FILOSOFI LARI

Setelah berbulan-bulan,  pencapaian prestasi lari saya agak kurang mengesankan. Saya masih belum bisa mencapai  10 KM, ambang batas psikologis bagi seseorang bisa dianggap sebagai seorang “pelari murni”. Kalau saya masih pelari campur.  Campur jalan kaki.

Skor terjauh saya baru sampai di 8 KM yang ditempuh dalam waktu 50  menit.  Sungguh terlalu!

Tetapi saya masih belum menyerah.  Saya masih menyimpan tekad kuat untuk break my own target. Finish 10 KM tanpa campur jalan kaki. Apalagi campur selfie.

Ini bukan untuk jago-jagoan. Ini sebuah upaya sederhana untuk menaklukan diri sendiri. Untuk keluar dari rasa malas dan banyak alasan. Sambil, saya merasa kalau badan saya bergerak, otak saya juga ikut bergerak ceria.

Setelah tidak lagi bermain futsal,  saya mencari olah raga yang murah-meriah dan bisa dilakukan sendiri. Kebetulan saya ketemu dengan seorang teman yang tidak lelah memprovokasi saya untuk berlari.  Dia memang seorang pelari murni, bahkan boleh dibilang pelari kelas berat.

Awal bertemu dengan teman ini, badannya berisi dengan bobot yang kurang lebih sama dengan saya. Lama tidak bertemu, tiba-tiba badannya berubah amat langsing.  Dan saya masih tetap 80 KG ++.

Saya pikir dia diet, tetapi dia bilang dia cuma mendisiplinkan diri untuk berlari setiap hari. Dia bangun pagi sekali dan kemudia berlari sekitar 45 menit sebelum berangkat ke kantor.  “saya tidak pernah meniatkan diet. Hanya disiplin berlari. Tetapi rupanya, setelah dijalani, pola makan saya juga menyesuaikan”, katanya.

Jadi, sepertinya olah raga dan diet ini satu paket. Banyak diet gagal oleh karena tidak diimbangi dengan olah raga teratur. Atau sebaliknya, mereka yang malas berolahraga, akan terstimuli untuk tidak disiplin menjaga pola makannya.

Seperti guru dan murid. Guru (pengetahuan) akan datang ketika murid siap. Sementara ketika murid tidak siap belajar, guru yang ada di depan matapun tidak banyak manfaatnya.

Kembali ke soal lari tadi.

Lari ini adalah olah raga yang sepi dan sendiri. Kecuali anda lari di acara Car Free Day.  Tetapi bahkan di sebuah festival  pagi hari seperti itupun anda bisa melihat berapa gelintir manusia yang betul-betul berlari murni. Sebagian besarnya adalah mereka yang “berlari campur”; campur jalan, selfie, belanja, tebar pesona, bengong atau campur maksiat.

Membutuhkan kekuatan dan ketegaran karakter untuk membuatnya bisa kejadian.

Bagaimana tidak?

Posisi awal kita datang ke dunia ini adalah berbaring telentang kemudian di selimuti dan dikeloni di tempat tidur.   Oleh Karena itu posisi wuenak yang senantiasa kita rindukan adalah berbaring di tempat tidur berkemul selimut dan kelonan.

Butuh perjuangan yang tidak sebentar untuk kita belajar bangkit dan berjalan melangkah dari tempat tidur. Apalagi sampai kita bisa lari sendiri. Apatah lagi sampai kita memiliki kesadaran diri untuk terus berlari dan berlari demi sesuatu yang ingin kita kejar dan kita raih.

Akal sehat saja tidak cukup.

Karena pertempuran antara akal sehat –yang memberi tahu kita pentingnya olah raga dan hidup sehat—melawan karakter dasar kita yang tak terpisahkan dari bantal, selimut dan tempat tidur, persentasenya banyak di menangkan oleh bantal dan teman-temannya itu.

Ini peperangan purba antara TAHU dan MAU. Dalam banyak hal,  penge-TAHU-an kita lebih sering terkulai lemah tak berdaya dihadapan congkaknya ke-TIDAK MAU-an. Apalagi kalo sudah urusan antara tempat tidur melawan non-tempat tidur.

Jadi berlari, aktifitas yang seolah hanya menekuri jalan sendiri dan dalam sunyi itu adalah peperangan yang sesungguhnya. Bukan cuma kekuatan kaki, engkel dan nafas yang dibutuhkan. Yang amat diperlukan adalah kekuatan hati dan pikiran, untuk memastikan kaki, engkel dan nafas itu bekerja dengan baik.

Ketika para pelari itu mengayun langkah demi langkah, dalam sunyi dan sendiri itu, sesungguhnya mereka sedang menguji batas kekuatan tekad dan visi mereka untuk menyelesaikan sesuatu. Dalam hal ini target yang ingin mereka capai.

Kalau dalam lomba marathon resmi, target itu sudah di tetapkan. 10 KM,  21 KM atau Full Marathon (42 KM).

Tetapi dalam kasus orang seperti saya yang “pelari campur” , cuma saya yang tahu berapa batas yang bisa saya raih. Atau lebih tepatnya, berapa batas yang INGIN saya raih.

Saya bisa saja memanipulasi diri saya sendiri dan mempercayai bahwa saya tidak mungkin mencapai target 10 KM itu dengan banyak alasan; usia sudah di atas 40 tahun, berat badan saya tidak ideal, aku mah apa atuh,  dan seabreg alasalan lainnya. 

Saya bisa menyusun skenario dan menghadirkan bukti-bukti, sekaligus menyewa buzzer yang mengabarkan kepada dunia bahwa saya memang tidak mampu mencapai  10 KM. Atau kebalikannya membuat pencitraan bahwa saya berhasil mencapai 10 KM.

Tetapi itu tidak mengubah apapun terhadap saya, kecuali menyembunyikan kelemahan saya yang tidak berhasil mengatasi rasa malas dan keengganan untuk terus berusaha. Untuk  mengeksplorasi kemungkinan saya bisa mencapai  10 KM atau bahkan lebih. Padahal kalo dari belajar dari orang lain –termasuk teman saya diatas—sangat bisa.

What mind can conceive and believe, it can achieve,  kata Napolean Hill. Apa yang kita yakini dan percayai bisa, itu bisa dicapai.

Teman saya yang lebih tua dan lebih sibuk dari saya itu bisa mencapainya. Sementara saya masih terus berusaha. Termasuk berusaha untuk tidak terlalu banyak alasan bahwa saya belum bisa…

Tangerang, Oktober 2017

Leave a Reply

Your email address will not be published.