Akhirnya Joseph ‘Pep’ Guardiola memutuskan mundur dari kursi kepelatihan FC Barcelona, efektif di akhir musim kompetisi 2011/2012. Bukan hanya Lionel Messi dan kawan-kawan yang berduka, seluruh dunia meratapinya. Bukan hanya fans berat klub Catalan itu yang menangis, mereka yang mendukung sepakbola berbasis akal sehat nan indah menyesali keputusannya untuk pergi, yang terasa begitu cepat itu.
Pep adalah contoh terkini dari jargon klasik “from zero to hero”. Dia yang “cuma” pelatih tim Barcelona junior ketika di dapuk sebagai pelatih tim senior pada Juni 2008 –menggantikan nama besar Frank Rijkaard—hanya butuh waktu 4 tahun untuk mengumpulkan 13 piala dari berbagai liga. Pada tahun 2009, tahun pertamanya menangani klub raksasa itu, pria 41 tahun ini bahkan mengantarkkan Barca ke puncak kesempurnaan yang tidak pernah dicapai klub manapun. Pada tahun itu Barca menyapu bersih enam piala yang disediakan berbagai kejuaraan sepakbola, dari mulai kompetisi lokal Spanyol, tingkat eropa, sampai piala dunia antar klub.
Sebagai manager, prestasinya menjadi legenda. Tidak ada manager manapun di kolong bumi ini yang pernah menghadirkan prestasi sebegitu banyak hanya dalam kurun waktu 4 tahun. Tidak hanya dari segi hasil (dimana prestasi selalu diukur), Pep juga menyulap Barca menjadi klub yang penguasaan bola (ball possession)-nya rata-rata diatas 70 % pada setiap pertandingan yang dimainkannya, dan memaksa klub manapun untuk lebih banyak memarkir pemainnya di depan gawang. Kalau piala yang direbut adalah indikator hasil, maka dalam sepakbola, ball possession (bersama dengan shoot on goal yang juga selalu dimenangi Barca) ini adalah indikator prosesnya. Dengan superioritas hasil dan proses semacam itu, beberapa kalangan dalam sepakbola menyebut Barca sebagai klub dari planet lain. Tidak ada yang sama dan sejajar dengannya.
Sebagai pelatih, Pep menghadirkan sepakbola menyerang dengan filosofi tiki-taka yang indah dan menghibur. Lama setelah era total footbal- nya Belanda dan Jogo Bonito-nya Brasil, kini dunia memiliki referensi bermain bola yang efektif tapi juga mengagumkan.
Tiki-taka sejatinya adalah filosofi sepakbola berbasis akal sehat yang memastikan bola selalu dalam kontrol tim. Sepakbola macam ini tidak berspekulasi dengan operan-operan panjang dan jauh yang bisa jadi tidak tepat sasaran, melainkan fokus kepada segitiga imajiner yang dibangun oleh tiga atau empat orang pemain dalam jangkauan yang dekat. Segitiga itu dinamis, selalu bergerak, berubah dan berotasi tetapi dalam jangkauan yang dekat dengan senjata utamanya operan-operan pendek.
Tidak ada hero dalam konsep sepakbola semacam itu. Yang ada hanyalah sesama anggota tim yang disiplin menyempurnakan formasi yang telah dibuat anggota tim sebelumnya. Gol hanyalah konsekwensi logis yang, cepat atau lambat, akan datang dengan sendirinya, dan tidak mesti diciptakan seorang striker. Karena setiap orang bisa menjadi striker sebagaimana setiap orang juga bisa menjadi back.
Yang membuatnya menjadi istimewa adalah karena di Barca ada trio Xavi-Iniesta dan –si bocah ajaib—Lionel Messi. Inilah segitiga maut Barca yang menjadikan tiki-taka-nya Pep begitu efektif dan mematikan. Xavi sang visioner, Iniesta sang penyihir yang cerdik nan cekatan, serta si pemain terbaik dunia tiga kali, Lionel Messi yang kerap menghadirkan bola-bola ajaib.
Lebih dari sekedar piala, prestasi terbesar Pep sesungguhnya adalah menjadikan begitu banyak orang yang tadinya tidak menyukai sepakbola menjadi keranjingan setelah melihat tiki-takanya Barca.
*******************
Di tanah Catalan – propinsi Spanyol dimana FC Barcelona bermarkas—sepakbola lebih dari sekedar permainan bola di sepak-sepak. Klub yang didirikan oleh para pendatang Swiss dan Inggris itu adalah media perlawanan dan pemberontakan rakyat Catalan, yang ogah tunduk di bawah rezim Jendral Franco yang komunis. Mereka –rakyat Catalan itu—merasa bukan bagian dari Spanyol, karena punya sejarah, identitas bahkan bahasa yang berbeda.
