RELAWAN, PEMIMPIN DAN KERJA TAK BERBAYAR

Coba perhatikan foto heroik dibawah ini. Seorang relawan menantang maut menyelamatkan seorang korban di tengah ancaman bencana dahsyat di sekelilingnya. Foto ini diambil pada peristiwa letusan maha hebat Gunung Merapi pada tahun 2010, yang juga menewaskan sang juru kunci, Mbah Maridjan.

Foto ini mendunia dan menuai banyak simpati terhadap kerja relawan. Sempat menjadi headline di beberapa media lokal dan internasional. Tetapi sayang beribu sayang, karena wajah relawan itu tertutup masker, tidak banyak yang tahu siapa sosok di balik foto itu.

Ceritanya, minggu yang lalu saya diundang oleh sosok relawan di foto itu untuk berbagi di komunitas para relawan yang dipimpinnya; Sekolah Relawan.  Saya seperti ditarik kembali ke dalam mesin waktu.

Sosok relawan dalam foto itu adalah sahabat lama saya. Namanya Bayu Gautama.

Kami tumbuh bersama dalam kerja-kerja tak berbayar di masa lalu. Bersama mengerjakan pekerjaan-pekerjaan sosial seperti mengorganisir kelompok belajar untuk anak-anak dan pemuda, membuat bakti sosial, membuat perpustakaan gratis, dan lain-lain, yang buat sebagian anak muda sebaya kami ketika itu, mungkin, terlihat ganjil dan tidak mainstream.  Jauh dari kesan gaul dan trendi.  

Itulah cikal-bakal benih kerelawanan yang kami tanam dahulu.

Benih itu tumbuh dan mengakar dalam di diri sosok sahabat ini. Hampir seluruh hidup dan aktifitasnya kini dia habiskan untuk kerja-kerja kemanusiaan dan kerelawanan. Dia hadir di hampir setiap tanah bencana di dalam negeri; seperti tsunami  di Aceh, gempa dan tsunami Pangandaran, termasuk dia terlibat langsung dalam proses evakuasi dan penyelamatan korban selama berbulan-bulan ketika amuk Merapi pada 2010 itu.

Langkah kerelawanannya mengalir sampai jauh, hingga ke mancanegara. Dia dan timnya pernah hadir dan membantu anak-anak korban perang Israel – Palestina  di Gaza,  dia juga hadir dan membantu korban kelaparan di Somalia, korban gempa di Pakistan, dan banyak lagi yang lain.

Sementara jalan hidup saya mengalir ke arah yang berbeda. Tetapi justru jalan yang saya tempuh selama ini  semakin meyakinkan bahwa benih yang kami tanam dahulu adalah benih yang baik.

Sebagai trainer dan facilitator program kepemimpinan, saya memiliki banyak kesempatan untuk belajar dan berinteraksi dengan para pemimpin hebat, khususnya di dunia bisnis. Dari interaksi itu saya belajar bahwa  setelah semua pendakian-pendakian penting untuk mencapai puncak tertinggi kesuksesan, para pemimpin itu menyadari bahwa jalan yang tersedia –dan paling mulia—sesungguhnya adalah menuruni lembah pengabdian dan perkhidmatan.

Kata Einstein, seorang  jenius abad ini, derajat tertinggi dari setiap individu bukanlah untuk memerintah atau mengatur (to rule), tetapi untuk melayani (to serve).

Itu sebabnya banyak pemimpin hebat, ketika mereka sudah sampai pada puncak-puncak tertinggi kesuksesan duniawi, yang mereka lakukan justru adalah “menghambur-hamburkan hasil keringat dan jerih payahnya” itu dalam laku sosial kemanusiaan.  Kadang seperti antitesis dari perilaku mereka dahulu, yang selalu  memperhitungkan setiap keping harta kekayaan yang mereka kumpulkan.

Contohnya Bill Gates.  Terkenal dan menjadi salah satu orang paling kaya dunia karena kerajaan Microsoft-nya, tetapi yang dilakukannya saat ini adalah keliling dunia mensponsori kegiatan-kegiatan amal dan kemanusiaan melalui yayasan yang dibentuk bersama istrinya, Melinda Gates. Puluhan bahkan ratusan milyar dollar dia keluarkan dari kantongnya untuk membantu riset penyakit kanker, HIV atau membantu pendidikan dan kesehatan anak di Afrika, dan aktifitas sejenis.  

Dia kini lebih dikenal sebagai filantropis daripada sebagai pebisnis.

Di Indonesia juga begitu.  Ada banyak pebisnis yang pada titik tertentu meninggalkan kursi empuk CEO atau Direktur di perusahaannya dan mengabdikan diri pada kerja sosial-kemanusiaan-keagamaan yang justru menghambur-hamburkan uang yang susah payah dikumpulkannya dahulu.

