SANG MOTIVATOR DAN GURU SPIRITUAL

Tulisan ini dibuat ketika ada 2 kasus besar yang mencuat ke permukaan di tahun 2016. Pertama, penangkapan seseorang yang dikenal sebagai guru spiritual para selebritis karena terjerat kasus narkoba dan menjalankan ajaran menyimpang di padepokannya.  Kasus ini cukup menghebohkan karena melibatkan beberapa orang terkenal yang selama ini kerap mendapatkan bimbingan spiritual darinya. Yang kedua adalah kasus yang tidak kalah menghebohkan terkait pengingkaran status Ayah terhadap Anaknya, oleh seorang motivator kondang yang kerap nongol di layar Televisi. Sang motivator yang sangat sukses dan memiliki follower terbanyak di media sosial ini, ketika itu tidak mengakui status anak dari pernikahannya terdahulu, dan bahkan bersitegang di media dengan orang yang mengklaim sebagai anaknya itu. Di kemudian hari sang motivator mengakui bahwa orang itu memang anaknya dari pernikahan sebelumnya dan berdamai dengannya. Tetapi oleh karena demikian mengagetkan dan emosionalnya kasus ini berdampak pada kebintangannya yang perlahan meredup di tengah masyarakat.

Dalam tempo yang cepat, secara berturut-turut, publik disuguhkan dengan sandiwara hancurnya kredibilitas para penyeru moral dan etika, yang disebut sebagai motivator dan guru spiritual. Sebagaimana cepat menggelembungnya nama-nama orang tersebut, kita juga menjadi saksi episode kempesnya kredibilitas mereka yang megenaskan.

Publik dibuat shock dan bertanya-tanya. Kok bisa?

Soal naik-turun popularitas sebetulnya hal biasa. Yang membuat orang bertanya-tanya adalah kenapa sandungannya harus di batu-batu besar yang seharusnya begitu jelas bisa dihindari? Kalo sandungan-sandungan di batu kecil –yang kadang tak terlihat—barangkali masih bisa difahami. Tetapi kasus narkoba dan kasus sengketa status ayah dan anak, adalah batu besar yang sangat emosional. Apalagi mereka adalah men of values and morale. Wajar publik bereaksi keras.

Yang dikhawatirkan sebetulnya adalah semakin terkikisnya kepercayaan publik terhadap siapapun yang berbicara atas nama moral dan kebaikan. Akan adanya anggapan yang pukul rata dan gebyah uyah bahwa semua pengkhotbah dan penasehat moral (dengan beragam sebutan itu) adalah para pembual dan penjaja omong kosong. Sebatas dodolan abab, kata orang jawa. Dan karena itu tidak layak dipercaya.

Tetapi, menurut saya pribadi, sebetulnya tidak ada yang patut disalahkan kecuali diri kita sendiri yang terlalu gampang terpesona dengan orang lain. Kasus-kasus yang terjadi belakangan ini hanya cerminan dari “buruk muka cermin di belah”. Kita punya cara pandang keliru, lantas orang lain yang disalahkan.

Betul bahwa orang-orang hebat yang kita sebut motivator dan guru spiritual yang sedang bermasalah itu tengah diuji kredibilitasnya. Di sisi lain kasus-kasus ini menjadi warning bagi para penyeru moral dan etika yang lain agar terus menegakan integritas dan kredibilitasnya, agar tidak benar-benar kehilangan kepercayaan.

Tetapi yang lebih perlu berkaca adalah diri kita sendiri. Cara kita melihat orang lain. Dan, terutama, cara kita menutupi kelemahan diri dengan cara menyematkan kehebatan kepada orang lain.

Bisnis motivator dan guru spiritual itu adalah memberi nasehat. Bentuknya kata-kata pemompa semangat atau nasehat-nasehat yang –boleh jadi—bernilai moral dan spiritual. Tidak ada yang salah dari itu semua.

Tetapi kalau mau jujur, tidak perlu susah-susah jadi motivator hebat dengan background mengkilap atau guru spiritual sakti mandraguna kalau sekedar untuk bisa memberikan nasehat.

Ketika anda dilanda putus asa dan patah semangat, misalnya, anda tutup mata dan cegat saja sembarang orang di jalan dan minta nasehat dari orang itu untuk keluar dari masalah anda. Saya yakin akan keluar nasehat-nasehat yang intinya akan kurang lebih sama dengan motivator atau guru spiritual yang dibayar puluhan atau ratusan juta. Cuma mungkin struktur bahasa dan bunga-bunganya aja yang berbeda.

Bahkan nasehat yang disampaikan seorang anak muda pengangguran di terminal sekalipun, saya jamin nasehatnya akan kurang lebih mirip. Malah kadang-kadang lebih brilian dan genuine.

