TAEKWONDO LINTAS GENERASI

Minggu pagi, saya makan bubur di warung bubur yang pernah saya ceritakan dahulu.

Sambil nyarap bubur, kali ini perhatian saya tertuju kepada sekelompok anak-anak yang sedang berlatih Taekwondo di lapangan. Pelatih mereka seorang Bapak paruh baya (mungkin mendekati 60 tahun), agak tambun dan mulai lamban dalam gerakannya.

Anak-anak usia SD-SMP itu demikian gesit –sedikit tengil—berlatih dengan gerakan-gerakan yang cekatan. Meski sabuk mereka sebagian besar masih putih bersih alias ilmu taekwondo-nya masih sangat cetek. Sementara sang Sabam (panggilan untuk pelatih Taekwondo), yang bersabuk hitam bergaris-garis itu (tanda dia sudah ada di level dewa kemampuan taekwondonya) dengan tertatih-tatih mencoba membetulkan gerakan anak-anak , atau sesekali berteriak mengingatkan anak-anak tengil yang pecicilan-becanda dan berlarian berlebihan—saat berlatih.

Bukan perkara mudah mengatur anak-anak generasi yang lahir tahun 2000-an itu. Bahkan dalam sebuah tradisi tua Taekwondo. Sabuk hitam dan tampang seram sang Sabam tidak jaminan membuat mereka tiba-tiba jadi anak-anak manis yang gampang di atur.

Faktanya yang saya lihat minggu pagi itu, sang Sabam, tampak kehabisan suara berteriak-teriak mencoba menertibkan mereka. Sesekali mengejar mereka yang susah diatur. Meski kemudian dia tampak frustasi, karena makin dikejar makin cepat larinya anak-anak itu. Ilmu level dewa Taekwondonya tiba-tiba tidak banyak fungsi begitu berhadapan dengan perilaku bocah-bocah ajaib zaman Internet itu.

Sang Sabam mungkin ahli bertarung dan memukul roboh lawan. Tetapi mengikuti perilaku pecicilan anak-anak yang lincah berlari-larian seperti kijang-kijang kurus Istana Bogor itu…..mana tahaaannn. (Sebab itu, kalau saya boleh berteori, kompetensi inti nomor satu yang wajib dimiliki para guru mestilah kesabaran tiada batas. Bukan terus menerus mempersoalkan honor, misalnya..)

Seorang guru Taekwondo tua yang lahir pada zaman –tebakan saya—sebelum Orde Baru berkuasa, berbagi ruang dengan anak-anak yang lahir –mungkin—ketika Orde Baru sudah tumbang. Jarak diantara keduanya demikian lebar.

Bukan sekedar soal jarak tahun. Ini soal jarak sosial dan budaya. Dalam rentang perbedaan puluhan tahun antara si guru dan si murid, perbedaan perilaku sosial-budaya diantara keduanya mungkin terlihat seperti ratusan atau bahkan ribuan Tahun.

Sang guru –dalam istilah modern—saya kira bagian dari Generasi Baby-Boomers, sebuah generasi yang diteorikan lahir sekitar tahun 40-an sampai 60-an.

Ini generasi yang lahir setelah era perang. Generasi yang menikmati musik The Beatles dan Koes Ploes. Hiburannya adalah menonton Dunia dalam Berita dan Aneka Ria Safari di TVRI. Dan ketika bekerja ingin menjadi Pegawai Negeri Sipil dan mengabdi sampai pensiun disana.

Disebut Baby-Boomers, karena ketika itu terjadi ledakan kelahiran bayi. Perang sudah selesai, para orang tua dapat memproduksi bayi dengan tenang. Generasi sebelum mereka –namanya Tradisionalist—adalah generasi yang antara hidup dan matinya masih fifty-fifty. Karena populasi penduduk bisa hilang tiba-tiba karena perang, penyakit dan lain sebagainya.

Generasi Baby Boomers ini mewarisi nilai-nilai dan perilaku generasi sebelumnya. Mereka dibesarkan oleh generasi Tradisionalist dengan cara yang keras dan tegas, khas prajurit. Oleh karena itu kepatuhan, kedisiplinan, penghormatan, adalah nilai-nilai penting generasi ini. Membantah nyaris tabu. Karena satu-satunya referensi pendidikan mereka ya orang-orang tua mereka yang lahir zaman perang itu.

Nah, sementara murid-murid Taekwondonya adalah anak-anak SD-SMP yang kalau secara teori bagian dari Generasi Y (Gen Y) atau biasa disebut juga generasi Millenial. Ini generasi yang dilahirkan antara pertengahan 80-an sampai awal 2000-an.

Dalam kasus anak-anak dilapangan pagi itu, saya kira sebagian besar mereka dilahirkan akhir 90-an sampai awal 2000-an.

Ini generasi cucu-nya Baby Boomers.

Kalau Baby boomers membaca koran dan majalah, Gen-Y lebih suka membaca status teman-temannya di media sosial. Baby boomers menonton berita TV, Gen-Y melihat video di Youtube. Baby-boomers bekerja keras dan sungguh-sungguh, Gen-Y bekerja santai sekehendak hati. Baby boomers berusaha untuk mengerti kondisi orang tua, Gen-Y minta orang tuanya mengerti kondisi mereka. Baby boomers patuh, Gen-Y membantah dan bernegosiasi. Baby boomers melihat hanya ada satu cara, Gen-Y melihat ada banyak alternatif. Baby boomers seriusGen Y rileks dan tidak ada beban.

