MEMILIKI VERSUS BERBAGI

Minggu lalu saya diundang untuk berbicara di depan forum  Sekolah Relawan (yang saya ceritakan kiprahnya secara detil dalam tulisan RELAWAN, PEMIMPIN DAN KERJA TAK BERBAYAR)

Mereka akan mengirim angkatan kedua anak-anak muda Indonesia penuh semangat dan idealisme dalam program  Tatar Nusantara.

Tatar Nusantara (TN) adalah program yang mirip dengan Indonesia  Mengajar-nya Anies Baswedan. Bedanya mereka bukan cuma mengajar, tetapi  selama setahun penuh menemu-kenali,  menggali dan mengembangkan pontensi sosial- ekonomi  daerah tersebut (biasanya daerah terpencil),  bersama-sama dengan masayarakat setempat . Ujung-ujungnya diharapkan dapat mengangkat derajat sosial-ekonomi masyarakat sekitar.

Mereka yang dikirim bukanlah anak-anak muda kurang kerjaan. Sebagiannya adalah anak-anak muda berprestasi dan bahkan sudah bekerja di posisi-posisi yang bagus. Salah satunya sudah bekerja di sebuah perusahaan multi nasional di luar negeri.  Tetapi oleh karena panggilan hati nurani, dia tinggalkan pekerjaan empuk itu dan mengabdi dalam program TN.

Memang inilah satu diantara ciri kaum millennial. Anak-anak muda zaman now,  generasi gadget,  yang kerap bikin pusing banyak orang itu.

Di balik profilnya yang seolah berbeda 180 derajat dengan generasi orang tuanya, anak-anak muda ini menyimpan hulu ledak luar biasa berkaitan dengan kreativitas, inovasi dan impact. Yang terakhir itulah yang biasanya menjadi poin penting yang kerap memandu pilihan-pilihan hidup mereka.

Generasi orang tuanya memikirkan gaji tetap dan fasilitas berlimpah, mereka memikirkan kebebasan. Generasi orang tuanya sangat fokus dengan masa depan oleh karena itu menabung adalah aktivitas favoritnya, mereka seolah hanya peduli dengan hari ini dan bagaimana merayakannya. Orang tuanya sibuk mikirin diri sendiri, anak-anak ini sibuk berfikir bagaimana merubah dunia.

Orang tuanya berfikir untuk memiliki (owning), mereka lebih banyak berfikir untuk berbagi (sharing).

Memang benarlah pepatah arab “likulli marhalatin rijaaluhaa..”  Pada setiap zaman ada orangnya (yang pas dengan zaman itu).  Maka, Maha Sempurnalah Sang Pencipta yang mengirimkan anak-anak muda yang sulit dimengerti profilnya ini, tetapi sesungguhnya mereka datang dengan hati yang besar.

Sulit bagi kita untuk mengerti cara berfikir generasi ini kalo tidak melihat apa yang terjadi dalam konteks lebih besar.

Ini adalah sebuah zaman dimana berbagi (sharing) menjadi spirit penuntun utamanya.

Lihatlah HP anda. Kalo anda menggunakan Sistem Operasi  Android, itu artinya anda menggunakan platform terbuka (open source) yang dibangun oleh banyak sekali software house pembuat aplikasi. Bukan hanya satu software house yang memonopoli semua.

Lihatlah Facebook, Uber, AirBnB, Tokopedia, Bukalapak dan lain-lain.  Itu semua adalah platform-platform dunia baru (dunia digital) yang terbuka dan dibangun dengan semangat untuk berbagi. Cirinya: murah (bahkan gratis) dengan layanan Premium, dan bisa dimanfaatkan/ dirasakan oleh sebanyak mungkin manusia.

Lihatlah Go-Jek.

Bagaimana mungkin sesama mereka bisa rukun di pangkalan. Tidak saling berebut penumpang, bahkan saling menyapa ketika berpapasan dan saling bantu ketika ada masalah di jalan.

Cara berfikir semacam ini sulit difahami oleh generasi sebelumnya. Generasi yang dibesarkan dengan semangat kelangkaan, baik secara material maupun non-material.  Makanya Tukang Ojek di pangkalan masih pada berebutan penumpang.

Generasi zaman old cenderung berfikir untuk memiliki, menguasai dan mengeksplorasi untuk sebesar-besar kepuasaan dan kesenangan pribadi. Tidak peduli orang susah atau tidak. Senang melihat orang susah dan susah melihat orang senang.  Tetangga beli mobil baru, kita yang nyeri ulu hati tanpa sebab yang jelas. Sementara untuk generasi zaman now, kalo tetangga banyak punya mobil baru,  jadinya ya aplikasi ride sharing seperti Uber itu.

Jadi, di depan forum malam itu, saya bercerita soal perbedaan mindset OWNING versus SHARING ini.

Banyak penderitaan manusia lahir dari mindset Owning ini. Karena sesungguhnya tidak ada yang betul-betul bisa dimiliki oleh manusia.  Karena semuanya akan hilang dan musnah. Kalaupun bisa dimiliki sifatnya relatif dan terus menurun atau berkurang nilainya seperti kata Gossen dalam The Law of Diminishing Marginal Utility.

Sudah punya sepeda ingin motor, sudah punya motor ingin mobil, sudah punya mobil ingin kawin lagi dan seterusnya….

Padahal manusia lahir dalam kondisi tidak membawa apapun dan akan kembali tanpa bekal apapun. Memiliki (apalagi dengan semangat menguasai dan mengeksploitasi) disini menjadi sebuah konsep absurd. Kecuali barangkali Iman dan Amal Soleh yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan kelak. Itupun kalo anda percaya. Kalo anda seorang Atheis, bahkan keyakinan Atheisme yang anda miliki tidak akan banyak membantu setelah anda mati.

Kapitalisme dibangun dari prinsip memiliki yang beranak menjadi menguasai dan bercucu menjadi eksploitasi ini. Kita tahu kian hari idiologi ini kian terkoreksi dan mendapat banyak penentangan oleh karena makin tidak sesuai dengan semangat zaman.

Sementara semangat SHARING ini akan terus hidup.

Ini bukan semangat sosialisme yang sama rata sama rasa. Ini soal bagaimana memberikan kebaikan hidup kepada orang lain sebagai prasyarat penting untuk kita juga bisa mendapatkan kebaikan hidup untuk kita sendiri.

Memberikan orang lain jalan untuk kemudian kita juga mendapatkan jalan kita.  Membukakan orang lain kesempatan untuk kemudian kita juga mendapatkan kesempatan kita. Memberikan apa yang bisa kita berikan tanpa harus merasa takut kehilangan atau tidak kebagian.

Kian hari kita kian dibukakan banyak bukti  bahwa logika Kehidupan adalah logika “Berbagi” bukan logika “Memiliki”. Kalaupun anda ditakdirkan memiliki, bukan berarti itu untuk anda sendirian dan selamanya. Itu adalah cara Tuhan memilih anda untuk menjadi saluran kebaikan untuk orang lain.

Para relawan muda itu mencontohkannya.  Mereka memiliki semangat, energi , idealisme, kecerdasan, karir, bahkan masa depan yang gemilang. Tetapi mereka tidak ingin memilikinya sendirian. Mereka bagi itu dengan saudara-saudaranya di tempat yang asing, terpencil bahkan tak ada listrik dan internet.

Dan malam itu bukan saya yang mengajari mereka sebetulnya. Tetapi mereka yang sedang “menampar”  saya diam-diam.

Tangerang, 17 Januari 2018

Leave a Reply

Your email address will not be published.