Jadi apa yang membuat anda begitu berharap kepada seorang motivator atau guru spiritual? Atau orang pintar? Atau pembimbing rohani? Atau orang-orang dengan sebutan macem-macem lainnya diluar sana itu?

Nasehat mereka, kalau itu baik, perlu di dengar. Karena memang manusia butuh nasihat untuk mengatasi penyakit lupanya yang kronis. Sama dengan kita perlu mendengar nasehat dari siapapun, termasuk orang di jalanan dan si pemuda pengangguran tadi kalau sama-sama baik.

Sementara sisi manusiawinya, sama saja diantara semuanya. Sama-sama sangat mungkin melakukan kesalahan.

PERCAYA KEMAMPUAN DIRI

Problem mendasar kita sebagai sebuah bangsa adalah ketidakpercayaan diri atas kehebatan karunia yang diberikan Tuhan berupa pikiran dan akal sehat. Ditambah sedikit kemalasan jadilah itu sebuah kebodohan. Harus diakui, ini penyakit massal dan serius.

Dan untuk menutupi kelemahan diri sendiri itu, kita menempuh cara instan dengan mencari orang lain yang kita anggap hebat. Sialnya kehebatan yang kita sematkan porsinya berlebihan dan tidak pada tempatnya. Kita menganggap bahwa mereka yang bisa memberi nasehat yang mak nyess di hati itu adalah manusia yang hebat segala-galanya. Sampai-sampai akal sehat kita tak berdaya untuk bekerja secara obyektif.

Tidak heran banyak kasus penipuan, pelecehan, penyelewengan dan penyalahgunaan sering terjadi dari situasi ini. Makanya motif penipuan sekelas “mama minta pulsa” masih bisa memakan korban. Atau pelecehan seksual oleh orang-orang yang mengaku orang pintar masih sering terjadi. Kelas kita masih disitu.

Percayalah, tidak ada motivator handal.

Karena motivator yang paling handal adalah diri anda sendiri. Mau berbusa-busapun motivator diluar sana memompakan semangat ke dalam diri anda, tetapi kalau api semangat di dalam diri anda sendiri sudah padam, tidak akan banyak membantu.

Andalah yang harus menyalakan api semangat di dalam diri anda sendiri itu.

Bagaimana caranya? Banyak membaca, banyak mendengar, miliki tujuan hidup, terbuka terhadap berbagai situasi dan cara pandang yang berbeda, pelajari dan libatkan diri anda pada hal-hal baru, banyak berdiskusi dengan orang-orang yang sudah berhasil di bidangnya, dan seribu satu cara yang bisa anda gali kalau anda mau. Kuncinya selalu kemauan.

Tidak ada guru spiritual hebat.

Guru spiritual paling hebat adalah para Nabi dan Rasul. Mereka sudah tidak ada, tetapi anda bisa membaca dan menelusuri kisah dan jejak-jejaknya. Mereka yang paling dekat dan menjadi para pewarisnya biasanya orang-orang yang rendah hati, tak suka di ekspos, hidup bersahaja, teguh memegang prinsip, tidak pernah neko-neko dengan penampilan, yang antara kata dan perbuatan tidak pernah bertentangan, dan bahkan mereka tidak pernah mau “kehebatan spiritual” mereka terlihat oleh orang lain.

Singkat cerita, mereka orang-orang biasa.

Kalau ada orang yang kemudian menasbihkan dirinya sendiri sebagai “orang hebat” dan kita percaya 100 persen tanpa bisa berfikir obyektif lagi, kemungkinannnya ada dua; dia penipu ulung atau memang akal sehat anda sedang terganggu.

Era kepercayaan kepada aktor-aktor hebat itu sudah lewat. Itu masa lalu.

Ini era dimana kita harus percaya dengan kemampuan diri sendiri. Untuk bersaing dengan kesadaran penuh bahwa pada dasarnya Tuhan ciptakan kita dengan potensi yang sama dengan manusia dan bangsa lain. Tidak perlu meng-korting berlebihan diri anda sendiri atas orang lain. Atau sebaliknya, merendahkan kemampuan orang lain berlebihan. Tempatkan saja pada porsi yang wajar.

Untuk menutupi kelemahan, mari kita bekerja sama. Saling mengisi dan bersinergi. Iringi itu semua dengan kerja keras dan disiplin. Pantang menyerah. Kalau jatuh ya bangkit lagi. Terus dan terus. Itu saja kok resepnya.

Adapun kalau ada orang-orang seperti sang motivator atau guru spiritual yang ternyata kemudian bermasalah itu, barangkali sebetulnya mereka sedang berobat jalan saja. Kita aja yang terlalu serius menanggapinya.

Tangerang,  September 2016

Leave a Reply

Your email address will not be published.