UJIAN MARSHMALLOW DAN PUASA

Ekspresi anak-anak usia 4-6 tahun  itu demikian natural.  Sebagian besar mereka tak tahan godaan, langsung mencaplok sebiji marshmallow yang disajikan diatas piring di depan mereka. Beberapa diantaranya mencoba menunggu waktu beberapa saat –setelah sang peneliti menghilang dari ruangan—untuk kemudian mencaploknya juga.

Hanya sedikit saja yang kuat bertahan menunggu selama 15 menit berhadap-hadapan dengan camilan sejenis gula-gula yang kenyal dan lembut favorit anak-anak itu. Untuk mereka yang berhasil bertahan selama 15 menit, mereka mendapatkan sebiji marshmallowtambahan sebagai hadiah.  Dan mereka keluar sebagai pemenang.

Ini adalah sebuah eksperimen menarik, melihat bagaimana kekuatan kontrol diri seorang anak. Pertama kali dilakukan oleh seorang ilmuwan Stanford University di Amerika, Walter Mischel. Namanya “Marshmallow Test”.

Untuk anak-anak usia segitu tes ini tidak mudah.  Mereka harus memilih, menuruti instingnya untuk  langsung menikmati sebiji  marshmallow saat itu juga, atau berusaha menunda kenikmatan barang sebentar dan mendapatkan marshmallow tambahan sebagai hadiah, nantinya.

Walter Mischel lantas mencoba mengikuti bagaimana “nasib” anak-anak itu dalam kehidupan pribadi mereka, selama 20 tahun. Dan dari observasinya itu dia menemukan bahwa anak-anak yang berhasil bertahan selama 15 menit itu, rata-rata mereka lebih berhasil dalam pelajaran di sekolahnya, memiliki kehidupan pernikahan yang lebih baik dan lebih sukses dalam pekerjaan.

Penelitian itu ingin membuktikan bahwa kemauan kuat untuk “menunda kenikmatan” (delayed gratification) sesaat adalah faktor penting untuk keberhasilan jangka panjang.

Menunda kenikmatan sesaat. Ini sesungguhnya ajian sederhana yang –jauh sebelum penelitian di Stanford itu—sudah menjadi indikator penting keberhasilan masa depan.

Ratusan tahun sebelum masehi, pasukan kecil Raja Thalut yang akan menghadapi pasukan raksasa Jalut juga menghadapi tes serupa. Tetapi saat itu ujiannya adalah air sungai yang jernih dan dingin di tengah sahara yang sangat terik dalam sebuah perjalanan panjang ke medan laga. Mereka dipesankan hanya boleh meminumnya barang seciduk, tak boleh lebih.

Sebagian besar tak tahan ujian itu dengan mememinum air sungai itu sepuas hati dan akhirnya terlena tak mau melanjutkan perjalanan. Sebagian kecil saja yang lulus ujian seciduk air itu dan akhirnya mereka keluar sebagai pemenang perang, atas izin Tuhan.

Dalam cerita yang lain, pada pertempuran di Gunung Uhud, pasukan Muhammad dihancurleburkan oleh pasukan Quraisy hanya karena mereka tak tahan godaan harta rampasan perang yang berserakan di depan mereka. Ketika itu mereka mengabaikan perintah sang Nabi untuk bertahan menjaga posisi dan merapatkan barisan.

Padahal pasukan yang sama, setahun sebelumnya pernah menghancurkan pasukan Quraisy dalam peperangan di padang Badar. Ketika itu jumlah mereka jauh lebih kecil, tetapi mereka memegang teguh komitmen perjuangan dan dalam kondisi disiplin diri yang prima karena sedang berpuasa.

Prinsip yang sama ternyata juga tetap berlaku di zaman modern.

Jim Collins, seorang penulis bisnis kesohor masa kini, pernah meneliti perusahaan-perusahaan yang dapat bertahan melintasi zaman, dalam kurun yang panjang dan melewati krisis demi krisis. Tidak banyak perusahaan seperti itu. Yang lebih banyak, mereka hebat di suatu masa, tetapi tidak bisa bertahan ketika menghadapi perubahan zaman.  Hilang di telan sejarah.

Salah satu kunci sukses perusahaan-perusahaan tersebut adalah kemampuan mereka untuk secara konsisten bertahan dari godaan di tengah situasi buruk maupun situasi baik. Mereka berusaha untuk selalu bertahan dan sedapat mungkin terus maju ke depan betapapun situasi ekonomi sedang terpuruk.

Tidak terlalu banyak membuat alasan dan menyalahkan keadaanPada saat yang sama, mereka pandai mengelola diri untuk tidak tidak terlalu serakah dalam ekspansi dan pertumbuhan ketika situasi ekonomi kinclong.

Ini sejenis kontrol diri dalam bentuk yang lain.

Jim memberikan ilustrasi begini; ada dua orang – sebutlah dia si A dan si B—yang mengikuti lomba maratahon jarak sangat jauh. Katakanlah start di Sabang dan finish di Merauke.

