MERAH PUTIH YANG LELAH BERKIBAR

Nasionalisme Anak Bangsa

Ada berita kecil di pojokan media yang barangkali luput dari perhatian banyak orang.

Sebuah organisasi kepemudaan mensinyalir bahwa kian hari kian menurun minat orang Indonesia untuk memasang atau mengibarkan bendera merah putih, khususnya dalam momen Agustusan seperti sekarang ini. Momen sakral yang sepatutnya dikenang sekali dalam setahun dimana warna merah dan putih tidak semata selembar kain, melainkan –pada masanya—adalah simbol darah dan tulang belulang para pejuang yang rela ditukar dengan sebuah kata: merdeka!

Saya menemukan kebenaran dari berita kecil itu.

Anak sayalah yang mengingatkan untuk memasang bendera di depan rumah kami, dan butuh beberapa kali mereka mengingatkan saya untuk melakukannya. Bukan saya tidak mau, tetapi kesibukan dan lupa yang menyebabkannya.

Saya juga menemukan beberapa tetangga yang bahkan sampai tulisan ini dibuat, belum kunjung memasang bendera merah putih di depan rumahnya. Belajar dari tahun-tahun sebelumnya, memang sudah banyak kok yang dengan sengaja tidak memasangnya. Dengan beragam alasan.

Tetapi alasan sesungguhnya –menurut saya— sebagian besar anak bangsa ini memang sudah semakin tidak merasa penting untuk melakukannya. Sudah bukan lagi prioritas. Karena kalau dia penting, pasti akan dibela-belain untuk melakukannya.

Ada jarak emosional yang jauh antara kita dan merah putih.

Jarak yang kian hari kian terasa jauh. Tertatih-tatih kita mencoba mengumpulkan makna dan mencari pembenaran apa sebetulnya hubungan kita dengan merah putih, yang membuat kita setahun sekali harus mencari dimana itu bambu dan bendera kita simpan, mengambil beberapa menit untuk mengikatkan tali-tali di ujung bambu dan menegakannya di halaman. Apatah lagi mengambil sikap sempurna dan memberi hormat kepadanya. Sebuah sikap nasionalisme yang sewajarnya kita pelihara sebagai sebuah bangsa.

Memang dari sononya konsep nasionalisme bangsa ini mengandung banyak masalah. Kata Benedict Anderson –salah satu pemikir nasionalisme terkenal—ia adalah komunitas khayalan (imagined communities). Komunitas yang hanya ada dalam pikiran, yang orang-orangnya tidak saling kenal satu dengan yang lain dan tidak tahu pula dimana batas-batasnya.

Yang kita tahu bahwa kita bagian dari bangsa Indonesia adalah kita berbahasa Indonesia dan berpaspor Indonesia. Bahkan urusan soal paspor ini sekarang agak ribet juga, karena banyak yang berbahasa Indonesia tidak berpaspor Indonesia.

Pada masanya, konsep nasionalisme menjadi begitu seksi dan atraktif ketika ada aktor-aktor pemimpin hebat yang menjadikannya hidup. Mereka berbicara, berjuang dan mempertaruhkan seluruh hidupnya untuk itu. Mereka itulah yang kita sebut sebagai para founding fathers.

Mereka mempertaruhkan seluruh jiwa raga dan menghidupi nasionalisme bangsa baru bernama Indonesia. Rakyat yang ketika itu untuk makan saja susah, bahkan mau ikut mempertaruhkan hidupnya yang sudah berat itu.

Tetapi setelah sekian lama rumah besar khayali ini berdiri, alasan-alasan untuk terus merawatnya kian tak terkomunikasikan dan tak terjaga dengan baik. Para pemimpinnya masih terus berwacana tentang nasionalisme bangsa besar, tetapi lupa untuk menghidupkan wacana itu dalam tingkah-laku keseharian mereka.

Karena itu setelah lebih dari 70 tahun merdeka, agak sulit untuk sebagian anak bangsa untuk memelihara benih cintanya kepada tanah air –yang dilambangkan dengan selembar kain merah-putih itu—ketika mereka melihat tanah dan air sudah bukan milik mereka lagi.

