Salah satu aktivitas new normal pagi hari saya di saat-saat krisis sepert ini adalah menelpon teman-teman lama, saudara atau guru-guru kehidupan saya. Sekedar bertanya bagaimana kabar mereka dan ngobrol ngalor ngilur ngga jelas.
Keliatan saya orang yang sangat peduli terhadap orang lain? Ngga juga. Itu salah satu cara saya mengatasi rasa gelisah dan stress yang kini kian menjangkiti banyak orang.
Hari-hari ini kita dituntut untuk makin resilient menghadapi ketidakjelasan akibat wabah covid ini. Resilient ini terjemahannya kira-kira makin kuat, tabah, tidak gampang menyerah, sekaligus elastis untuk siap melenting lagi.
Seorang teman yang saya telpon, jauh lebih senior dari saya, berpendidikan sangat tinggi, sangat mapan, dan memiliki reputasi yang baik di bidangnya, pun ternyata memiliki keresahan dan stres yang sama dengan saya. Sehingga telpon kami pagi itu seperti curhat dua orang dewasa yang menertawakan betapa rentannya kami sebagai seorang manusia, lepas dari semua status sosial yang melekat kepada kami. Kami tertawa terkekeh-kekeh diatas kerentanan itu.
Dan ajaibnya, itu menyuntikan energi. Saya seperti baru saja meminum sebuah kapsul penambah stamina yang greng. Semangat hidup saya naik beberapa bar setelah setelah sesi telpon-telponan itu.
Apakah menyelesaikan masalah sesungguhnya? Tidak. Setidaknya belum. Tetapi energi untuk bertahan dan melenting sudah dipupuk pagi itu. Energi resiliensi.
Itulah cara manusia meranggas di tengah kemarau hidup.
Kalau pohon, dia meranggas dengan cara menggugurkan daun-daunnya selama kemarau agar dia cukup punya persediaan air dan nutrisi yang dia simpan di akar dan batang-batangnya. Karena air dan nutrisi itu tidak cukup kalo harus disalurkan sampai ke daun-daunnya yang banyak, apalagi daun di pucuk.
Apakah pohon itu mati? Tidak. Dia bertahan. Resilien. Dia menyimpan energi untuk siap tumbuh dan berkembang lagi ketika alam mempersilakan tumbuh lagi pada saatnya.
Pohon tunduk terhadap mekanisme alam yang mempergilirkan musim.
Hewan melakukan hal yang sama, dengan hibernasi, dengan ganti kulit, dengan merontokan bulu-bulu dan lain sebagainya. Membiarkan dirinya rentan dan mengakui ketidakberdayaan di hadapan mekanisme alam. Karenanya mereka meletakan terlebih dahulu citra keperkasaan atau kehebatan diri mereka dan menikmati proses yang –barangkali—painful itu.
Biasanya, hewan melewati itu semua dengan menyembunyikan diri di tempat-tempat tersembunyi dan tak terjangkau.
Manusia adalah makhluk yang sama penghuni bumi, berdampingan dengan hewan dan tumbuhan. Ya pasti melewati siklus yang sama itu. Kitapun harus melewati proses alamiah itu. Siklus lahir, tumbuh, berkembang, meranggas, bertunas dan tumbuh lagi, meranggas lagi, dan seterusnya. Up and down… on and on… till the death do us apart.
Entah yang namanya siklus krisis 100 tahunan seperti pandemic ini, siklus satu dekade seperti krisis ekonomi, siklus tahunan, atau siklus bulanan seperti PMS dan cicilan..
Pertanyaanya, bagaimana sebaiknya manusia melewati saat-saat meranggas seperti ini, sehingga energi resilien itu tetap terjaga dan tumbuh lagi pada saatnya?
Pertama, izinkan dan nikmati perasaan tak berdaya itu sementara waktu. Jangan dilawan, dimanipulasi atau dipandang tidak ada.
Ini saatnya anda “menangis” di hadapan kemahakuasaan Tuhan yang mempergilirkan segala sesuatu. Perasaan dan emosi tidak berdaya itu anda butuhkan untuk menjadi pribadi yang tahu diri, anda bukan siapa-siapa. Membuat kita lebih mawas diri dan menghargai yang kita miliki dan orang lain yang setia bersama kita. Ini yang disebut kecerdasan spiritual bukan?
Izinkan diri –tanpa berlebihan—untuk merasakan bahwa kita memang tidak boleh berlebihan saat sedang tumbuh, dan demikian pula, jangan berlebihan saat sedang meranggas.
Kedua, sebagaimana halnya pohon yang meranggas, dia bukan tidak melakukan sesuatu. Dia terus tumbuh, dengan menyimpan energi dan mengumpulkan energi tumbuh itu di dalam dirinya.
Dia menggugurkan daun-daun dan memperkuat akar. Ini saatnya anda menggugurkan hal-hal yang tidak perlu dalam hidup anda dan memberikan perhatian pada apa yang paling penting.
Kita tahu kadang kita terlalu keberatan gaya dan keinginan dalam hidup. Ini mungkin saat yang tepat untuk digugurkan. Dan fokus saja pada apa yang membuat kita selamat dan bahagia, di dunia maupun di akhirat. Yang paling jelas adalah keluarga, teman, sahabat dan orang-orang yang hidupnya membantu kita menjadi pribadi lebih baik.
Terakhir, ketiga, jangan lupa badai (dan juga bajaj) pasti berlalu. Bertahanlah dengan akar anda; karakter anda yang positif, keluarga yang terus memberikan dukungan dan bertemulah dengan teman-teman dan orang-orang yang positif. Seperti teman-teman yang saya telpon pagi-pagi itu. Toh sekarang sudah diizinkan bertemu bukan?
Mereka juga manusia-manusia yang rentan seperti anda. Tetapi kerentanan mereka akan memberikan energi untuk terus tumbuh terhadap anda.
Dan pada saatnya nanti anda tumbuh, anda tahu batas. Karena ada masanya anda akan kembali meranggas dan melewati proses yang sama lagi. Terus dan terus…
Selamat mencoba dan stay safe ya