Begitu menerima kabar duka itu, langkah saya tiba-tiba terasa berat. Lama sudah kami tidak bertemu. Kehidupan sudah betul-betul membuat kami sibuk mengejar bayangan masing-masing. Tetapi benarlah ungkapan itu; True friends are never apart. May be in the distance, but never in heart.
Bukan karena gerimis yang masih menggenang di bumi para datuk sore itu yang membuat ada air yang terasa hangat di pelupuk mata saya . Genangan kenangan di dalam hati mengalir diam-diam dan menetes tak terbendung.
Kenangan saya melesat jauh pada masa hampir setengah abad lalu. Ketika itu, kami pertama bertemu di kampus mentereng Universitas Indonesia sebagai mahasiswa baru. Gerbang besar kampus dengan panji-panji ilmu dan reputasi yang menjulang tinggi itu membuat langkah-langkah pertama saya terasa sangat gagap.
Pertemuan dengan Agus –kami memanggilnya Ayi—membuat langkah saya terasa lebih ringan.
Sebagai “anak kampung” yang masuk ke sebuah melting pot bernama kampus UI, saya sempat mengalami gegar budaya. Di kampus kuning itu, beragam manusia dengan beragam latar belakang bertarung menunjukan dan memperebutkan “Buku, Pesta (Prestasi) dan Cinta”.
Itu adalah kampus perjuangan. Bukan semata perjuangan meruntuhkan segenap despot dan tiran dari kaum penguasa, tetapi perjuangan memperebutkan pengaruh di dalam dirinya sendiri.
Antara kaum elit borjuasi dengan mayoritas proletar, antara pekik romantisme para aktifis dengan apatisme akut sebagian besar warganya, antara semriwing wangi parfum penghuni kafe dan bau sangit kaum pathetic penghuni lorong gelap perpustakaan, musholla, warnet dan game-online yang mulai tumbuh ketika itu.
Jika diibaratkan sebuah piramida penduduk, kaum cerdik-pandai, anak-anak gaul bak sosialita, dan kelompok kritis-populis menempati struktur piramida paling atas dari populasi mahasiswa. Inilah kelompok kecil elit mahasiswa yang merajai ruang-ruang pergaulan. Para influencer. Mereka beredar dan –bagi saya yang datang dari pinggiran— tampak “mengintimidasi”.
Penampilan aduhai, derai tawa dan canda mereka, buat saya seperti ledekan lidah nasib yang kebetulan tidak berpihak kepada saya, ketika itu.
Saya bukan anak Jakarta. Secara demografis, sosiologis, kultural, dan apalagi secara psikologis.
Oleh karenanya saya adalah penghuni paling dasar struktur masyarakat kampus ketika itu. Dan pada mereka dengan profil seperti itu, akan sangat rentan terserang penyakit akut bernama rendah diri. Penyakit itu juga menghinggapi saya di hari-hari pertama kuliah di UI.
Ayi adalah kelas menengah. Dia anak Jakarta, tapi pastinya bukan kaum borjuis penghuni kafe. Tetapi bukan pula jenis kaum pathethic yang senang bersembunyi di kegelapan, seperti saya. Dia bukan pula jenis kelompok kritis dan aktifis penyuka diskusi, kajian dan pentas seni.
Dia hanya seorang teman yang akrab dan hangat. Dia tidak beredar di ruang-ruang artifisial. Dia tipe teman yang beredar di hati teman-temannya.
Bertemu dengannya, saya menemukan seseorang yang bisa menemani saya melewati hari-hari gegar budaya itu.
Penampilannya untuk ukuran kelas menengah, sama menyedihkannya seperti saya. Cara berpakaiannya sangat tidak modis. Tempat makan dan tongkrongannya sama, di warung lusuh bernama Warung Bu Atun di hutan depan Fakultas Psikologi UI–yang kini sudah tak ada lagi.
Tutur katanya akrab dan hangat. Seperti seorang teman yang tahu caranya menggembalakan kambing di pematang sawah. Tahu caranya terjun ke sungai dari ketinggian dahan pohon 10 meter. Seolah orang yang sudah saya kenal sejak saya kecil.