Ini situasi runyam. Perbedaan perilaku diantara keduanya bisa seperti langit dan bumi. Tidak jarang jadi persoalan serius dan menjurus pada konflik, baik dalam kehidupan keluarga maupun pekerjaan.

Tidak jarang hubungan orang tua dan anak memanas hanya gara-gara perbedaan (perilaku antar) generasi ini.

Orang tua meminta anak-anak serius dan sungguh-sungguh belajar, sang anak malah belajar sambil dengerin musik atau nonton youtube. Merekapun bertengkar.

Padahal tidak ada yang salah dalam konteks itu. Anak itu sudah serius dan sungguh-sungguh, tetapi memang serius dan sungguh-sungguh versi anak zaman internet beda dengan serius dan sungguh-sungguh orang tua atau kakeknya yang dibesarkan dengan cara zaman baheula, ketika teknologi masih analog.

Orang tua menuntut anaknya untuk patuh dengan cara dia patuh dahulu –diam dan langsung melaksanakan apa yang dikehendaki– tetapi sang anak atau cucunya malah banyak membalik-balikan omongan orang tuanya, merajuk dan bernegosiasi.

Situasi-situasi itu bisa bikin perang Bharatayudha di rumah.

Di pekerjaan juga begitu.

Sebagai konsultan, saya kerap diundang oleh klien untuk memfasilitasi workshop bagaimana mengatasi perbedaan (gap) antar generasi ini. Karena faktanya sekarang lebih dari 60 % angkatan kerja yang bekerja di perusahaan dan instansi itu adalah Gen- Y yang ajaib ini. Sementara bos-bos mereka adalah sebagian kecil dari Baby Boomers yang masih tersisa.

Lebih dari 70% customer service/sales di perusahaan-perusahaan adalalah Gen-Y, sementara nasabah yang harus mereka layani –apalagi nasabah premium—banyaknya Generasi Baby Boomers. Kebayang kan bagaimana situasi jadi agak ribet dengan nilai dan perilaku yang jauh berbeda diantara keduanya.

Kalau tidak di tangani dengan baik, ujung-ujungnya bisnis bisa terdampak.

Yang menarik bahkan di instansi sekelas Bank Indonesia (BI), hal ini terjadi. Di Bank Sentral yang angker dengan tradisi organisasinya yang tua dan mengagumkan, saya diminta untuk memfasilitasi karyawan baru calon pimpinan BI (para Gen-Y) agar bisa berkomunikasi lebih efektif dengan generasi lama pimpinan mereka (banyaknya Gen-X dan Baby Boomers). Dan begitu pula sebaliknya.

Data globalnya menyebutkan begini: 1 dari 3 orang karyawan melaporkan bahwa mereka menghabiskan rata-rata lebih dari 5 jam untuk urusan konflik antar generasi ini setiap minggunya.

Itu artinya, dalam 5 hari kerja seminggu, satu hari full anda habiskan untuk urusan berbeda pendapat, salah faham, berkonfrontrasi, perang urat syaraf, perang dingin, dan lain sebagainya, dengan karyawan lain yang lebih tua atau lebih muda dari anda. Semata-mata karena gayanya berbeda dengan anda.

Perbedaan ini sendiri sebetulnya sesuatu yang alamiah saja.

Ini seperti siklus hidup daun dalam sebuah pohon. Tunas daun tumbuh, berkembang, menjadi tua, mengering dan pada akhirnya tanggal, digantikan dengan tunas baru. Dan begitu seterusnya.

Para Baby Boomers itu pada masanya adalah generasi baru yang berbeda dari generasi mereka sebelumnya, dan para Gen-Y yang ada sekarang, pada akhirnya akan menjadi generasi tua dan kolot untuk satu atau dua generasi yang datang sesudah mereka kelak.

Dalam kehidupan manusia ada faktor non-alam yang membantu proses alamiah itu menjadi sedikit complicated, namanya teknologi. Fungsi awalnya hanya alat bantu, tetapi faktanya dia juga merubah nilai dan perilaku manusia.

Situasi ini memang harus disikapi dengan bijak. Menganggap ini bukan persoalan sepertinya terlalu gegabah, karena faktanya konfliknya terjadi. Tetapi menyikapinya dengan berlebihan, misalnya dengan berusaha merubah nilai dan perilaku generasi yang berbeda itu supaya sama dengan kita, itu juga hil yang mustahal.

Mungkin ada baiknya belajar dari Sabam tua di lapangan deket tukang bubur itu. Dia tidak berusaha merubah anak-anak itu untuk selalu taat dan patuh kepadanya. Hanya sesekali memperingatkan ketika mereka berlebihan dan lupa dengan PRINSIP mereka ada di lapangan pagi itu, yaitu belajar Taekwondo.

Selebihnya, selagi tidak prinsipil, dia biarkan anak-anak itu memilih.

Hampir setiap minggu saya menyaksikan anak-anak Gen-Y itu tetap datang berlatih dengan sang Sabam yang Baby boomers itu. Tetap dengan perilaku pecicilan khas Gen-Y. Dan sang Sabam juga tetap membimbing dengan keseriusan dan kesungguhan khas Baby Boomers.

Sementara saya yang Gen-X, menonton dua generasi di atas dan di bawah saya itu berbagi ruang yang sama secara akur, dengan cara khas Gen-X: serius tapi santai.

Sambil makan bubur.

(For Leadership and Performance Solution, please visit www.kinerja.id)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.