Setelah ruang publik lain di berangus dan dikooptasi oleh rezim komunis Franco, maka di lapangan sepakbola lah ekspresi perlawanan itu di salurkan dan dituntaskan. Musuh bebuyutannya siapa lagi kalau bukan Real Madrid, klub yang sedari awal dibela, didukung dan merupakan manifestasi rezim berkuasa waktu itu. Oleh karena itu setiap pertandingan klasik (el classico) yang memperhadapkan Barcelona vis a vis Real Madrid, hawanya selalu panas dan agak keras. Karena lebih dari pertandingan sepakbola, el classico adalah pertarungan gengsi dan martabat yang menyejarah.
Perlu di catat, sebagai bentuk komitmen pemberontakan Barca, klub ini tidak pernah mau mencari sponsor dari kalangan korporasi, apalagi dari rumah judi, pabrik rokok dan pabrik minuman keras, misalnya. Mereka mencari cara sendiri untuk menghidupi klub-nya secara swadaya. Kalaupun sekarang mereka memasang sponsor di kaos mereka, mereka memilih yang memiliki nilai yang berbeda dan lain dari yang lain. Itu sebabnya mereka memilih berpartner dengan UNICEF atau Qatar Foundation. Dua lembaga non komersil yang punya misi kemanusiaan.
Sebelum era Pep, Barca lebih banyak ditangani pelatih cabutan yang datang dan pergi dari berbagai negara, sebutlah misalnya sang legenda Johan Cruyf (Belanda), Bobby Robson (Inggris), Louis Van Gaal (Belanda) dan Frank Rijkard (Belanda). Prestasi yang dihadirkan merekapun pasang-surut dan dianggap kurang merepresentasikan “jiwa pemberontakan” anak-anak Catalan. Karena ketika berhadapan dengan rival abadi el Real, cuma Johan Cruyf yang bisa menaklukan klub ibukota Spanyol itu secara heroik dengan skor 5 – 0 pada pertandingan tahun 70-an.
Pep adalah anak Catalan asli yang lahir dan besar di FC Barcelona. Dia tumbuh dalam timang-timang cerita sejarah semacam itu. Dia lulusan pertama akademi La Masia –akademi sepakbola milik Barca yang juga melahirkan Lionel Messi, Xavi dan Iniesta. Beberapa bulan setelah dipilih sebagai pelatih Barca, Pep langsung membawa Barca mengkandaskan Real Madrid di kandangnya sendiri dengan skor telak 6 – 2. Sejak saat itu Madrid tidak pernah menang ketika berhadapan dengan Barca-nya pep.
Sampai dua pekan terakhir, dua kekalahan beruntun atas Chelsea dan juga Real Madrid rupanya sangat mempengaruhi pria modis ini.
****************
Kalaulah mau jujur, dua kekalahan itu sebetulnya nothing dalam sepakbola. Semua pemimpin dan pelatih hebat pasti pernah mengalaminya. Toh, Barca masih menyisakan peluang merebut satu piala di musim ini.
Tetapi Pep selalu memasang target yang tinggi untuk dirinya. Meski kerap ditawari cek kosong, dia cuma mau menandatangani kontrak yang durasinya1 tahun, untuk menantang dirinya sendiri bekerja cepat dan efektif. Dia juga menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk berdiskusi dan menganalisa pertandingan dengan tim-nya. Dia nyaris tidak pernah duduk sepanjang pertandingan berlangsung, berteriak dan memotivasi tanpa henti.
Ketika harus menelan kekalahan, Pep orang yang selalu positif. Alih-alih mencari pembenaran, dia lebih suka introspeksi ke dalam dan tak segan mengakui kehebatan tim lawan. Dia tipe pelatih yang selalu menaruh respek terhadap lawan-lawannya, meski kelas lawannya itu berada jauh di bawah timnya. Ketika tim lawannya itu berhasil dikalahkan –bahkan dengan skor sangat telak misalnya—Pep akan memperlakukan mereka dengan hormat dan tetap menaruh respek. Di akhir pertandingan, bisa dipastikan dia yang akan lebih dulu bangkit dan menghampiri pelatih tim yang dikalahkannya itu untuk menyodorkan jabat eratnya.
Ibarat seorang ksatria, semua peperangan pernah dimenangkan Pep bersama Barca. Tidak ada lagi yang terlalu menantang. Oleh karenanya, dua kekalahan penting sudah cukup bagianya untuk menyimpulkan sudah saatnya dia mundur dan membiarkan ksatria lain memimpin the winning team ini ke depan.
Sementara Pep, pria penyayang keluarga ini, memutuskan untuk istirahat dulu dan kembali ke tengah keluarganya. Mengisi hari bersama tiga orang anaknya tercinta, salah satunya gadis kecil 4 tahun, yang selama ini sangat jarang dia temani ketika bermain. Tidak hanya bersama timnya, dia –mungkin—juga ingin sukses bersama keluarganya.
Adios Pep. Deep bow.