I GOT “SHANGHAI’ED” IN SHANGAI

(Sebuah catatan perjalanan)

“Apa yang harus saya lakukan?”, perempuan di depan saya ini bertanya penuh paradoks.  Mata dan wajah cerdasnya kini sayu dan pupus, seperti rumput-rumput di bandara Pudong yang coklat merana. Di telantarkan musim dingin dan diacuhkan musim semi.

Dari 24 juta manusia penghuni kota “Queen of The Orient’ ini, Tuhan pasti sedang tidak bercanda mengirim satu dari penghuninya ini untuk berbincang dengan saya sore itu di pojokan Nanjing Road yang dingin menusuk.  Meski coffee shop tempat kami berbincang memiliki penghangat ruangan, tapi saya tetap merasa kota ini teramat dingin. Mata orang-orangnya dingin.  Penguasanya dingin.  Ambisi orang-orang dan penguasanya juga sangatlah dingin. Fakta bahwa sore itu cuaca nyaris menyentuh titik  0 derajat celcius, membuat saya makin bergidik.

Tetapi Jessica Wang menahan sesuatu yang hangat yang mulai  memenuhi matanya. Aku melihat dia sekuat tenaga menahannya untuk tidak jatuh.  Dia tidak ingin terlihat cengeng di hadapan laki-laki asing yang baru dikenalnya tidak lebih dari tiga hari lalu. Tetapi sesuatu di dalam dirinya membuat suaranya bergetar.

Hati perempuan setengah baya ini tidaklah dingin. Dia seperti sungai Huangpu yang membelah kota ini menjadi dua bagian, timur dan barat, yang tidak pernah membeku bahkan di musim salju sekalipun.

“Apa yang harus saya lakukan? Saya tidak ingin kehilangan anak saya. Saya sudah kehilangan suami saya setahun yang lalu…” suaranya menghilang.

Topik pembicaraan kami awalnya tentang sesuatu yang kami pelajari di dalam kelas siang tadi.

Dia tipe perempuan yang tidak pernah puas dan selalu ingin kejelasan. Itu membawanya pada pembicaraan sengit dengan pengajar dan juga dengan seisi kelas. Aku kagum dengan persistensi dan kegigihannya mempertahankan argumentasinya, meski hampir di serang dari delapan penjuru mata angin.

Dia mengatakan bahwa dia memang bukan tipe perempuan yang gampang menyerah. Dia akan terus gencar menuntut sampai mendapatkan apa yang diinginkan.

Dia tumbuh dan membangun karirnya dengan cara seperti itu. Dia harus bertarung dengan milyaran manusia di sebuah negeri yang sedang berambisi menjadi penguasa tatanan dunia baru paska perang dingin. Di sebuah kota yang berambisi merebut titel “Ibu Kota Dunia” dari tangan New York.

Dan dia sampai di posisi eksekutif puncak bidang SDM pada sebuah jaringan bank global asal eropa di Shanghai ini.

Dia dilahirkan untuk menang. Menyerah sudah dia hapus dari dalam kamus pribadinya.

Sepanjang tiga hari program dia seperti singa betina lapar yang menghajar dan menerjang tiap argumen yang tidak masuk batok kepalanya. Bahkan pengajar bule yang sangat demokratis dan liberal pun dibuat tersinggung oleh karena sikapnya itu. Sebuah paradoks lain.

Awal pembicaraan kami sore itupun sempat sangat tegang oleh karena dia berusaha meyakinkan saya bahwa argumennya di kelas tadi benar. 

Sebagai orang Indonesia yang terkenal guyub, cinta damai, dan penuh kekeluargaan, saya mungkin satu-satunya orang yang tidak menyerang balik argumennya.  Makanya –mungkin—dia masih melihat peluang untuk membangun aliansi dan “menjajah” saya dengan argumen-argumennya.  Oleh karenanya sepulang dari kelas dia mengajak saya berbincang panjang lebar.

Perbincangan kami melebar dan sampai pada topik-topik paradoks kehidupan. Dia mulai berkisah bahwa dia pribadi sebetulnya sedang belajar keras untuk berubah. Di usianya yang sudah tidak lagi muda, dia tahu gayanya itu kerapkali menjadi persoalan.

Ambisinya akan karir dan semangat pantang menyerahnya membuat kehidupannya berat sebelah dan tak imbang. Kesehatannya tergerus, perkawinannya bubar dan anak laki-laki satu-satunya menjauh darinya.

It’s kind of  trade off my career”, dia menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. Matanya memandang keluar jendela.

Di hari tuanya, dia hanya ingin hidupnya bahagia. Dan kebahagiaan itu sederhana dalam definisinya: tetap sehat dan bisa terus dekat dengan anaknya.  Dia sudah tak lagi peduli dengan karir cemerlang dan uang banyak.  Dia sudah pernah sampai disana, dan menurut dia tidak membuatnya bahagia.

Sungguh kota ini penuh paradoks. 

Pada setiap jengkal tatanannya, dia seperti ingin mengawinkan sesuatu yang lama dengan yang baru; yang tinggi-besar-mewah dengan sesuatu yang sederhana dan prinsipil; yang barat dengan yang timur.

Di sini gedung-gedung tinggi dan megah seperti berebut bercengkerama dengan awan.  Pearl TV Tower (458 meter) dan World Financial Center (472 meter) adalah landmark-landmark ambisius kota yang tercatat dalam 10 besar bangunan tertinggi dunia. Pada saat yang sama mereka pelihara taman-taman eksotis warisan Tiongkok kuno, seperti Yu yuan Garden. Kedua-dua itu—yang modern dan jadul–  saling berdampingan.

Penampilan orang-orangnya sangat modern dan elok. Jika kita tutup bagian wajah orang-orangnya dan huruf-huruf kanji di gedung-gedungnya, kita tidak bisa membedakan apakah ini pemandangan di New York, Paris, Tokyo  atau Shanghai.  Nyaris sama.

Semuanya serba baru;  Bandara Pudong yang hampir seluas kota kabupaten di Jawa, jaringan kereta super cepat Maglev yang bisa tembus sampai lebih dari 400 km per jam, jaringan subway yang berjejal-jejal, gedung-gedung tinggi dan lain-lain, semuanya tak lebih dari 30 tahun pembangunan.  

Tetapi pada yang sama saya menemukan bahwa orang-orangnya tetaplah manusia yang lama, yang butuh kebahagiaan pada hal-hal yang mendasar; keluarga, cinta dan kasih sayang.

Pada Jessica Wang, perempuan 50-an tahun ini, saya menemukan dengan jelas paradoks itu.

Dari namanya yang memadukan yang barat dan yang timur. Dari penampilan dan cara berfikirnya yang modern dan bangunan jiwanya yang tetap lama. Dari ambisinya yang tinggi dan hatinya yang tetap menapak jejak leluhurnya.

Dari udara dan orang-orangnya yang dingin dan paradoks di dalamnya yang ternyata tetap hangat.

I got “Shanghaied” in Shanghai.

Tangerang, Feb 2016

Leave a Reply

Your email address will not be published.