Si A berlari dengan sangat maksimal. Bisa berpuluh-puluh atau beratus kilometer sekali berlari. Tetapi hari-hari berikutnya dia akan istirahat untuk recovery karena kelelahan. Dia juga akan istirahat pada saat cuaca mendung, hujan, dan badai. Apabila semua sudah kembali baik, dia lari lagi dengan sangat maksimal untuk kemudian beristirahat lagi berhari-hari, dan begitu seterusnya.

Sementara si B berlari dengan terukur. Dia hanya berlari sejauh 20 km saja setiap hari.  Setalah 20 km itu dia beristirahat. Esok harinya 20 km lagi. Istirahat lagi. Dan begitu seterusnya, tidak peduli cuaca cerah atau hujan badai, dia terus menempuh 20 km setiap hari.

Siapa yang akan sampai ke garis finish duluan?  Dalam penyelidikan Jim, mereka yang bermental seperti B yang akan juara.

Mereka-mereka yang mampu menguasai diri untuk tidak mengumbar nafsu dan bekerja dalam sebuah komitmen diri yang tangguhlah yang akan keluar sebagai pemenang dalam bidang apapun.

Dalam kasus penelitian Jim Collins tadi, hanya perusahaan-perusahaan yang punya disiplin diri yang baik, tidak jor-joran tetapi  juga tidak pelit, dalam kondisi apapun, yang akan terus survive. Bahkan dalam kondisi  krisis sekalipun.

Karena mereka punya disiplin dan kontrol diri terhadap godaan ambil untung sebesar-besarnya saat situasi baik, sambil pada saat yang sama terus berkomitmen untuk tetap maju membuat investasi-investasi penting saat ekonomi sedang sulit.    

Siapa yang akan unggul dalam jangka panjang? Mereka yang terbiasa belajar menggunakan sistem SKS (Sistem Kebut Semalem) atau mereka yang terbiasa mencicil belajar sedikit demi sedikit setiap hari dalam situasi apapun?

Tidak membutuhkan kualitas apapun untuk bisa belajar dengan sistem SKS kecuali situasi yang kepepet. Sementara  dibutuhkan dorongan motivasi dan kontrol diri yang prima untuk bisa belajar secara mencicil setiap hari. Untuk memaksakan diri membuka buku pada saat tidak ingin dan untuk mengatakan cukup pada saat tiba waktunya istirahat.

Di titik inilah puasa menemukan pelajaran pentingnya. Yaitu tentang keikhlasan dan kesabaran untuk selalu mengendalikan diri, pada saat perut ingin makan dan minum,  pada saat mata butuh untuk tidur, pada saat hasrat dan dorongan nafsu demikian menggelora.

Tetapi pada saat yang sama, puasa juga mengajarkan diri untuk tahu batas cukup. Berhenti saat nikmat makan dan minum tengah di puncak, untuk dilanjutkan dengan Ibadah Shalat. Bangun di saat puncak kenikmatan tidur tengah membuai, dan tidak boleh sama sekali puasa dan malah diperintahkan untuk “memanjakan diri” dengan baju dan makanan yang baik–pada hari lebaran—pada saat secara spiritual kita tengah naik ke arasy yang tertinggi dan ingin terus berpuasa sepanjang tahun.

Mereka yang melakukan itu akan dijanjikan kemenangan pada akhirnya. Baik kemenangan secara lahiriah, terlebih-lebih kemenangan batiniah.  Sebuah kenikmatan yang hanya  tumbuh di taman hati manusia-manusia beriman.

Kemenangan batin –yang tak terlihat itu—yang sesungguhnya dicari oleh para pelaku puasa. Dan itulah yang membuatnya bertahan dan kuat mengarungi godaan-godaan yang tidak mudah sepanjang pagi dan siang yang menyergap seluruh panca inderanya.

Karena ketika kemenangan akhir itu di dapatkan, maka godaan-godaan itu sungguh bagai debu yang tertiup angin. Tidak ada artinya sama sekali dibandingkan dengan kenikmatan telah menaklukannya. Apatah lagi bila dibandingkan dengan reward  yang di dapatnya sesudah itu.

Reward itu bisa jadi marshmallow tambahan seperti kasus anak-anak diatas. Bisa jadi kemenangan pertempuran (baik pertempuran fisik maupun ekonomi dan bisnis). Bisa jadi juga prestasi  dan kehidupan yang lebih baik.

Di atas semua itu, kenikmatan yang sesungguhnya adalah, kita tahu bahwa (kesadaran tertinggi) kita menjadi tuan atas diri kita. Bukan budak dari nafsu dan keinginan sesaat.

Wallaahu A’lam

PS: Link berikut adalah contoh dari marshmallow test

https://www.youtube.com/watch?v=Yo4WF3cSd9Q

Leave a Reply

Your email address will not be published.