TIGA (PEMIMPIN) MENGUAK TAKDIR

Pada masanya, ketiganya benar-benar “Macan Asia”. Mewakili tiga bangsa, tiga puak besar dan ratusan juta ummat manusia, yang hidup dalam satu kawasan semenanjung yang pernah dipersatukan dan dinamai –oleh Maha Patih Gadjah Mada—sebagai Nusantara.

Soeharto, seorang Jawa tulen, memimpin negara dengan rakyat ratusan juta bernama Indonesia.

Mahathir Mohammad, Melayu keturunan India, memimpin bangsa Malaysia yang jumlahnya  (kira-kira) sepersepuluh penduduk Indonesia.

Dan –yang baru saja berpulang—Lee Kuan Yeuw, seorang Tionghoa memimpin bangsa dan negara liliput; Singapura, yang besar negara dan jumlah rakyatnya kurang lebih sama dengan Kota Jakarta .

Dididik dan dibesarkan pada masa perang dan naik menjadi pemimpin ketika bau abu mesiu  belum benar-benar hilang di udara.  

Begitu duduk di singgasana kekuasaan, mereka mendapati rakyatnya masing-masing yang miskin, kumuh, terbelakang dan tidak percaya diri karena penjajahan dan konflik internal berkepanjangan.

Singapura dan Malaysia berurusan dengan konflik antar etnis sementara Indonesia konflik politik dan idiologi. Semuanya berdarah-darah dan memakan korban yang tidak sedikit.

Apa yang harus dilakukan? Seperti apa nasib dan masa depan itu? Semuanya gelap.

Dilema besar yang mungkin hanya bisa dirasakan oleh mereka yang pernah hidup di zaman itu.

Tidak ada pemimpin yang benar-benar tegar ketika dihadapkan pada sebuah persoalan maha berat semacam itu.  Bahkan seorang Lee Kuan Yew menitikan air mata  ketika menghadapi kenyataan Singapore yang liliput itu “ditendang keluar” oleh Konfederasi Malaysia ketika itu, dan harus berfikir keras untuk hidup diatas kaki-kaki kecilnya sendiri.

Ini bukan soal retorika politik menggebu-gebu di atas mimbar. Episode itu baru saja rampung bersama dengan derap serdadu terakhir yang kembali ke barak,  pada lakon perang dunia kedua.

Ini soal bagaimana berdikari –jargon milik Soekarno—berdiri di atas kaki sendiri. Bagaimana memenuhi kebutuhan hidup rakyat, bagaimana menghadirkan air bersih, bagaimana memberikan pangan, sandang, papan, pendidikan dan masa depan untuk jutaan manusia miskin dan kumuh tadi.

Di atas semua itu, bagaimana mengangkat harkat dan martabat bangsa terjajah dari sebuah puak muda yang tak pernah diperhitungkan dunia sebelumnya, di sebuah kawasan bernama Asia Tenggara.

Tentang dilema yang dihadapi para pemimpin itu, Mahathir Mohamad lugas mengatakan; “sama saja bagi kami, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, hasilnya adalah di cela”.  

Kita kemudian mengenang ketiganya sebagai pemimpin yang “memilih untuk melakukan sesuatu”.

Meski berbeda teritori, keyakinan ketiganya sama: stabilitas politik adalah syarat mutlak mengejar ketertinggalan. Pembangunan ekonomi adalah segalanya. Tidak boleh diganggu oleh hiruk pikuk politik.

Ibarat petani penggarap ladang, mereka mulai mencangkul, membalik, tanah, menyemai benih, memberi pupuk, merawat tanaman. Sambil terus mengajak semua orang terlibat. Setiap hari selama berpuluh-puluh tahun.

Di Indonesia, Soeharto gencar mewartakan gagasan Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) yang terstruktur dan berkesinambungan, buah fikir para arsitek ekonomi lulusan Barkeley, yang memang dia sponsori.  

Dia bangunkan sektor pertanian dimana mayoritas ekonomi rakyat bertumpu, dia galakan Sekolah-sekolah Dasar Inpres, dia kembangkan Pos Yandu dan Kelompencapir (Kelompok Pendengar Pembaca dan Pirsawan) untuk menyebarluaskan idiologi pertanian.  Dia bangunkan kepercayaan diri rakyat pelan-pelan dengan swasembada beras, Satellit Palapa dan Industri Strategis (termasuk Dirgantara).

