“Siapa yang memenangkan ruang ganti, ia akan keluar sebagai juara”. Barcelona, 26 Mei 1999. Dua klub besar, Manchester United (MU) dan Bayern Muenchen, sedang bertarung memperebutkan gengsi sebagai penguasa tertinggi sepakbola Eropa. Kedua klub –ketika itu—adalah penguasa liga lokal di negaranya masing-masing dan tengah memperebatkan gelar ketiga (treble), gelar paling bergengsi di level Eropa, Liga.
Nasib Messi di perhelatan piala dunia ini seperti rengginang di kaleng Khong Guan sebulan setelah lebaran. Loyo. Di makan engga enak, ngga dimakan… ngga ada pilihan. Karena ekosistem hidangan lebaran lain telah lenyap menyisakan kaleng berwarna merah itu menonjol sendirian di atas meja. Begitulah Messi yang masygul dan galau di tengah lapangan berlari-larian sendirian tak.
Beberapa waktu lalu saya dan seorang teman diundang untuk berbincang dengan beberapa orang mantan pimpinan sebuah lembaga tinggi negara. Oleh karena keberhasilan mereka memimpin lembaga itu di masa lalu, merekapun diminta untuk menjadi konsultan internal sang mantan dan sedang menyiapkan program pengembangan. Problemnya klasik. Pimpinan-pimpinan yang baru dianggap masih kebingunan mengurus lembaga maha penting perawat.
Lihat tampang orang ini. Ini tampang orang yang sering kita liat lagi nongkrong di pinggir jalan sambil main catur, atau lagi markirin motor di pasar sambil ribut dg sesama tukang parkir. Atau tampang tukang ketoprak keliling yg biasa kita makan. Tampang orang kebanyakan. Tampang orang-orang yg banyak stoknya di kampung saya. Orang kaya gini, kalo.
Beberapa minggu terakhir ini saya mendapatkan tantangan lebih dalam karir saya sebagai seorang pengajar dan pembicara publik, yaitu mengajar Ibu-ibu. Saya sering berjumpa dengan para Ibu dalam kelas-kelas saya, tetapi biasanya dalam konteks peran profesional mereka, baik sebagai seorang karyawan maupun pimpinan di organisasi/ perusahaan. Ini kali saya mengajar para full time Moms. Orang-orang spesial.