang menjadikan kantor-kantornya yang kosong, gedung apartemen, asrama atlet, gerbong kereta bahkan stadion sepakbola sebagai Rumah Sakit darurat.
Jangan dilupakan para horang kaya, influencer dan orang belum kaya yang menyumbang ini-itu untuk ikut berpartisipasi dalam peperangan global ini.
Ini semua sangat menjanjikan. Modal besar untuk sebuah dunia baru paska virus nanti.
Orang-orangpun mulai menikmati bekerja dan belajar dari rumah. Home is new office now. Kata #dirumahaja terdengar keren saat ini. Padahal dulu itu adalah kepanjangan dari DRS atau DRA, para sarjana S-1 yang gagal wawancara kerja atau luput dari perhatian bagian rekrutmen, alias pengangguran.
Konsep produktifitas pun perlu di daur ulang. Apa iya orang yang keluar gelap dan pulang gelap itu bisa dibilang produktif? Kalo hanya sekedar membaca dan membalas email sambil ngopi-ngopi masih bisa dikerjakan sambil sarungan dan rebahan dari rumah?
Meski ini wacana kelas menengah, tetapi setelah virus ini berlalu, mungkin akan semakin banyak orang berfikir untuk bekerja dari rumah saja. Karena kantor dengan ruang-ruang kubikalnya yang dingin tidak lagi bisa menjanjikan “keamanan” paling mendasar saat dibutuhkan. Orang tetap harus kembali ke rumah pada akhirnya.
Apalagi dengan sistem kompensasi jor-joran yang mendewakan para eksekutif, pialang, broker, artis, politisi, dan lain-lain . Pada situasi krisis , itu tidak membantu banyak menciptakan sebuah dunia yang aman dan nyaman.
Apalagi dengan melihat kenyataan bahwa dalam situasi krisis seperti ini kita berharap kepada para beberapa gelintir kaum “nyaris tak terdengar”; yaitu tenaga medis yang tidak pernah di ekspos, dan kepada para petani, peternak dan nelayan untuk menjamin keberlangsungan pangan kita. Padahal selama ini mereka dibiarkan tak terurus. Hati Ini Verih, bosque.
Wajar kalo warga negeri +62 land berbondong-bondong pulang kampung meski dilarang. Siapa yang akan memberi makan di kota? Di kampung mereka masih ada pohon tangkil yang daun dan buahnya bisa di rebus jadi sayur asem. Di kota? Gopay tidak bisa dijadikan lalap. Apalagi kalo tidak ada saldonya.
Maka, para ahli tata kota juga meramalkan, setelah Corona, migrasi orang akan terjadi. Bukan hanya migrasi horizontal dari tempat-tempat yang padat penduduknya ke tempat yang lebih lowong. Tetapi juga migrasi vertikal. Orang turun dari rumah-rumah tinggi apartemen, dan kembali ke rumah tapak. Dimana mungkin dia bisa menanam cabe, bayam atau sekedar menanam harapan di halaman rumahnya yang terbatas, tapi cukup untuk pangan mereka.
Krisis ini juga mengajarkan kita untuk membedakan mana orang-orang yang memang kapabel untuk mengurusi urusan orang banyak, apalagi dalam situasi darurat. Dan mana yang sebetulnya dia tidak tahu apa yang sedang dia urus.
Sehingga dunia setelah virus, adalah dunia yang sudah menjadi saksi kepiawaian para pemimpin mengarungi tantangan dalam ajang kontes terbuka dan terpaksa secara global, yaitu bertarung dengan musuh tak kasat mata covid-19. Tantangan yang tidak pernah dilewati oleh para pemimpin lain di generasi sebelumnya.
Inilah dunia baru yang menjanjikan dan sekaligus mendebarkan. Mari kita menyambutnya dengan gembira. Tetapi sebelum sampai kesitu, pastikan kita dan keluarga kita selamat melewati ini semua.
Stay safe, teman-teman.