Dia kembangkan industri dan perdagangan, dengan memberikan kemudahan dan akses terhadap beberapa gelintir orang dekat dan kerabatnya, yang kelak menjelma menjadi konglomerasi-konglomerasi raksasa.

Di Malaysia, Mahathir memilih untuk memberikan angin (affirmative action) untuk kaum melayu bumiputera dengan New Economic Policy, untuk sama-sama bisa bersaing dengan etnis Cina  dan India di dalam industri dan perdagangan. Kaum melayu yang petani dan terbelakang, tetapi mayoritas, dalam skenario Mahathir harus diberikan kesempatan lebih untuk bisa hidup sejajar dengan etnis lain.

Pengalaman konflik etnis berkepanjangan di Malaysia, membuat Mahathir mengambil resiko untuk mengangkat puak Melayu pada garis yang sejajar, agar potensi konflik –yang biasanya ditunggangi masalah ekonomi itu—tidak semakin hebat di masa depan. Kesejajaran ekonomi antar puak, menjadi isu penting sang Perdana Menteri dalam mengawal Malaysia ketika itu.

Sementara Lee Kuan Yew, apa yang bisa diperbuat negeri yang bahkan untuk airnya saja harus di suplai dari Johor, Kawasan Malaysia terdekat, itu?

Dia bangunkan kepercayaan diri bangsa kecil itu dengan membangun Singapura sebagai negara penghubung antar kawasan. Dia buat aliansi strategis dengan berbagai industri besar di dunia barat. Visinya menuntun dia menjadikan Singapura sebagai negara pelabuhan sekaligus peleburan yang modern.

Dia bangun etos bangsa yang bersih dari korupsi. Dia kontrol semua yang hidup dan bergerak di negeri itu. Tidak ada yang tidak terkontrol di sana. Bahkan mereka kontrol siapa boleh makan apa dan mengucapkan apa. Modern, bersih, praktis dan efisien, itulah citra diri Singapura yang diperjuangkan sepanjang hidupnya.

Apa yang ditanam dan cara tiga pemimpin ini menanam boleh jadi berbeda di ladang masing-masing.  

Tetapi ketiganya memiliki kesamaan dalam satu keyakinan; tanaman tidak akan pernah tumbuh sempurna bila tidak dijaga.

Oleh karena itu mereka juga mencabut gulma dan rumput liar, memberantas hama, menghajar “pengganggu” yang dianggap akan menyerobot kerja keras mereka.

Disamping catatan prestasi yang mereka torehkan dari hasil kerja keras berpuluh-puluh tahun di negeri masing-masing, pada bagian ini mereka mendapat stempel yang sama –terutama—dari para pengritiknya; bertangan besi.

Soeharto, Mahathir dan Lee adalah pemimpin-pemimpin yang nilainya merah dan tidak pernah naik kelas dalam mata pelajaran Hak Asasi Manusia, Demokrasi dan Kebebasan.

Di balik gemerlap gedung-gedung tinggi pencakar langit di Jakarta, Kuala Lumpur dan Singapura, ada banyak air mata dan darah yang tumpah dari mereka yang dianggap sebagai gulma dan hama pembangunan. Oleh karena itu harus di entaskan.

Tetapi, memang benarlah adanya apa yang dikatakan Mahathir diatas. Tidak pernah ada yang seratus persen setuju dengan apapun yang anda lakukan. Bahkan kebaikan berdasar wahyu sekalipun banyak  pencela dan penentangnya. Kata Lee dengan ketus;  ”anda mungkin seorang idealis dalam hidup dan di cela setelah anda mati” .

Ketiganya sudah menutup kisah kepemimpinannya masing-masing dengan cara yang berbeda.

Lee lengser sejak lama dari kursi PM Singapura dan baru saja berpulang, mewariskan Singapore yang kita kenal seperti sekarang. Orang Singapura menyebutnya sebagai pahlawan dan Bapak Bangsa.

Mahathir masih sehat dan nasihat kepemimpinannya masih di dengar orang banyak, baik di dalam  maupun di luar negerinya.

Takdir Pak Harto di Indonesia berkata lain. Meski sempat mengantarkan Indonesia sebagai “Macan Asia” pada masanya,  beliau mungkin menjalani takdir paling sempurna sebagaimana yang  dikatakan Lee dan Mahathir; Berbuat atau tidak berbuat di cela, bahkan tetap di cela ketika sudah lama berpulang.

Wallahu A’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published.