Secara spontan –mayoritas pegawai maupun para bos—akan menjawab kompak; YES! Tetapi kalo ditelisik lebih dalam alasannya bisa beda-beda.
Yang paling umum adalah bahwa mereka sudah merindukan bertemu, berkomunikasi, dan bersosialisasi dengan teman-temannya di kantor. Dengan kata lain kebutuhan untuk terkoneksi dengan manusia lain (maaf para bos, bukan benar-benar ingin kembali produktif dan berkontribusi).
Sambil di sisi yang lain, mayoritas yang ingin kembali ke kantor sudah letih dengan kesendirian saat bekerja di rumah, mengalami technological-fatigue dari satu virtual meeting ke virtual meeting lainnya, yang ternyata malah bikin stress.
Meski bisa melihat tampang teman-temannya di layar, tetapi rupanya level kebahagiaan yang dihasilkan berbeda antara bertemu dan bersosialisasi langsung, dengan hanya dengan menatap gambar di layar.
“We want to see people”, itulah alasan umum mereka yang ingin kembali ke kantor. Alasan ini valid tapi belum mengungkapkan semuanya. Ada alasan lainnya, yaitu “we want them NOT to see us”.
Kata Gianpiero Petriglieri, seorang Professor dari INSEAD, alasan banyak orang untuk kembali ke kantor adalah paduan dari 50 persen social pleasure dan 50 persen social pressure.
Antara ingin terkoneksi dan karena terpaksa. Terpaksa disini bisa jadi karena mereka takut dengan ketentuan perusahaan yang meminta mereka harus kembali, atau karena lingkungan yang memaksa mereka harus terlihat punya pekerjaan.
Sementara dari sisi pimpinan atau pemilik perusahaan alasannya bisa berbeda.
Alasan umumnya tentu sama. Bahwa manusia butuh terkoneksi secara langsung dalam bekerja. Karena riset University of Michigan juga membuktikan bahwa produktifitas akan meningkat dua kali lipat jika orang-orang berada dalam satu ruangan.
Akan tetapi jika semata-mata produktifitas, riset juga menunjukan bahwa justru di masa WFH akibat pandemi, produktifitas pegawai tidak terganggu. Bahkan di industri tertentu, produktifitas meningkat sangat pesat. Bukan cuma produktifitas, menurut Gallup, employee engagement juga tidak ada masalah saat pandemi.
Kalau jam kerja orang bisa tak terbatas selama WFH, masih berkirim email jam 12 malam atau jam 5 pagi, bersedia virtual meeting saat weekend, bukankah itu kabar baik untuk para pimpinan?
Lalu mengapa bos-bos ingin karyawan balik ke kantor? Padahal ketika mereka kembali ke kantor kebiasaan kerja mereka akan kembali ke awal, yang mulai itung-itungan dan “sesuai kontrak” saja?
Ini yang mungkin perlu didefinisikan oleh para pimpinan atau pemilik perusahaan.
Apakah alasan mereka yang sesungguhnya ingin karyawan kembali bekerja secara penuh di kantor? Kalau ternyata produktifitas dan engagement bisa dikelola secara baik selama masa WFH?
Betul, bahwa situasi pandemi ini adalah kejadian luar biasa yang membuat semua orang juga mengeluarkan effort luar biasa untuk survive. Dan tidak akan selamanya seperti itu.
Tetapi kalo alasan utamanya hanya demi kenyamanan bersama, atau membuat kontrol dan logistik menjadi simpel (karena WFH membuath kontrol dan logistik sedikit ribet), atau apalagi hanya sekedar mengikuti pakem umum “kalo kerja ya di kantor”, tentu bukan sebuah alasan yang tepat.
Karena modal utama produktifitas dan engagement di masa pandemi yang sudah terbangun (meski banyaknya by accident) itu bisa sia-sia.
Beberapa kalangan mensinyalir bahwa alasan banyak para employer ingin karyawannya kembali ke kantor adalah karena mereka tidak siap untuk mengelola sebuah situasi kerja dimana para karyawan tidak semua ada di kantor.
Sistem kepegawaian, logistik, IT, Customer Service dan lain sebagainya belum mendukung untuk itu. Oleh karena itu, daripada susah payah mengupayakan sistem-sistem itu, mending kembali ke situasi dan kebiasaan awal saja. Selesai perkara.
Ini tentu bukan solusi bijak di tengah situasi yang tengah berubah luar biasa cepat ini. Ada banyak resiko yang mengintai ketika semua kembali ke situasi dan kebiasaan awal.
Resiko kesehatan masih mengintai (seperti yang terjadi di wave pertama pandemi ketika karyawan mulai kembali ke kantor yang disusul dengan kantor menjadi cluster pandemi). Demikian juga resiko operasional, dimana sebenarnya sudah ada mind-set dan skill-set yang sudah terbangun, tetapi tidak terakomodasi secara baik. Belum lagi resiko-resiko yang lain.
Sudah banyak praktek bisnis yang berubah akibat pandemi, beberapa diantaranya bahkan tidak mempersyaratkan sama sekali karyawan untuk datang ke kantor. Atau yang paling umum adalah dengan model hybrid (gabungan atau campuran), dimana karyawan diberi keleluasan untuk bekerja dari kantor pada suatu waktu dan pada waktu yang lain bisa bekerja dari mana saja, termasuk dari rumah.
Tetapi memang butuh dukungan sistem danj budaya yang tepat untuk membuatnya bekerja dengan baik. Tugas para pemimpin untuk menciptakannya.