Hari menjelang tengah malam ketika pesan radio itu datang pada 14 April 1912. Ini pesan yang keenam yang diterima oleh kapal itu. Tetapi sang operator penerima pesan terlalu sibuk melayani permintaan dari dan untuk para penumpang VVIP diatas sana yang sedang berpesta. Sehingga pesan “bahaya di depan” itu diabaikan. Lagipula itu cuma datang dari seorang operator rendahan dan bukan pesan yang pantas jadi perhatian pimpinan.
Pesta terus berlangsung di geladak kapal dan di ruang-ruang mewah Titanic. Kapal yang diklaim “tidak mungkin tenggelam” itu too big too fail. Sang kapten sangat pede dan karenanya mengabaikan pesan-pesan itu.
Pesan keenam itu memang tidak diteruskan kepada sang Kapten karena tidak ada keterangan tertulis dari si pengirim pesan untuk itu. Makanya diabaikan oleh operator penerima pesan Titanic. Tetapi pesan-pesan bahaya dari kapal lain sebelumnya yang juga berlayar melewati laut atlantik utara sudah sampai ke telinga sang kapten. Bahwa ada gunung es yang bermunculan yang mengancam kapal, cuaca berkabut dan banyak fatamorgana dimana-mana.
Kapten Edward Smith tetap pede. Dia melajukan kapal berpenumpang 2200-an orang itu dengan kecepatan 22 knot, dari 24 knot kecepatan maksimum. Di sebuah perairan gelap di laut utara yang liar, pada tengah malam, di tengah cuaca yang berkabut dan penuh fatamorgana, itu adalah sebuah keputusan yang sangat gegabah, menurut banyak sejarawan.
Beberapa versi sejarawan mengatakan, bahwa sebagai seorang pelaut ulung berusia 62 tahun, kapten Edward Smith sebetulnya sadar dengan peringatan dan tanda-tanda bahaya itu. Tetapi diatas kapal itu ikut berlayar Bruce Ismay, sang pemilik White Star Line, perusahaan pemilik Titanic. Pengusaha kaya raya Inggris yang juga cukong-nya Titanic.
Ismay sedang memamerkan kemewahan Titanic di pelayaran perdananya itu kepada para penumpang VVIP-nya. Dia berambisni Titanic menjadi pilihan utama para tuan dan nyonya berkantong tebal dari Eropa menuju Amerika dengan menawarkan fasilitas hotel bintang lima yang mengapung. Dia ingin memastikan bahwa Titanic miliknya bisa memenangkan hati mereka. Saat itu, persaingan moda transportasi laut dari eropa (khususnya Inggris) ke Amerika memang tengah berlangsung sengit.
Selain kemewahan, Bruce Ismay juga ingin memberi kesan bahwa Titanic cepat dan sangat..sangat..sangat aman. “Bahkan Tuhanpun tidak bisa menenggalamkan kapal ini”. Kalimat terakhir itu milik sang Kapten, Edward Smith, seolah ingin menyenangkan tuannya.
Oleh karena itu, peringatan dan pesan bahaya itu tentu akan kontra-produktif dengan suasana kondusif yang sedang dibangun malam itu di ruang-ruang mewah Titanic. Peringatan bahaya itu justru berbahaya untuk maksud dan tujuan Ismay untuk memenangkah persaingan dan menguasai bisnis transportasi laut, terutama di kalangan orang-orang berduit yang jadi penumpangnya. Ismay memang dikenal pebisnis yang arogan, licik dan mau menang sendiri.
Belakangan diketahui, bahwa meski kapal Titanic itu penuh dengan kemewahan, tetapi dia dibangun dengan kualitas yang dibawah standar. Tidak ada cukup sekoci penyelamat di kapal itu dibandingkan dengan jumlah muatannya. Kemudian, baja dan material yang dipilihnya adalah yang berkualitas rendah untuk menekan budget. Itu sebabnya dia patah menjadi dua sebelum tenggelam, seperti yang kita liat dalam adegan ikonik di film-nya (tentu selain adegan…ah sudahlah).
Setelah menyampaikan pesan bahaya (yang keenam yang diterima Titanic), operator Evans dari kapal Californian pergi tidur. Pesan yang dikirimnya cuma diteriaki “shutp up” oleh Jack Philips, operator penerima di Titanic yang sedang kerepotan tadi. Tidak sampai satu jam setelah pesan itu, Titanic menabrak gunung es. Kita tahu, selebihnya adalah sejarah.
Pada momen genting ketika Titanic akan tenggelam, para awak kapal Titanic yang selamat bersumpah bahwa yang pertama kali melompat ke sekoci untuk menyelamatkan diri adalah sang cukong Bruce Ismay, tanpa mempedulikan keselamatan penumpang yang lain. Kapten Edward Smith malah memilih untuk ikut tenggelam bersama kapalnya.
Meski selamat Bruce Ismay kemudian hidup dengan kutukan kapalnya. Dinistakan bukan cuma di negara asalnya, tetapi juga di Amerika sebagai pengecut dan pecundang. Tak tahan menderita, istrinya minta cerai dan dia kehilangan harga diri dan kedudukannya. Dan Ismay harus mengasingkan diri ke pedalaman Inggris sampai dia meninggal.
You may kill the messenger. But, ignoring the message will kill you