Karenanya kami cepat akrab. Di jurusan kami ketika itu, tidak banyak jumlah mahasiswa laki-lakinya. Menemukan seorang teman yang bisa merasakan penderitaan yang sedang kita alami, seperti seorang pria yang lama menjomblo, ditolak disana-sini, tetapi kemudian di terima cintanya oleh Raisa.
Saya belajar banyak tentang kepercayaan diri dari Ayi.
Untuk ukuran seorang laki-laki, Ayi tampangnya biasa saja. Tapi teman perempuanya banyak. Sementara saya, skor ketampanan saya di atas rata-rata, tetapi saya terlalu malu untuk bergaul dengan teman-teman perempuan itu. Padahal boleh dibilang di jurusan saya, ketika itu, dihuni oleh banyak bidadari cantik yang menjadi magnet bagi jurusan lain, bahkan fakultas lain. Beberapa diantaranya Model dan None-none kecantikan.
Meski Pede abis, Ayi bukan tipe cowok gombal. Dia seorang idealis dalam pergaulan. Berteman dengan siapa saja, tetapi bersahabat hanya dengan orang-orang yang menurutnya bisa dipercaya. Dia membutuhkan waktu lebih dari 35 tahun untuk pada akhirnya mempersunting istrinya tercinta, seorang dokter cantik dan baik yang telah dikenalnya sejak sekolah menengah. Cinta pertamanya.
Sejak tamat kuliah, kami jarang bertemu. Sesekali bermain bola bareng di kampus UI semasa saya masih menetap di Depok. Dan dua momen spesial yang tak terlupakan.
Pertama, ketika dia membuatkan website www.alidamanik.com untuk saya.
Saya tidak pernah meminta. Tetapi diam-diam Ayi yang kocak itu menjadi silent reader dari tulisan-tulisan saya. Dia memang berbisnis IT dan menjual pembuatan website untuk banyak perusahaan. Dia mungkin masih prihatin bahwa temannya ini masih tidak cukup pede untuk mempublikasikan tulisan-tulisannya, yang menurutnya, sungguh layak untuk dipublikasikan.
Jadilah dia berbaik hati untuk membuatkan website yang keren itu tanpa diminta dan tanpa bayaran. Malah dia mengikhlaskan diri untuk mengurus perpanjangan kontrak domain dan lain-lain.
Saya belajar banyak, Ayi tahu bagaimana caranya berteman. Banyak memberi dan tidak pernah menuntut apa-apa.
Kedua, ketika saya mendengar kabar bahwa akhirnya ia mendapatkan seorang anak, bocah laki-laki, yang diberi nama Malik. Saya sangat berbahagia untuknya.
Dia menikah telat dan membutuhkan waktu beberapa tahun lagi untuk mendapatkan seorang anak. Ketika anak-anak temannya sudah ada yang kuliah di tempat kami kuliah dahulu, Malik baru berusia 1 tahun.
Siang itu, Ayi tiba-tiba keluar dari kamar mandi dan mengeluh sakit kepala yang tak tertahankan. Dia menemukan Malik –anak laki-laki semata wayang, buah hati belaian jiwanya—menatap tak mengerti apa yang terjadi pada Papanya.
“Kepala Papa sakit…Malik…Aduuh….ngga tahan lagi…”. “Maafkan Papa..ya..Maliiik”.
Bocah laki-laki kecil itu mungkin belum betul-betul mengerti apa yang terjadi terhadap Papa-nya, ketika Papa-nya ambruk di depannya. Tak pernah bangun lagi.
Serangan stroke ganas memisahkan Ayi dengan tipu-daya dunia ini. Sempat dilarikan ke Rumah Sakit. Saya sempat menjenguknya untuk terakhir kali dan berdoa panjang di sisi pembaringannya. Kami berdua saja, seperti masa lalu, di ruang hening ICU itu.
Saya bisikan terima kasih saya atas pertemanannya yang tulus terhadap saya. Dia tak sadarkan diri. Saya bergetar.
Esoknya, ketika saya mendarat di Padang, kabar duka itu datang. Langkah saya berat. Air hangat menggenang di pelupuk mata.
Selamat jalan, Ayi.
Tangerang, Mei 2017