Memang tidak semua orang melakukan aktifitas itu dengan niat yang baik dan benar. Beberapa diantaranya malah lebih untuk pembangunan citra yang ujung-ujungnya untuk kepentingan bisnisnya juga.  Atau malah untuk tindakan kriminal seperti pencucian uang atau penghindaran pajak.

Akan tetapi, secara umum, yang sedang kita bicarakan adalah bahwa manusia mempunyai kebutuhan untuk memenuhi secara seimbang empat fitrah dasar kemanusiaannya; yaitu Tubuh, Pikiran, Hati dan Jiwa.

Kebutuhan Tubuh adalah akan materi, kebutuhan Pikiran adalah pertumbuhan dan perkembangan (growth and development), kebutuhan Hati  ialah hubungan yang tulus dan penuh kasih, serta kebutuhan Jiwa ialah akan nilai dan makna hidup.

Dalam proses pendakian mencari puncak tertinggi kesuksesan, biasanya Tubuh dan Pikiran bersekutu dalam koalisi permanen dan menyingkirkan dua yang lain, Hati dan Jiwa. Akan tetapi, seiring dengan waktu, ketika puncak kekuasaan tak kunjung ditemukan dan mereka mulai kehilangan arah dan gamang, barulah mereka mulai bertanya kepada Hati dan Jiwa.

Hati dan Jiwa-lah yang biasanya mampu menunjukan batas kesuksesan tersebut. Dan ketika mereka menemukan batasnya, pada titik inilah mereka mulai menyadari bahwa mereka harus mulai turun untuk melayani dan mengabdi kepada sesuatu yang lebih besar, yaitu Yang Maha Kuasa, orang lain dan kehidupan yang lebih luas.

Orang seperti Bill Gates menemukan batasnya dan kini memenuhi panggilan Hati dan Jiwanya untuk banyak membantu orang lain. Dia turun dari puncak kesuksesan itu dengan elegan, sebelum barangkali pada akhirnya dia nanti betul-betul “pulang”. Tetapi banyak juga yang masih berputar-putar dan kebingungan sendiri di atas sana.

Kembali ke soal Tubuh-Pikiran-Hati-Jiwa tadi.

Dalam pengalaman saya dengan para pemimpin itu, mereka kemudian sampai pada kesimpulan bahwa pada akhirnya menjadi pemimpin itu –yang pertama dan terutama—adalah soal Hati dan Jiwa. Soal membangun hubungan yang tulus, penuh integritas dan niat baik.

Tubuh dan Pikiran memang dibutuhkan, tetapi, setelah dua yang pertama. Ketika dua yang pertama itu tidak ada maka kekuatan tubuh (materi) dan ketajaman pikiran (visi) anda akan mendatangkan malapetaka. Orang akan selalu curiga dengan motif anda dan mulai kehilangan kepercayaan kepada anda.

Karena ketika Hati dan Jiwa anda tidak hadir, maka Hati dan Jiwa orang yang anda pimpin juga tidak akan datang. Dalam situasi itu, biasanya banyak pemimpin memilih menggunakan power (kekuasaan) untuk memastikan mereka bergerak.  Sayangnya power hanya menjangkau tubuh.  Paling  jauh pikiran. Hati dan Jiwa harus diberikan oleh orang itu dengan sukarela.

Di depan anda, dia mungkin seperti tunduk dan patuh, tetapi di dalam Hati dan Jiwanya dia meradang dan menyimpan dendam. Ketika mereka memiliki pilihan, mereka akan melakukan “pembalasan”. Yang paling umum adalah keluar atau meninggalkan anda.

Pada titik itulah kemudian para pemimpin percaya, sebagaimana Einstein diatas, yang bisa menyentuh Hati dan Jiwa adalah pengabdian dan pelayanan (to serve). Yang tulus, tanpa pamrih, dan mungkin, tak berbayar secara materi.

Para pemimpin itu harus jatuh bangun untuk sampai pada kesadaran itu. Kadang melewati proses panjang danberdarah-darah untuk dirinya ataupun organisasinya.

Sementara para relawan –termasuk sahabat saya diatas—sampai pada  kesadaran untuk melayani dan mengabdi sampai sejauh itu tanpa harus melewati jalan panjang dan berdarah-darah. Semata hanya memenuhi panggilan Hati dan JIwa, yang benihnya sebetulnya sudah disebar Tuhan secara merata di setiap diri.

Tetapi memang butuh “kerja-kerja tak berbayar” untuk menyuburkannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published.