Tanah di kapling-kapling dan hanya dimiliki pemodal besar, sementara air kian sulit didapat dan juga sudah dikapling-kapling atas nama kepentingan modal. Sudah begitu harga airpun semakin mahal dibandingkan BBM. Padahal hidup mati dan keluarga mereka ada di tanah-air yang sudah semakin tak terjangkau itu. Padahal lagi –katanya—bumi, air dan kekayaan alam yang ada di dalamnya haruslah digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Di sisi lain, tawaran dari komunitas lain juga jauh lebih atraktif dengan agen-agennya yang sangat lihai merayu.

Inilah era dimana seorang warga negara Indonesia yang tinggal di sebuah kampung terpencil lebih senang mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari sebuah kelompok penganut kepercayaan tertentu –lengkap dengan simbol-simbolnya—yang pusatnya entah ada di ujung dunia mana, dan mereka sangat fanatik dengan itu.

Atau anak-anak muda yang merasa bagian dari sebuah komunitas cyber-global yang terikat dengan pakem dan norma-norma global ketimbang nilai-nilai moral dan budi pekerti lokal yang tampak ketinggalan zaman.

Untuk kaum berkantong tebal, masalah komunitas dan nasionalisme adalah soal cost and benefit analysis. Dimana ada benefit tinggi dan biaya rendah, disitulah nasionalisme ditanamkan. Sangat cair.

Untuk soal nasionalisme ini, kian hari kita kian mengidap sindrom ikan di dalam air. Ikan adalah makhluk terakhir yang tahu apa dan dimana itu air. Karena dia hidup di dalamnya, dan dia tidak pernah diberitahu dimana dia hidup dan dengan apa dia hidup, maka dia tidak merasa penting untuk menghargai air tempat dia hidup. Semuanya taken for granted dan tidak perlu dipertanyakan.

Dia akan menggelapar-gelepar dan merasa butuh air ketika tidak berada di dalam air.

Seperti halnya Ikan, banyak anak bangsa ini baru merasakan menjadi orang Indonesia ketika sedang berada di luar negeri. Ketika dia mendengar ada orang bercakap-cakap menggunakan Bahasa Indonesia, atau mendengar dan membaca tentang Indonesia atau mendengar lagu “Tanah Air” karya Ibu Sud (apalagi aransemen karya Addie MS yang biasa diputar di pesawat Garuda Indonesia saat mendarat, wah bisa meleleh..). Baru ada sesuatu yang “menggelepar” di dalam hatinya.

Mumpung Indonesia masih ada, dan tidak benar-benar hilang, rasanya ada banyak alasan untuk memperjuangkan rumah besar khayali ini untuk terus eksis. Paling tidak keluarga kita, orang tua kita dan nenek moyang kita kuburannya ada di tanah ini. Dan mungkin kita juga akan dikuburkan di dalam tanahnya.

Untuk bisa membuatnya benar-benar eksis, tentu para pemimpin yang mendapat mandat untuk mengurusi kepentingan orang banyak harus memberikan contoh hidup terlebih dahulu. Agak sulit membayangkan seorang anak bangga kepada orang tua dan keluarganya, jika orang tua tersebut tidak menunjukan kinerja yang baik sebagai orang tua. Kinerja yang baik disini adalah memberikan nafkah dan menunjukan kasih sayang yang baik. Untuk semua keluarga, bukan satu-dua anggota keluarga saja.

Mendapati para pemimpin yang lembek, yang mengabdikan dirinya hanya untuk kepentingan diri dan kelompoknya –apalagi atas nama kepentingan modal—dan kemudian berwacana yang jauh dari perilakunya sehari-hari, rasanya sulit untuk membuat anak bangsa ini bangga kepada negara dan tanah airnya.

Apalagi mendapati –dengan perilaku yang lembek dan korup seperti itu—kian hari kian sepi prestasi heroik yang diukir oleh anak bangsa ini. Mereka-mereka yang berprestasi malah lebih rela menukar kewarganegaraannya dengan negara lain, untuk hidup lebih baik.

Kalau sudah begitu, mungkin cuma peserta upacara tiap hari senin dan tujuh belasan saja yang masih mau menghormat merah putih.

Merdeka!

Tangerang, Agustus 2016

Leave a Reply

Your email address will not be published.